Catatan Jejak Perjalanan Yasir di Tengah Konflik Agraria Tanah Borneo

Catatan Jejak Perjalanan Yasir di Tengah Konflik Agraria Tanah Borneo

Ayuningtias Puji Lestari - detikKalimantan
Sabtu, 12 Jul 2025 07:01 WIB
Diskusi dan Bedah buku Surat-surat Perjalanan: Kalimantan Barat - Kalimantan Timur. Foto: Ayuningtias Puji Lestari/detikKalimantan
Diskusi dan Bedah buku Surat-surat Perjalanan: Kalimantan Barat - Kalimantan Timur. Foto: Ayuningtias Puji Lestari/detikKalimantan
Palangka Raya -

Muhammad Yasir mengabadikan perjalanannya menyusuri pulau Borneo dalam sebuah buku berjudul 'Surat-Surat Perjalanan Kalimantan Barat hingga Kalimantan Timur'. Ia menuliskan perjuangan masyarakat terutama para mamak (ibu-ibu) di Kalimantan.

Yasir dikenal sebagai penyair dari Danau Sembuluh, Seruyan, Kalimantan Tengah. Ia banyak menuliskan keresahannya terkait isu sosial melalui tulisan bergaya metafora.

Dalam buku terbarunya, ia menuliskan fakta dari pengamatannya di lapangan, bagaimana para mamak berjuang di tengah gempuran deforestasi dan konflik agraria.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Surat-surat ini adalah salah satu cara saya mengarsipkan kisah pertemuan saya bersama mereka yang tertindas di kota maupun desa yang saya singgahi dalam perjalanan ini," ujar Yasir menyadur kutipan dalam bukunya, saat acara bedah buku pada Jumat (11/7/2025).

Dalam acara tersebut, Yasir menceritakan pengalaman yang ia sebut 'aneh'. Perasaan itu ia rasakan terhadap orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Mereka yang begitu ramah menerima kehadirannya, nyatanya menyimpan pilu di baliknya.

"Bagaimana saya bisa menerka-nerka penderitaan yang mereka alami selama berkonflik dengan perkebunan sawit dan pertambangan? Saya tak bisa menerkanya," bacanya pilu.

Dalam buku yang ia tulis, Yasir ingin menuliskan keresahannya tentang kondisi alam dan sosial di Kalimantan. Banyak hutan telah digunduli baik untuk industri ekstraktif maupun pembangunan.

Di balik deforestasi yang masif itu ternyata juga memicu konflik sosial. Ada sejumlah masyarakat yang harus berebut lahan dengan pihak perusahaan.

Tak jarang masyarakat yang mempertahankan tanahnya justru mengalami kekerasan. Setidaknya ada sebanyak 32 (XXXII) surat ia tulis tentang perjalanannya dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, hingga berujung di Kalimantan Timur.

Pada halaman berjudul 'Surat XIV: Memori Kolektif Perempuan Olak-olak Kubu', Yasir menulis tentang pengalaman mengerikan yang dialami mamak-mamak di daerah Olak-olak Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada tahun 2016. Kala itu, terjadi konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan terkait penguasaan lahan.

Para mamak dan perempuan di daerah tersebut, diceritakan lari dan sembunyi ke hutan karena ketakutan melihat suaminya mendapat tindakan represif dari petugas keamanan. Mereka lari sembari menggendong anak-anaknya.

Kemudian, halaman 'Surat XV : Kedai Asiang dan Feminis Akar Rumput', Yasir menulis tentang pertemuannya dengan seorang aktivis perempuan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam tulisannya, ia menceritakan bagaimana perjuangan salah seorang kawan perempuannya dalam membela para perempuan adat yang menghadapi konflik terkait hak atas penguasaan lahan.

Menurut pandangan Yasir, teori feminis yang diajarkan pada kalangan intelektual perkotaan, berbeda dengan implementasi teori para perempuan adat. Perempuan adat mungkin terlihat tak vokal, tapi bukan berarti mereka lemah dan tak mampu melawan.

"Ketika membersamai mereka berladang saja misalnya, engkau akan merasakan kekuatan yang melekat pada langkah, kata-kata dan nyanyian mereka," katanya mengutip tulisan dalam buku tersebut.

Yuliana, Dosen Sosiologi Universitas Palangka Raya yang menjadi pembanding, mengapresiasi penulis karna berani menulis secara jujur rasa sedih dan tangis yang penulis alami. Ia menilai Yasir dapat mendobrak stigma laki-laki.

Nyatanya, laki-laki juga bisa merasa emosional dan melihat perjuangan nyata perempuan. Namun ia juga mengkritik agar suara perempuan dihadirkan secara langsung dalam tulisan.

"Sedekat-dekatnya fenomenologi dengan objek penelitian, tidak pernah bisa menghadirkan kesakitan yang dialami perempuan itu sendiri," ujarnya.

Janang Firman Palanungkai dari Walhi Kalteng turut memberikan pandangannya terkait isi buku tersebut. Baginya, tulisan Yasir dapat mengungkap fakta secara lebih jujur karna metode pendekatannya yang lebih personal.

"Ketika narasumber disuguhi alat perekam, biasanya ekspresinya langsung berubah. Hal ini kadang menjadi hambatan untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya di masyarakat," katanya.

Terakhir, halaman 'Surat XXII : Kepada Mama dan Kaum Mama Surat Ini Kutuliskan' berisi tentang realita di sepanjang perjalanannya, dimana kaum mamak lah yang paling berat menghadapi konflik di persawitan. Yasir juga menggoreskan sedikit kerinduannya pada mamaknya di kampung, yang menjadi sosok penguatnya selama ini.

"Banyak sekali peran mamak, ia sosok pencerita yang baik," ucap Yasir.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads