Cerita Didik Nini Thowok Buat Tarian Bedhaya Hagoromo, Kolaborasi Bareng Jepang

Didik Nini Thowok dikenal sebagai seniman cross gender pertama di Indonesia. Namanya telah melegenda selama lebih dari 5 dekade.
Salah satu tarian fenomenal yang pernah dibuatnya adalah tari Bedhaya Hagoromo yang ditarikan saat opening Indonesian Dance Festival (IDF) akhir pekan lalu. Tarian yang diciptakannya berkolaborasi dengan pertunjukan non Jepang.
Kepada detikpop, Didik Nini Thowok cerita kalau kolaborasi dua negara ini hasil hibah travel grant dari Japan Foundation. Dia menyatukan dua bentuk seni klasik yakni tari Bedhaya Jawa dan Noh asal Jepang. Pada 2000, saat ke Jepang ia menemukan ada rumusan cerita dari tari Jawa dan Jepang yaitu legenda Jaka Tarub.
"Saya itu awalnya tahun 2000 belajar Noh di Jepang selama 3 bulan, ada 3 nomor tari yang dipelajari (Yuya, Momochigari, dan Hagoromo). Saat belajar Hagoromo yang artinya jubah terbang, ceritanya persis Jaka Tarub, yang Noh itu jubahnya dicuri tukang mancing," katanya di area Taman Ismail Marzuki (TIM), pada Senin (4/11/2024).
Dalam literatur Jepang, legenda tarian Hagoromo dikisahkan bidadarinya minta jubahnya dikembalikan. Tapi si tukang mancing bilang, "Aku mau lihat tarian langit, kalau dikembalikan nanti kamu pergi," kata Didik.
"Di langit tidak mengenal kata-kata bohong. Lalu gerakannya muter-muter dan terbang. Dia melihat Gunung Fuji dari atas, lalu terbang," sambungnya.
Bersama dengan Richard Emmert dan Akira Matsui, karya ini berusaha menjahit unsur-unsur estetika pada tari bedhaya dan tari noh untuk menunjukkan keterhubungan sekaligus keunikan antar-budaya.
Selain koreografi, peleburan dua tari klasik ini juga dilakukan melalui permainan musik gamelan tradisi bercorak Yogyakarta-Solo dan tetabuhan khas noh, kostum bedhaya dengan topeng dan kipas noh, dan elemen lainnya.
Usai kembali dari Jepang, Didik sempat minta izin kepada ahli tari Bedhaya dari Keraton Yogyakarta. Dia ingat sekali pernah ada tarian bedhaya yang kolaborasi dengan Cina mengambil inspirasi cerita Putri Cina.
"Saya pikir, oh boleh kolaborasi dengan Putri Cina, terjadilah ini. Pertama kali ditarikan tahun 2001, dan kemarin adalah pentas yang keempat," terangnya.
Tarian Bedhaya Hagoromo pun sudah pernah dipentaskan di depan Sultan Yogyakarta di 2004 dan dapat apresiasi positif saat Festival Cross Gender International. "Sultan menerima dan kasih apresiasi, ada tulisan yang ditulis tangannya beliau, saya simpan dan dibaca," tukasnya.
Bedhaya Hagoromo menunjukan bagaimana budaya gender direpresentasikan dan dinegosiasikan dalam konteks pertunjukan transnasional, serta mengelaborasi isu-isu budaya yang lebih luas tentang inovasi, kolaborasi, perjuangan kelas dan identitas, lokasi budaya dalam pertunjukan, serta politik representasi.
(tia/pus)