Kuota program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk tahun 2024 mengalami penurunan. Pada tahun sebelumnya, kuota FLPP sekitar 229.000 unit rumah atau Rp 26 triliun sementara untuk 2024 hanya 166.000 unit atau Rp 16 triliun.
Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Realestat Indonesia (REI) Raymond Ardan Arfandy menuturkan, perlunya dana pendamping untuk memperkuat pembiayaan perumahan. Hal ini tentunya bisa membantu menurunkan angka backlog.
"Pembiayaan alternatif itu bisa datang dari pendampingan pembiayaan yang sudah ada selama ini selain yang ada di Tapera. Kita sudah ada tunjangan-tunjangan mulai dari BPJS, ada dari BPKH, itu pengin dijadikan semacam (alternatif) pembiayaan pendampingan terhadap penyediaan perumahan," ujarnya dalam acara Temu Anggota Tiga DPD REI, di ICE BSD, Tangerang Selatan, Rabu, (12/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam acara yang sama, anggota asosiasi Realestat Indonesia (REI) yang berasal dari tiga DPD, yakni REI DKI Jakarta, REI Jawa Barat dan REI Banten mendesak pemerintah segera merealisasikan penambahan kuota untuk pembiayaan rumah bersubsidi.
Jika merujuk kepada data yang diambil dari website BP Tapera, realisasi penyaluran dana FLPP rumah tapak bulan Januari sampai akhir Mei 2024 = 78.705 unit rumah. Jika penyaluran dana FLPP ingin berlanjut hingga Desember 2024, maka idealnya kuota untuk tahun 2024 sekitar 218.808 unit.
Berdasarkan data di atas maka diprediksi kuota FLPP 2024 sejumlah 166.000 unit akan habis pada bulan Agustus mendatang.
Menipisnya alokasi pembiayaan rumah subsidi yang disalurkan lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP tahun ini, menurut Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI DKI Jakarta Arvin F. Iskandar, tidak hanya menimbulkan kekhawatiran bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), tetapi juga bagi pengembang pelaku pembangunan rumah bersubsidi.
"Terkait isu kuota pembiayaan rumah subsidi, kami tiga DPD REI; DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten melakukan koordinasi untuk proaktif. REI mencari terobosan yang kongkrit dengan para pemangku kepentingan terkait solusi yang bisa dieksekusi bersama-sama," ungkap Arvin.
Soal keterbatasan APBN dalam pembiayaan KPR FLPP, menurut Arvin, harus ada terobosan baru.
"Apakah bisa dengan (kembali) menerapkan program subsidi selisih bunga atau menggali alternatif pembiayaan dari sumber-sumber yang lain. Pengembang harus realistis karena APBN terbatas. Demikian juga dengan perbankan, BP Tapera atau BPJS TK. Kolaborasi seperti apa yang bisa dilakukan dengan REI ke depan untuk memanfaatkan dana kelolaan masing-masing, agar optimal tersalurkan bagi pembiayaan perumahan," ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Ketua DPD REI Jawa Barat, Lia Nastiti mengatakan pertemuan tiga DPD REI ini merupakan bagian dari upaya berkomunikasi dan kolaborasi dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, perbankan sebagai penyalur dana dan pengembang selaku penyedia perumahan, untuk berbagi peran mencari terobosan dan solusi agar permintaan dan pasokan hunian tetap berjalan baik setiap tahun sehingga pada akhirnya akan menurunkan angka backlog kepemilikan rumah.
Lia menyampaikan, pengembang rumah subsidi di Jawa Barat sangat berharap tindakan konkret pemerintah. Pasalnya, kekurangan kuota pembiayaan dana subsidi berpotensi menyebabkan dampak besar, tidak hanya bagi MBR dan pengembang, tetapi juga untuk 175 industri yang menjadi penunjang pembangunan rumah dan jangan dilupakan juga dampaknya bagi pihak perbankan yang memberikan kredit konstruksi.
"Jawa Barat selama ini adalah penyumbang pembangunan rumah subsidi terbesar di Indonesia. Dimana tahun 2023 realisasi nya adalah 61.868 unit, dan di Tahun 2024 ini kami menargetkan sebanyak 65,000 unit rumah subsidi. Kehabisan kuota KPR FLPP bisa menghambat pertumbuhan sektor properti, menghambat pengembangan properti, dan meningkatkan risiko gagal bayar karena pengembang tidak dapat memenuhi kewajiban perbankan," tambahnya.
Ketua DPD REI Banten Roni H Adali menambahkan, ia berharap ada upaya dari pemerintah guna mendorong stakeholder untuk mengatasi kekurangan kuota.
"Pengembang di Banten menilai permintaan masyarakat terhadap rumah subsidi tetap tinggi. Kami juga sudah berkomunikasi dengan pemimpin daerah di Banten terkait kebutuhan dana perumahan ini. Bersama-sama dengan pemerintah daerah menyuarakan pentingnya tambahan pembiayaan bagi rumah subsidi MBR ke pemerintah pusat," ujarnya.
(abr/zlf)