Sebanyak 1.700 rumah warga di perumahan milik pemerintah daerah (pemda) di Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Pengadilan Tinggi (PT) Makassar sebelumnya memenangkan penggugat yang mengklaim hak atas tanah di lahan seluas 52 hektare tersebut.
"Rumah itu di Perumahan Pemprov hampir 1.200 unit, di Perumahan Pemkot (Makassar) itu hampir 500 unit," ujar Ketua Forum Warga Manggala Bersatu Sadaruddin kepada detikSulsel, Kamis (5/6/2025).
Sadaruddin menjelaskan, sengketa awalnya bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dengan penggugat utama keluarga Hasyim Dg Manappa pada 2024 lalu. Dalam gugatan ini, Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar sebagai tergugat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam prosesnya, muncul penggugat intervensi bernama Magdalena De Munnik yang membawa dokumen warisan hukum kolonial Belanda berupa Eigendom Verponding Nomor 12 Tahun 1838. Dokumen ini diklaim sebagai bukti kepemilikan lahan.
"Saksi-saksi yang ada di Pengadilan Negeri saat itu tidak akurat tentang itu. Karena apa? Bukti-bukti daripada dokumen si Magdalena, itu dibantah oleh BPN," tuturnya.
Belakangan, PN Makassar memenangkan Pemprov Sulsel dan pihak tergugat lain. Namun Magdalena melawan putusan PN Makassar dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar.
"Saya tidak tahu kenapa Pengadilan Tinggi menerima itu semua sehingga dimenangkan oleh Magdalena," ujar Sadaruddin.
Sadaruddin mengaku heran dengan putusan PT Makassar tersebut. Dalam putusannya, PT Makassar memerintahkan agar lahan di perumahan itu dikosongkan.
"Dalam salah satu amar putusannya itu mengatakan lokasi itu segera dikosongkan, bila perlu menggunakan alat negara," jelasnya.
Tidak hanya ribuan rumah, fasilitas umum seperti masjid, pesantren, SMA, posyandu, hingga jaringan pipa PDAM juga terdampak. Hal ini lah yang membuat warga di perumahan resah hingga mulai aksi unjuk rasa menolak putusan PT Makassar.
"Akhirnya itulah yang menjadi riak-riak. Terus kami dengan Pemprov, Pemkot, kita bersurat ke BHP (Balai Harta Peninggalan) pertanyakan itu Eigendom Verponding Nomor 12," tuturnya.
Menurut Sadaruddin, dokumen Eigendom Verponding itu tidak relevan lagi saat ini. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.
"Di situ (UU Agraria) memberikan kesempatan bagi pemegang Eigendom untuk mendaftarkan kembali Eigendom-nya untuk berubah menjadi sertifikat, apakah hak bangunan atau apalah. Itu selama 20 tahun, berakhir di tahun 1980. Kenapa tidak didaftarkan sampai tahun 1980? Ada apa?" bebernya.
Saat ini, Pemprov telah menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk melawan putusan PT Makassar yang memenangkan Magdalena. Adapun Pemkot Makassar juga dikabarkan akan melapor ke Komisi Yudisial (KY) terkait putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
"Harapan kami tentu kami harus menang secara inkrah di Mahkamah Agung," harap Sadaruddin.
(sar/ata)