Di tepi Sungai Kuin, Banjarmasin, berdiri sebuah bangunan bersejarah yang menjadi saksi awal masuknya Islam di Kalimantan Selatan. Masjid Sultan Suriansyah, yang juga dikenal sebagai Masjid Kuin, merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan dan salah satu yang tertua di Indonesia.
Dibangun pada masa kejayaan Kesultanan Banjar, masjid ini menyimpan kisah tentang penyebaran Islam dan peran Sultan Suriansyah sebagai tokoh penting dalam sejarah daerah tersebut. Setiap sudutnya menyimpan nilai budaya dan jejak sejarah yang menceritakan bagaimana Islam berkembang di tanah Banjar.
Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin, di kawasan yang dulunya menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sebagai masjid tertua di Kalimantan Selatan, keberadaannya tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga ikon budaya yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Melihat Masjid Sultan Suriansyah
Dirangkum dari laman Kecamatan Banjarmasin Utara, Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, dan Kemenparekraf, masjid ini terletak di Jalan Kuin Utara, RT 4, Desa Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Akses menuju masjid ini mudah karena berada di dalam wilayah Kota Banjarmasin, dekat Jalan Pangeran, dan dapat dinikmati bersamaan dengan pemandangan Sungai Kuin serta dermaga bersejarah di seberangnya.
Masjid Sultan Suriansyah merupakan sebuah masjid bersejarah dan tertua di Kalimantan Selatan. Masjid yang terletak di tepian Sungai Kuin ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.
Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.
Posisi pendirian masjid ini adalah sebuah kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama yang merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar pertama. Masjid dibangun sekitar tahun 1526 M. Kini, letaknya berdekatan dengan makam sang sultan yang menjadi objek wisata religi.
Masjid ini mencerminkan arsitektur tradisional Banjar, dengan struktur panggung dan atap tumpang, serta mihrab yang memiliki atap terpisah. Bangunan utamanya terbuat dari kayu ulin yang kokoh, dan walau telah beberapa kali dipugar, keaslian bentuk dasarnya tetap dipertahankan sebagai bagian dari Kawasan Cagar Budaya.
Keunikan lainnya adalah filosofi empat tingkatan bangunan masjid yang menyimbolkan syariat, pengamalan, hakikat, dan spiritualitas Islam. Masjid ini dihiasi dengan kaligrafi Arab, simbol-simbol Islam, dan ukiran khas Banjar.
Bagian dalam masjid memperlihatkan perpaduan nuansa Islami dan budaya Banjar, seperti ukiran kaligrafi Arab berisi ayat Al-Qur'an dan nama Allah, serta ornamen khas Banjar bergambar manggis, nanas, tali, dan bunga. Konon saat pemasangannya, di bagian atas tiang tersebut diletakkan wafak atau jimat khas Banjar berupa tulisan Arab yang dirajah dengan doa-doa, sebagai perlindungan agar masjid senantiasa damai dan terhindar dari bahaya.
Di tengah bangunan berdiri empat tiang guru asli yang telah ada sejak awal pendirian. Masjid Sultan Suriansyah merupakan cagar budaya berdasarkan SK Menteri PM.27/PW.007/MKP/2008 pada Tanggal 23 Mei 2008.
Sejarah Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah merupakan saksi bisu awal masuknya agama Islam di Kalimantan Selatan sekaligus peninggalan bersejarah dari Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah.
Sebelum bernama Sultan Suriansyah, ia dikenal dengan nama Pangeran Samudera yang merupakan cucu dari Maharaja Sukamara (raja Kerajaan Negara Daha). Sebelum raja meninggal, beliau berpesan bahwa yang menggantikannya yakni Pangeran Samudera.
Namun hal itu tidak disetujui oleh puteranya yakni Pangeran Tumanggu dan Pangeran Bagalung. Seorang punggawa bernama Arya Trenggana meminta Pangeran Samudera meninggalkan istana untuk keselamatannya.
Dalam masa pelarian, Pangeran Samudera menyamar menjadi seorang nelayan dan bertemu dengan Patih Masih di perkampungan Kuin. Oleh Patih Masih, Pangeran Samudera diangkat menjadi raja Kerajaan Banjar dan melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha.
Pada masa pemerintahan Pangeran Samudera menguasai wilayah daerah Muara Barito yang cukup luas sampai terdengar ke semua daerah. Terlebih ia mampu menghimpun potensi penduduk, mengangkat kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat.
Kabar tersebut sampai ke telinga Pangeran Tumenggung. Pangeran Tumenggung, yang kemudian mengarahkan pasukannya ke wilayah Marabahan sehingga terjadi peperangan. Dalam peperang tersebut Pangeran Samudera mengalami kekalahan dan meminta bantuan kepada Kerajaan Demak.
Syaratnya, apabila memperoleh kemenangan, Pangeran Samudera beserta rakyatnya harus memeluk agama Islam. Akhirnya ia pun memenangkan peperangan tersebut dan memeluk agama Islam.
Ia kemudian mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah. Tidak lama berselang, dibangunlah Masjid Sultan Suriansyah sebagai tempat Ibadah.
Masjid Sultan Suriansyah pernah dipugar pada tahun 1976 yang dipelopori oleh Kodam X Lambung Mangkurat dan pada tahun 1999 yang dipelopori oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Karena merupakan peningggalan sejarah, maka ditempatkan pula juru pelihara yang bertugas membersihkan dan merawat masjid tersebut.
Meski telah beberapa kali mengalami pemugaran, struktur aslinya tetap dipertahankan karena statusnya sebagai Kawasan Cagar Budaya peninggalan Kerajaan Banjar. Keistimewaannya terletak pada bahan bangunannya yang seluruhnya menggunakan kayu ulin atau kayu besi, yang terkenal sangat kuat sehingga mampu bertahan berabad-abad.
Simak Video "Mengisi Tenaga dengan Hidangan Lezat di Banjarmasin"
(aau/aau)