Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdilah mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan bagi pengembang perumahan adalah pembiayaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, menurutnya bisa disiasati melalui hunian berimbang.
Pemerintah sendiri sudah memiliki aturan mengenai hunian berimbang yang tertuang dalam UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Namun, hingga saat ini masih belum dilaksanakan.
Menurutnya, pengembang menengah ke atas bisa berpartisipasi dalam pembangunan rumah subsidi melalui aturan tersebut. Sementara itu, dari pengembang menengah ke bawah bisa membantu dengan membuat bantuan simpanan atau tabungan untuk pembiayaan pembangunan rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, pada PP Nomor 12 tahun 2021, tertuang komposisi hunian berimbang berupa:
- Pembangunan satu rumah mewah berbanding paling sedikit dua rumah menengah dan berbanding paling sedikit tiga rumah sederhana
- Pembangunan satu rumah mewah berbanding paling sedikit tiga rumah sederhana; atau
- Pembangunan dua rumah menengah berbanding paling sedikit tiga rumah sederhana
"Kami (pengembang kecil/rumah subsidi) juga bisa menawarkan diri partisipasi, artinya bagaimana kami ikut gotong royong untuk meringankan pembiayaan yang sifatnya bantuan simpanan atau tabungan," katanya saat rapat dengan Komisi V DPR, di Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Ia mencontohkan, untuk pengembang kecil bisa menabung Rp 5 juta per unit rumah subsidi yang dibangun. Jika ada kuota rumah subsidi 350 ribu per tahun, maka tabungan yang dihasilkan bisa mencapai Rp 1,75 triliun per tahun. Perputaran uang tersebut tentunya bisa membantu pengadaan rumah subsidi tanpa harus membebani APBN.
Terkait hunian berimbang, ia juga mengusulkan agar bisa dinominalkan, jadi rumah mewah, menengah, dan sederhana tidak harus berada dalam satu kawasan. Sebab, bisa saja dalam satu kawasan itu tidak bisa dibangun rumah mewah dan rumah subsidi karena harga tanah yang mahal. Belum lagi karena adanya perbedaan budaya dan pola hidup penghuni rumah mewah dengan rumah subsidi.
"Contoh hunian berimbang di Jakarta nggak mungkin membangun rumah subsidi di daerah Jakarta pasti, mungkin setara dengan uang bisa membangun di daerah pinggiran Jakarta dan sekitarnya," tuturnya.
"Nah usulan kami perumahan yang khususnya rumah KPR bersubsidinya hasil hunian berimbang sebaiknya bisa disetarakan dengan nominal sehingga bisa dibangun di wilayah sekitarnya yang mungkin tanahnya bisa sesuai kalau diwajibkan harus membangun di satu hamparan saya yakin para pengembangnya keberatan Pak harga tanahnya yang pasti sangat jauh," jelasnya.
Sebagai informasi, saat ini pemerintah juga berencana untuk membentuk Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) sebagai langkah realisasi Program 3 Juta Rumah. Badan ini dinilai mampu untuk membantu pembiayaan perumahan bersubsidi dengan dana konversi untuk meringankan APBN untuk pembiayaan perumahan.
Dana konversi yang didapat oleh BP3 ini bisa berasal dari hunian berimbang. Dalam catatan detikcom, jika ada BP3, pelaksanaan pembangunan rumah murah nantinya akan dikonversi menjadi biaya yang harus dibayarkan alias pungutan yang nilainya setara dengan harga rumah murah yang jadi kewajiban pengembang tadi.
Pada 2024 lalu, Direktur Rumah Umum dan Komersial Ditjen Perumahan Kementerian PUPR (kini menjadi Jenderal Kawasan Permukiman Kementerian PKP) Fitrah Nur, sempat mengatakan bahwa pungutan yang diberi nama Dana Konversi Hunian Berimbang dan dibayarkan lewat BP3 itu bisa membantu menyediakan dana selain dari APBN. Ia mengatakan kalau hanya mengandalkan dana APBN, maka ruang fiskal akan sempit.
Ia melanjutkan, dasar hukum penerapan pungutan terhadap pengembang tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2021 mengatur pengembang yang membangun rumah mewah atau rumah menengah harus membangun tiga rumah subsidi. Peraturan ini berlaku untuk di satu kabupaten.
"Kalau (pengembang) bangun di Kabupaten A, rumah mewah atau rumah sedang, mereka harus bangun tiga rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," katanya kepada wartawan pada Rakernas APERSI 2024 di Hotel Pullman Jakarta Central Park, Selasa (23/7/2024) silam.
Apabila pengembang tidak mampu langsung membangun rumah MBR tersebut, maka opsi lain adalah menyetorkan dana konversi ke BP3. Ada dua dana konversi, yakni dana hibah dan dana kelolaan.
"Kalau pengembangnya bisa langsung membangun, mereka akan membangun. Mereka akan serahkan dana konversi ke BP3. Jadi BP3 yang akan bangun," ucapnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/zlf)