Seorang wanita penyandang disabilitas (difabel) di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) memilih hidup mandiri. Dia bertahan hidup dengan menjadi pembuat sapu lidi.
Kisah hidup ini dijalani Salamiah (50 tahun), warga Desa Katumbangan Barat, Kecamatan Campalagian. Sudah lebih setahun lamanya wanita malang tinggal sendiri, memanfaatkan gubuk reyot di tengah areal perkebunan warga.
Salamiah sebenarnya masih memiliki sanak keluarga. Meski begitu, ia memilih tinggal seorang diri, lantaran enggan membebani keluarga apalagi dengan kondisi yang dialaminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah lebih setahun tinggal di sini, sendiri. Dulu tinggal dengan keluarga," kata Salamiah kepada wartawan, Kamis (21/4/2022).
Kendati hidup dalam kesendirian dengan kondisi salah satu tangan yang tidak berfungsi secara normal, tidak lantas membuat Salamiah menyerah kepada hidup. Ia terus berjuang menyambung hidup, kendati hanya bekerja sebagai pembuat sapu lidi.
"Dalam sehari biasa buat dua, tiga, hingga lima sapu lidi, tergantung situasi," ungkap Salamiah dalam bahasa Mandar.
Beruntung, bahan untuk membuat sapu lidi mudah didapatkan Salamiah dari kebun warga, di sekitar tempat tinggalnya. Sapu lidi yang dijual seharga dua ribu rupiah per ikat tersebut, hanya terbuat dari daun pohon kelapa.
Hanya mengandalkan satu tangan yang berfungsi secara normal, Salamiah harus bekerja keras untuk menghasilkan seikat sapu lidi. Dengan sangat hati-hati, helai demi helai daun kelapa dibersihkan menggunakan pisau, kemudian diambil lidinya.
"Biasanya dalam seminggu saya hanya bisa menjual tiga hingga lima ikat sapu lidi. Meksi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetap harus dicukupkan," terang Salamiah lirih.
Walau hidup dalam kondisi memprihatinkan, ternyata bukan jaminan Salamiah terbebas dari sasaran tindak kejahatan. Beberapa waktu lalu, gubuk reyot yang ditempatinya disatroni pencuri, yang mengambil kain sarung dan sisa beras di dapur.
"Saya pernah menginap di rumah keluarga, hanya semalam. Setelah kembali ke rumah, beras yang tersimpan dalam ember sudah hilang, dicuri dengan sarung, saya menangis, merasa sedih, apalagi beras tersebut pemberian orang, bekal untuk menyambung hidup," cerita Salamiah dengan mata berkaca-kaca.
Salamiah mengaku bersyukur kepada Tuhan yang senantiasa memberi kesehatan dan kekuatan, sehingga dirinya dapat tetap bekerja mencari nafkah. Apalagi, ia juga kerap mendapat bantuan dari tetangga, termasuk dari pemerintah setempat.
"Warga sekitar sering memberi bantuan, ala kadarnya. Kalau ada uang kita kasih uang, kalau ada beras atau ikan kita beri secukupnya, apalagi dia tinggal sendiri," ujar salah satu warga, Iccing.
Menurut Iccing, gubuk berukuran 3x4 meter yang sejak setahun terakhir menjadi tempat tinggal Salamiah, merupakan hasil swadaya warga sekitar.
"Dia tidak mau merepotkan orang lain, makanya memilih tinggal sendiri. Warga yang bergotong royong buatkan rumah, meski dengan kondisi seadanya," tutupnya.
(tau/nvl)