Memiliki rumah di pinggir rel ternyata diatur dalam undang-undang lho! Secara hukum, memiliki rumah di pinggir rel kereta api dilarang karena bisa membahayakan, baik bagi penghuni rumah maupun keselamatan perjalanan kereta api itu sendiri.
Melansir hukumonline.com, Senin (20/11/2023), larangan memiliki rumah di pinggir rel kereta api tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 178 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pasal 140.
UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 178 berbunyi sebagai berikut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, mananam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membayahakan keselamatan perjalanan kereta api."
Sementara itu, UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pasal 140 berbunyi sebagai berikut.
"Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang."
Negara atau PT KAI Berhak Gusur Rumah di Pinggir Rel
Karena terletak di pinggir rel kereta api, maka status kepemilikan tanah yang menjadi tempat berdirinya rumah adalah milik negara atau PT KAI. Berdasarkan UU yang telah disebutkan, negara atau PT KAI berhak melakukan penggusuran atas rumah yang berada di pinggir rel.
Melansir hukumonline.com, Senin (20/11/2023), siapa yang berhak melakukan penggusuran atas rumah tersebut tergantung apakah status tanahnya milik negara atau PT KAI.
Jika status tanah merupakan milik negara, penggusuran didasarkan oleh UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pasal 140. Sementara itu, jika status tanah merupakan milik PT KAI, penggusuran didasarkan oleh UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 178.
Pemilik Rumah Berhak Dapat Kompensasi
Kompensasi menjadi hak bagi para pemilik rumah di pinggir rel yang rumahnya digusur. Hal ini karena mereka masih memiliki hak atas bangunan rumah di atas tanah tersebut. Bangunan rumah tersebut tentu memiliki nilai atau harganya tersendiri. Ini dikenal sebagai asas pemisahan horizontal dalam hukum pertanahan Indonesia.
Sebagai informasi, asas pemisahan horizontal berarti pemegang hak atas tanah tidak secara otomatis sebagai pemilik dari bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah tersebut, pun sebaliknya.
Pada banyak kasus, para pemilik rumah yang berada di pinggir rel tersebut masih menjadi subyek pajak. Dengan kata lain, mereka masih membayar pajak atas bangunan rumah yang mereka tinggali setiap tahunnya.
Besaran kompensasi atau juga dikenal dengan sebutan uang kerohiman ini tergantung pada berbagai aspek.
Sebagai contoh, jika tanah tersebut digunakan untuk pembangunan nasional, besaran kompensasi yang kemudian disebut santunan uang atau relokasi dihitung berdasarkan 4 aspek, yaitu biaya pembersihan segala sesuatu yang berada di atas tanah, mobilisasi, biaya sewa rumah paling lama 12 bulan, dan/atau tunjangan kehilangan pendapatan dari pemanfaatan tanah.
Demikianlah aturan hukum memiliki rumah yang berada di pinggir rel kereta api. Semoga informasi tersebut memberikan wawasan dan bermanfaat!
Buat detikers yang punya permasalahan seputar rumah, tanah atau properti lain. Baik itu berkaitan dengan hukum, konstruksi, pembiayaan dan lainnya, tim detikProperti bisa bantu cari solusinya. Kirim pertanyaan Kamu via email ke tanya@detikproperti.com dengan subject 'Tanya detikProperti', nanti pertanyaan akan dijawab oleh pakar.
(dna/dna)