Dalam memenuhi kebutuhan rumah, pemerintah melakukan segala upaya untuk mencukupinya. Namun, dalam proses penyediaan rumah terdapat beberapa masalah yang kerap dihadapi, baik oleh pengembang maupun perbankan.
Direktur Utama Perumnas, Budi Saddewa Soediro menuturkan ada beberapa permasalahan yang dihadapi pihaknya dalam penyediaan hunian salah satunya adalah off taker atau pembeli hunian.
"Permasalahan yang kami hadapi adalah ketersediaan dana dan off takernya. Dua hal ini yang harus menjadi perhatian kedepan bahwa setiap pembangunan Ini harus terserap. Karena saat ini, hari ini, kami mempunyai rumah yang dalam pelaksanaan pembangunan maupun yang sudah siap huni mencapai 17.000 rumah ditambah kavling siap bangun lebih dari 10.000 kavling siap bangun, semuanya untuk masyarakat berpenghasilan rendah," ungkapnya dalam acara forum diskusi Katadata "Indonesia Future Policy Dialogue" di Hotel Le Meridien, Rabu (9/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah selanjutnya adalah ketersediaan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kuota FLPP yang terbatas membuat rumah yang sudah tersedia tidak terserap semua. Maka dari itu, pihaknya meminta kuota FLPP diperbanyak.
"Saya kira berdasarkan carry over tahun sebelumnya yang tidak bisa direalisasikan Perumnas sendiri Ada 900-an unit rumah itu tidak bisa direalisasikan sampai hari ini meskipun ada PMK baru untuk tambahan. Kemudian di REI ada 80.000-an total. Jadi kalau kemarin (kuota FLPP) 229.000 ditambah kira-kira 100.000 di tahun depan 320.000 ini kira-kira cocok lah. Syukur bisa ditambah 400.000 Pak untuk mengejar yang 3 juta (rumah)," paparnya.
Budi juga mengusulkan batas maksimum gaji untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dari yang sebelumnya Rp 8 juta/bulan dinaikkan menjadi Rp 12 juta. Sebab, ada beberapa kasus di mana seseorang sudah masuk ke dalam kategori MBR saat membeli rusun tapi karena pembangunan rusun membutuhkan waktu, pendapatan orang tersebut sudah naik jadi tidak masuk ke dalam kategori MBR lagi.
"Ketentuan MBR ini maksimal penghasilan satu keluarga Rp 8 juta, idealnya untuk milenial dapat rumah itu (gaji maksimal) Rp 12 juta. Ini usulan kami itu maksimum gajinya Rp 12 juta. Padahal untuk membangun RSH Perlu waktu 2 tahun, 18 bulan sampai dengan 2 tahun. Gaji mereka pertama kali masuk itu rata-rata udah Rp 6 juta, Rp 7 juta, tahun kedua udah lewati Rp 8 juta. Sudah dijamin dapat fasilitas yang MBR harus masuk ke komersial, mereka tidak mampu secara pendanaan," ujar Budi.
Senada, Direktur Consumer BTN, Hirwandi Gafar menambahkan beberapa permasalahan dalam pembangunan rumah, baik dari sisi supply dan juga sisi demand. Hirwandi mengatakan permasalahan pertama dari sisi supply adalah ketersediaan lahan.
Kedua, terkait dengan rencana desain tata ruang. Sebab, tata ruang suatu wilayah diatur oleh pemerintah pusat melalui kantor pertanahan dan pemerintah daerah.
"Kemudian hal lain lagi adalah sertifikasi tanah. Saat ini sudah ada e-sertifikat atau elektronik sertifikat. Itu juga mungkin ada permasalahan misalnya dengan perbankan, bagaimana pengamanan bank dalam hal ini untuk itu (sertifikat) menjadi jaminan," tuturnya.
Sementara itu dari sisi demand, jika ingin mengarahkan masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal maka perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terlebih dahulu.
"Jadi pemikirannya nggak landed house terus," kata Hirwandi.
Dari sisi pembiayaan, ujar Hirwandi, harus dicek dulu apakah sertifikat rumah susun bisa sepanjang penghuni mencicil hunian. Sebab, sertifikat tersebut merupakan jaminan bank.
"Bagaimana juga bentuk skema pembiayaannya yang akan diterbitkan, tentu akan dicocokkan atau disesuaikan dengan wilayahnya. Misalnya di pedesaan, dia sudah ada lahan tentu perlu disediakan KPR untuk bangun rumah," ungkapnya.
(abr/dna)