Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menanggapi pemberitaan mengenai penambahan pajak 2,4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS. Menurutnya, pengenaan pajak ini bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.
"PPN atas kegiatan membangun sendiri (KMS) ini sudah ada sejak tahun 1995, diatur di UU No 11 Tahun 1994. Jadi, bukan PAJAK BARU. Umurnya sudah 30 tahun," kata Prastowo dalam cuitan di akun X-nya @prastow, dikutip Selasa (17/9/2024).
Tujuan pengenaan pajak sendiri, agar semua proses pembangunan baik yang dibantu oleh kontraktor maupun sendiri mendapat tanggungan sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menciptakan keadilan. Karena kalau membangun rumah dengan kontraktor terutang PPN, maka membangun sendiri pd level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama," ujarnya.
Namun, perlu diperhatikan penambahan pajak ini tidak berlaku pada semua jenis pembangunan. Melainkan terdapat syarat dan ketentuan. Misalnya luas bangunan 200 meter persegi atau lebih baru dikenakan penambahan pajak pembangunan rumah.
Kemudian, untuk besaran pajak yang dikenakan normalnya adalah 20% dari total pengeluaran. Apabila PPN DTP pada 2025 ditambah dari yang semula 11% menjadi 12%, maka pajak untuk pembangunan rumah sendiri akan bertambah menjadi 2,4% dari yang semula hanya 2,2%.
"Jika tarif PPN normal 11%, maka tarif PPN KMS hanya 2,2%. Ini karena dasar pengenaannya hanya 20% dari total pengeluaran. Jika tahun 2025 tarif PPN jadi naik, berarti tarif menjadi 2,4%," jelasnya.
Ada pun, PPN DTP sendiri adalah pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah atau kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat membeli rumah tapak dan rumah susun.
Insentif PPN DTP ini hanya dapat diberikan kepada penjualan rumah tapak atau rumah susun seharga Rp 2 miliar dan tidak melebihi Rp 5 miliar.
"Bukankah ini menguntungkan semua segmen konsumen kecil-menengah? Iya karena yang mewah harus bayar PPN dan PPnBM 20% jika harga di atas Rp 30 miliar," ucap Prastowo.
Dia juga menambahkan, bagi masyarakat berpenghasilan tidak lebih dari Rp 8 juta per bulannya, terdapat skema pembiayaan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). FLPP ini bebas PPN (Pajak Penambahan Nilai), mendapat jaminan bunga KPR hingga 5%, waktu kredit hingga 20 tahun, serta diberikan subsidi DP Rp 4 juta.
"Untuk segmen masyarakat berpenghasilan s.d (sampai dengan) Rp 8 juta/bulan, ada FLPP. Selain bebas PPN juga mendapat jaminan bunga KPR maksimal 5%, jangka waktu kredit s.d 20 tahun, subsidi DP Rp 4 juta," pungkasnya.
(aqi/aqi)