Rumah aktor Atalarik Syach dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong pada Kamis (15/5/2025) karena sengketa tanah. Tanah tersebut diklaim milik Dede Tasno seluas 7.800 meter persegi.
Kuasa Dede Tasno, Eka Bagus Setyawan, menjelaskan kronologi sengketa tanah antara kliennya dengan Atalarik Syach dimulai sejak 2015. Keduanya sama-sama mengklaim memiliki bukti kepemilikan yang sah.
"Kronologi awalnya, kita melakukan gugatan terhadap pihak tergugat, yaitu Pak Atalarik termasuk dari keluarganya, saudaranya Pak Atalarik, itu yang kita tempati rumahnya di bawah itu, Doni namanya, terhadap tanah ini, ini milik dari klien kami. Luasnya sekitar 7.800 meter persegi," kata Eka Bagus Setyawan kepada detikHot di Cibinong, seperti yang dikutip Jumat (16/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak Atalarik Syach mengklaim memiliki akta jual beli (AJB) dari pembelian tanah tersebut. Kemudian, pihak Dede Tasno membuktikan di pengadilan bahwa AJB tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dinyatakan palsu.
"Memang ceritanya panjang, dari 2015 sampai sekarang, pihak Atalarik itu mengklaim bahwa dia sudah memiliki tanah ini berdasarkan akta jual beli. Yang memang kita sudah buktikan di pengadilan, kita sudah melakukan upaya hukum juga, kita buktikan bahwa AJB tersebut ternyata palsu," jelas Eka.
"Pihak-pihak yang ada di dalam AJB itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah ini punya hak yang jelas, atau standing yang jelas terhadap tanah ini," tambahnya lagi.
Kemudian, menurut pengukuran terbaru, tanah yang menjadi sengketa ini hanya memiliki luas sekitar 5.880 m2, tidak sama dengan luas yang tertera di dokumen awal yakni 7.800 m2.
"Ya, jadi luas dari tanah ini kan sebenarnya 7.800 m2 milik klien kami berdasarkan PETA Constructing di 2021. Ini PETA Plotting yang terakhir, itu di 5.880 m2," jelasnya.
Untuk mendapatkan kembali haknya, pihak Dede Tasno mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Cibinong.
"Ya, awalnya memang sengketa. Klien kami tidak punya hak material, tapi memiliki hak atas tanah ini. Jadi, kehilangan haknya itu atas tanah ini. Jika ingin digunakan harus melalui upaya hukum di pengadilan," ungkapnya.
Sejak 2015 hingga saat ini, pihak Dede Tasno telah menawarkan beberapa penyelesaian di luar pengadilan, tetapi belum menemukan titik terang hingga akhirnya meminta adanya eksekusi.
"Komunikasi kita sebenarnya tidak hanya satu arah. Jadi kita, namanya hukum berdata itu kita upayakan win-win solution dulu. Tapi sampai detik ini, belum ada kepastian hukum terkait apa yang dimau oleh pihak Atalarik. Sehingga kami melakukan upaya eksekusi," jelasnya.
Proses eksekusi ini ditegaskan sudah dilakukan sesuai dengan putusan pengadilan yang inkrah dan berkekuatan hukum tetap. Sehingga anggapan penggusuran ini dilakukan mendadak ketika gugatan masih berjalan, tidak tepat.
"Tentu kalau kita mengajukan permohonan eksekusi, putusan itu harus inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Jadi pihak pengadilan tidak akan mau untuk melakukan upaya eksekusi tanpa ada dasar hukum yang jelas," terangnya.
Terpisah, Panitera Pengadilan Negeri Cibinong Eko Suharjono menekankan proses eksekusi telah sesuai dengan putusan dan berkekuatan tetap.
"Kami hanya berpedoman pada putusan. Ketika putusan berkekuatan hukum tetap, itu yang saya jalankan. Nah, masalah ada gugatan yang terakhir ini, ya silakan aja ketika memang mereka bisa membuktikan dan menang di pengadilan, silakan mengajukan eksekusi kembali," kata Eko Suharjono di kawasan Cibinong, Jawa Barat, Kamis (15/5/2025).
Perihal eksekusi yang baru dilakukan setelah 10 tahun sejak terungkapnya sengketa ini, kata Eko dikarenakan ada proses hukum yang masih berjalan. Dalam kasus ini, bukan hanya Dede Tasno yang menggugat, melainkan ada pula gugatan balik dari pihak Atalarik Syach. PN Cibinong harus menghormati usaha keduanya untuk memperjuangkan haknya. Oleh karena itu, putusan eksekusi baru dilakukan pada 2025.
"Jadi ada gugatan-gugatan (baru dari pihak Atalarik Syach) itu makanya kita hormati dulu," jawabnya.
Artikel ini telah tayang di detikHot
(aqi/aqi)