"Iya, kita sudah Ma'kombongan atau musyawarah kemudian potong babi sebagai tolak bencana datang kembali di wilayah Bangkelekila'," kata Kepala Dusun Kurra Desa Toyasa Akung Andarias kepada detikSulsel, Senin (6/2/2023).
Andarias mengungkapkan, ritual Ma'kombongan dilakukan setelah bencana longsor yang melanda Desa Toyasa Akung beberapa waktu lalu. Menurut kepercayaan masyarakat desa, bencana itu datang dikarenakan ada beberapa warga yang sudah melanggar hukum adat.
"Kami percaya kalau bencana atau musibah yang menimpa kita ini karena ada masyarakat yang melanggar hukum adat. Makanya kita gelar ini sebagai pengakuan kesalahan," ungkapnya.
Beberapa prosesi dalam ritual ini di antaranya Ma'kombongan atau musyawarah dan mengorbankan seekor babi. Dalam Ma'kombongan, semua warga desa dan tokoh adat di wilayah tersebut berkumpul untuk mencari solusi atas peristiwa yang terjadi.
Kemudian, menyembelih 1 ekor babi sebagai persembahan kepada yang kuasa yang dipercaya untuk mensucikan wilayah adat agar terhindar dari bencana.
"Babi ini sebagai persembahan kepada yang Maha Esa. Darahnya dipercaya akan mensucikan wilayah agar tidak lagi dilanda bencana. Ini semua dilakukan untuk mengingatkan masyarakat agar tidak lagi melanggar ketentuan adat, jika masih ada yang melanggar maka diusir dari kampung," jelas Andarias.
Peristiwa longsor terjadi di Desa Toyasa Akung Kecamatan Bangkelekila', Toraja Utara sekitar pukul 07.30 Wita (4/2). Tebing setinggi kurang lebih 100 meter dari Gunung Sesean longsor mengenai pemukiman di bawahnya.
6 rumah dan 1 lumbung padi milik rumah warga pun porak poranda akibat peristiwa tersebut. 60 KK terdampak atas peristiwa itu.
Saat ini warga masih mengungsi di tenda pengungsian yang didirikan BPBD Toraja Utara. Ada juga warga yang mengungsi di lumbung padi karena tenda pengungsian yang tidak mencukupi.
"Mengungsi karena takut ada longsor susulan. Rumah juga sudah rusak terkena longsor," tandas salah seorang warga, Elis.
(hmw/sar)