Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah mengatakan perlunya skema lain dalam pembiayaan perumahan tanpa membebani APBN, salah satunya dengan skema potong gaji untuk bayar cicilan atau attachment earning. Perwakilan buruh pun merespons agar skema tersebut tidak dipaksakan ke setiap buruh.
Dalam keterangan yang diterima detikcom, Fahri menyebutkan bahwa kebutuhan perumahan bagi pekerja merupakan hal penting untuk menjaga stabilitas tenaga kerja dan produktivitas industri. Akan tetapi, keterbatasan akses pembiayaan yang sederhana dan tidak birokratis menjadi tantangan utama dalam mendapatkan rumah.
Maka dari itu, ia menilai skema attachment earning perlu dilakukan. Skema ini memungkinkan pemotongan gaji pekerja pabrik secara langsung oleh manajemen perusahaan untuk pembayaran cicilan rumah melalui bank sehingga proses pembiayaan menjadi lebih cepat dan efisien.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita butuh model pembiayaan yang tidak bergantung pada fasilitas negara, tapi tetap memberikan kepastian kepada semua pihak: pekerja, manajemen, bank, dan pengembang. Skema attachment earning menjawab ini," ujar Fahri dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (3/7/2025).
Fahri mengatakan, jika model ini berhasil diterapkan secara luas maka akan muncul gerakan nasional penyediaan perumahan pekerja berbasis kolaborasi industri, perbankan, dan pengembang, tanpa intervensi fiskal langsung.
"Kita ingin mengonsolidasikan ini sebagai gerakan nasional. Kalau model ini sukses, kita bisa membangun klaster-klaster perumahan pekerja di kawasan industri secara mandiri dan berkelanjutan," katanya.
Pemerintah juga akan mendukung melalui regulasi teknis yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam skema tersebut.
Proses Dianggap Lebih Ringkas
Di sisi lain, Anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang menjelaskan teknis skema attachment earning yang berarti manajemen diberi kuasa oleh buruh untuk memotong gaji, lalu langsung dibayarkan ke bank, seperti BTN.
"Bank kemudian menyalurkan ke pengembang, dan buruh mendapatkan rumah tanpa proses kredit yang berbelit," kata Bonny.
Menurut Bonny, karena pembayaran langsung dijamin melalui pemotongan gaji, risiko pembiayaan bagi perbankan berkurang drastis. Adanya komitmen potongan selama lima tahun, bank tidak perlu lagi melakukan proses kelayakan kredit secara konvensional yang memakan waktu.
"Jika pekerja menyatakan setuju dan manajemen menjamin pemotongan, bank langsung bisa menyalurkan. Ini mempercepat proses dan membuka jalan bagi ribuan pekerja untuk punya rumah tanpa membebani APBN," kata Bonny.
Skema tersebut rencananya akan dilakukan perdana di PT Ekstrana di Cikande, Banten. Sebanyak 350 buruh sudah bersedia dan berkomitmen untuk dipotong gajinya selama lima tahun untuk mencicil rumah pertamanya.
Respons Buruh
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, apabila skema attachment earning dipaksakan maka pihaknya akan menolak hal tersebut. Menurutnya, skema tersebut tidak bisa dipaksakan karena sifatnya individu dan ada beberapa buruh yang sudah punya rumah juga.
Ia menilai, usulan Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah soal attachment earning itu tidak memiliki dasar hukum. Sebab, tidak bisa langsung memotong gaji karyawan meskipun dikeluarkan aturan seperti Peraturan Presiden maupun Surat Keputusan Menteri.
"Dia private. Artinya gini, kalau mau potong gaji seorang buruh, maka buruhnya harus tanda tangan setuju dan itu harus pribadi, nggak bisa kolektif," ujarnya saat dihubungi detikcom, Kamis (3/7/2025).
Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan apakah perusahaan mau memotong gaji karyawan per orang bukan kolektif. Menurutnya hal itu akan merepotkan perusahaan.
"Jadi secara hukum, tidak ada dasar hukumnya. Secara implementasi di tingkat perusahaan akan mengalami kesulitan. Perusahaan nggak mau karena tidak kolektif. Kan ada yang punya rumah, ada yang belum punya rumah," ungkapnya.
Buruh Minta Skema Attachment Earning Tidak Dipaksakan
Said Iqbal mengungkapkan, belum pernah ada skema seperti ini yang diterapkan perusahaan kepada buruh. Ia kembali menegaskan, jika skema ini dipaksakan maka pihaknya akan menolaknya tapi kalau ada kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan, maka boleh-boleh saja dilakukan.
"Kalau itu dipaksa, sekali lagi, KSPI akan menolak," tegasnya.
Selain itu, Said Iqbal menuturkan bahwa pemotongan gaji karyawan untuk cicilan itu ada batas maksimalnya yaitu 50 persen dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja/buruh seperti yang tertera dalam PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan Pasal 65. Namun menurutnya, jika cicilan lebih dari 30 persen gaji buruh maka pihak perbankan akan berpikir ulang untuk memberikannya cicilan karena berisiko kredit macet.
"Bilamana potongan buruh total lebih dari 30% dipaksakan, itu membuat buruh jadi menderita dan miskin karena akan terbebani utang," tuturnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/das)