Pengadaan rumah murah terus digencarkan oleh pemerintah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Salah satu model hunian yang hendak didorong oleh Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian (PUPR) adalah rumah susun (rusun) yang dinilai jumlahnya masih sedikit.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan dan Infrastruktur PUPR Herry Trisaputra Zuna mengharapkan ke depannya pemerintah bisa fokus ke rusun di perkotaan selain rumah tapak.
"Harapannya tentu kalau bisa ada inovasi, sehingga rumahnya lebih efisien. Itu juga kan bisa membantu sehingga yang dicicilnya juga turun. Mestinya juga kita fokus ke perumahan vertikal di perkotaan, (seperti) rumah susun," kata Herry saat dihubungi detikProperti pada Selasa (7/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herry mengakui saat ini pembangunan rusun masih belum terlalu masif. Namun, ke depannya PUPR akan mendorong pengadaan rusun terutama di perkotaan. Meskipun akan ditemukan kendala seperti harga rusun yang lebih tinggi karena biaya konstruksi. Di satu sisi, tinggal di rusun menurutnya akan lebih mudah dalam hal transportasi karena lokasinya yang strategis.
Hingga saat ini, dari 1,5 juta unit rusun yang tersedia yang baru terisi sekitar 900 unit saja menurutnya. Bahkan beberapa rusun berkonsep sewa untuk MBR biaya per bulannya murah yakni Rp 10.000.
"Ini (peminatnya) yang harus kita dorong ke depan. Sehingga industrinya juga mau berinvestasi di rumah susun vertikal dan masyarakatnya tadi juga bisa mampu mencicil untuk harga tersebut," ujar Herry.
Terobosan lainnya yang ingin diusulkan adalah pembebasan pajak atau PPN menjadi 0%. Sebelumnya pembebasan PPN ini sudah diterapkan di rumah tapak yang harganya di bawah Rp 2 miliar selama 2024 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023.
"Salah satu yang sudah didorong adalah kita lakukan perubahan bebas pajaknya untuk yang rumah susun untuk yang vertikal. Nah yang rumah vertikal sudah diusulkan ke Kementerian Keuangan, sedang dibahas di sana," bebernya.
Adapun untuk luas rusun yang akan diperbanyak ke depannya, Herry mengatakan untuk tipe 36 tidak memungkinkan. Sebagai gantinya, akan ada pendekatan dengan peminat untuk mengetahui model hunian yang diinginkan.
Untuk saat ini, yang didahulukan adalah penyesuaian pajaknya dahulu sehingga MBR yang paling membutuhkan dapat menempatinya.
"Terus yang kedua yang harus dilakukan juga modifikasi mungkin KPR-nya karena selama ini kan misalnya MBR 5% hanya bisa 20 tahun. Harapannya tentu hidupnya akan makin baik dengan punya rumah, naikkan pendapatan. Nanti mungkin harus dihitung ya apakah 20 tahun tadi waktu cukup untuk mencicil? Atau nanti bisa saja di ekstern menjadi 30-35 tahun KPR-nya. Subsidinya nanti jadi pertanyaan lagi apakah harus sama dengan tenor?" pungkasnya.
(aqi/zlf)