Berdasarkan laporan tahunan agraria 2024 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat terdapat sekitar 295 konflik agraria yang terjadi di tahun ini. Sebanyak 25 konflik di antaranya berasal dari sektor properti dengan total lahan bermasalah mencapai 92,58 hektare.
Beberapa lokasi konflik yang telah mereka data di antaranya berada di Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Tengah.
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan dari 25 konflik yang terjadi di bidang properti ini, sebanyak 941 KK menjadi korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dewi menuturkan duduk perkaranya adalah beberapa bangunan seperti hotel, perkantoran, atau perumahan dibangun di lahan yang semula milik warga sekitar. Lahan-lahan tersebut ada yang merupakan wilayah adat yang tidak bisa asal diubah menjadi area komersial.
"Memang konflik agraria terkait properti itu lebih banyak berkaitan dengan sektor bisnis skala besar, pembangunan real estate, perkantoran, kawasan bisnis, dan pariwisata premium," kata Dewi di kawasan Pasar Minggu, Rabu (22/1/2025).
Ia memberikan contoh, pemerintah telah menetapkan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), di dalamnya termasuk Pulau Komodo yang setiap tahunnya menarik banyak wisatawan.
Untuk memberikan pengalaman menarik bagi wisatawan, beberapa infrastruktur dan fasilitas pendukung didirikan seperti rumah, hotel, dan infrastruktur lainnya. Sebelum itu, mereka perlu membebaskan lahan-lahan agar pembangunan dapat dimulai. Namun, ada beberapa kasus, lahan tersebut telah diduduki oleh masyarakat lokal yang ternyata tidak memiliki sertifikat.
Meskipun tidak memiliki sertifikat, mereka tidak mau melepas lahan tersebut. Warga lokal mengatakan mereka telah mencoba mengurus sertifikat tanah tersebut sejak dulu, tetapi tidak kunjung diterbitkan.
"Tapi problemnya, memang seringkali berita bilang itu (tanah mereka) kan masih ilegal. Ya problemnya adalah mereka (warga lokal) sudah puluhan tahun di situ. Kayak Rempang (Batam). Dari zaman sebelum mereka (pihak lain datang), mereka (warga lokal) sudah di sana. Tiba-tiba ada bisnis PSN Rempang, tiba-tiba ada yang jadi penguasa di situ. Padahal masyarakat itu sudah puluhan tahun," tuturnya.
KPA selaku organisasi non-pemerintah telah mencoba membantu para korban. Pihaknya mengarahkan dan mengawasi para korban melalui komunitas yang mereka masuki.
Cara ini dilakukan karena untuk penyelesaian konflik agraria termasuk di bidang properti membutuhkan waktu lama. Ia menyebut bisa di atas 10 tahun hingga 20 tahun.
"Tapi yang penting itu adalah penguatan di bawah, pengorganisasian. Jadi komunitas-komunitas ini kita dorong untuk berorganisasi. Apakah menjadi serikat tani, serikat nelayan, atau organisasi masyarakat adat. Sambil menyelesaikan konflik juga memperkuat pengembangan ekonominya," jelasnya.
(aqi/das)