Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) adalah kebijakan pemberian tarif tambahan kepada produk impor yang dijual terlalu murah di Indonesia. Dampak dari adanya barang dumping ini adalah sulitnya produk lokal bersaing karena harga yang lebih tinggi meski kualitas lebih terjamin. Salah satu produk yang akan dikenakan tarif BMAD ini adalah keramik impor.
Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, kebijakan anti dumping wajar diterapkan pada setiap negara. Selama negara tersebut merasa dirugikan karena adanya barang impor yang masuk.
"Atas praktik unfair trade berupa dumping tersebut ADA membolehkan negara yang industri dalam negerinya dirugikan untuk mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) kepada produsen yang melakukan praktek unfair tersebut," tulis bahan kajian 'Kebijakan Tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) Terhadap Impor Produk Keramik Dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT)', seperti yang dikutip pada Selasa (23/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan yang memperkuat kebijakan anti dumping ini diantaranya UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti-Dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Melansir dari detikFinance, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan berdasarkan hasil dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), produk impor keramik dari China yang terbukti dumping akan ada tambahan pajak berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Ketua KADI Danang Prastal Danial menyampaikan pihaknya telah menyelidiki sejumlah produk keramik dari China sejak Maret 2023. Penyelidikan ini dilakukan atas permohonan Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI).
Produk impor yang diselidiki termasuk dalam pos tarif 6907.21.24; 6907.21.91; 6907.21.92; 6907.21.93; 6907.21.94; 6907.22.91; 6907.22.92; 6907.22.93; 6907.22.94; 6907.40.91; dan 6907.40.92 berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2022.
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita mengungkapkan keramik dari Cina yang diusulkan rencananya akan dikenakan tarif terbesar hingga mencapai 199%. Namun, tarif sebesar itu akan hanya akan dikenakan kepada perusahaan atau importir yang tidak koperatif.
"Itu yang digaung-gaungkan naik 199%, padahal itu untuk perusahaan lainnya. Kan ada beberapa item 39 atau 37 perusahaan lainnya yang tidak koperatif, itu akan dikenakan tarif tertinggi (199%)," ungkapnya di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (9/7/2024).
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Edy Suyanto menjelaskan keramik asal Cina yang terbukti dumping telah menjual keramik dengan harga murah. Padahal keramik lokal banyak yang kualitasnya di atas produk impor.
"Kalau saya bicara kualitas keramik, selama ini kita di atas daripada kualitas keramik impor. Pelanggan kita ini selalu hanya disuguhi keramik impor karena murah. Dari sisi kualitas mereka jauh di bawah kita karena mereka ingin mengejar murah dan dumping, mereka mau mengejar lagi yang tadinya 1 cm sekarang ditipisin 7 mm dikurangi 30%. Itu sudah pasti mempengaruhi kekuatan keramik," jelasnya.
"Dengan demikian mereka tidak memolis isian dengan sempurna sehingga dalam jangka waktu yang lama yah paling dia pake setengah tahun atau satu tahun ke depan paling ini HT, homogeneous tile dari Cina sudah menyerap noda. Sedangkan produk lokal tidak demikian karena produk lokal sudah standar SNI," lanjutnya.
Sebelum ada BMAD, produsen lokal terpaksa mengurangi jumlah produksi keramik hanya sekitar 40% karena besarnya pengeluaran daripada pemasukan. Edy mengharapkan jika nantinya tarif BMAD diterapkan, produsen lokal bisa ada peningkatan produksi keramik sebesar 80% di 2024 dan 90% di 2025.
Sementara itu, jika nantinya BAMD diterapkan, kemungkinan ada peningkatan harga keramik impor. Menurut riset dari CNBC Indonesia kenaikan tersebut sekitar Rp 10.000 per meter persegi.
"Kabar dari importir sekarang lebih susah masuk di pelabuhannya, biaya impor juga bakal lebih mahal dibanding sekarang ini, keramik polos impor yang sebelumnya Rp 78.000 per m2 nantinya bisa jadi Rp 88.000 per m2," kata penjual keramik, Lani kepada CNBC Indonesia di Jakarta Timur, pada Senin (22/7/2024).
Meskipun ada kenaikan harga keramik impor, Edy mengatakan harga keramik lokal tidak akan jauh berbeda dengan impor sehingga tercipta persaingan yang sehat. Kemudian, Edy menekankan, kenaikan harga keramik impor ini nantinya tidak akan mempengaruhi harga rumah karena keramik hanya menghabiskan 1,2% biaya pembangunan rumah.
"Logika dasarnya, komponen keramik cuma berapa sih terhadap satu rumah dan yang paling penting yang harus kita catat, bahwa ini kenaikan yang tadinya mungkin 1,2% dari total komponen biaya pembangun rumah. Dengan kenaikan BMAD tadi, dengan dasar kata importir itu kan hanya naik ke 1,4% dari total produksi biaya pembangunan sebuah rumah," tutur Edy.
(aqi/aqi)