Di tepi pertemuan Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak, berdiri sebuah kerajaan yang menjadi cikal bakal lahirnya Kota Pontianak. Nama kerajaan itu adalah Kesultanan Pontianak, kerajaan Islam terakhir yang berdiri di wilayah Kalimantan Barat, namun justru meninggalkan jejak paling kuat dalam sejarah daerah ini.
Awal Berdirinya Kerajaan Pontianak
Kesultanan Pontianak merupakan kerajaan Islam terakhir yang berdiri di wilayah Kalimantan Barat. Kerajaan ini lahir pada masa pemerintahan Van Der Parra, Gubernur Jenderal VOC ke-29 (1761-1775). Pendirinya adalah Pangeran Syarif Abdurrahman yang kemudian dikenal dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam Ibnu Hamid Husin Al Kadri. Ia adalah putra sulung dari Al Habib Husin Al Kadri, seorang ulama dan penyiar agama Islam asal Arab yang menikah dengan putri Raja Tanjungpura.
Setelah menetap di Mempawah, keluarga Al Kadri menjadi bagian penting dalam jaringan dakwah dan hubungan antarkerajaan di pesisir Kalimantan. Seusai wafatnya sang ayah, Syarif Abdurrahman meninggalkan Mempawah dan berlayar ke arah muara Sungai Kapuas untuk mencari tempat baru yang layak dijadikan pusat pemerintahan. Dalam perjalanan itu, ia menembakkan meriam ke arah hutan rimba, dan di titik jatuhnya peluru meriam itulah kemudian didirikan sebuah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Jami' Sultan Abdurrahman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut catatan resmi di Keraton Kadriah, peristiwa tersebut terjadi pada 13 Oktober 1771 M (14 Rajab 1185 H). Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari berdirinya Kota Pontianak yang menjadi awal babak baru dalam sejarah Kalimantan Barat. Lokasi kesultanan dipilih di persimpangan antara dua sungai besar, yaitu Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak, di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Dalam Bugis.
Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan. Menurut Sultan Syarif Abdurrahman, daerah tersebut sangat strategis untuk pertahanan dan perdagangan karena berada di jalur lalu lintas sungai yang ramai. Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman yang pernah berlayar hingga ke Banjarmasin, ia paham betul pentingnya posisi geografis bagi pertumbuhan ekonomi dan kekuatan militer.
Peran Sultan Syarif Abdurrahman
Syarif Abdurrahman bukan hanya berperan sebagai sultan, tetapi juga seorang pelaut ulung. Ia pernah berlayar hingga ke Banjarmasin, bandar niaga besar yang ramai dikunjungi kapal asing dan dikenal gigih menolak monopoli rempah-rempah oleh Belanda. Dari pengalaman itu, ia belajar arti penting kekuatan ekonomi dan diplomasi laut.
Ketika kembali ke Pontianak, ia menata kerajaan barunya dengan visi yang luas. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang kala itu menguasai perdagangan di Nusantara, mengakui keberadaan Kesultanan Pontianak. Pada 5 Juli 1779, VOC mengirim Residen Rembang Willem Adrian Palm untuk secara resmi menobatkan Syarif Abdurrahman sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam Ibnu Hamid Husin Al Kadri.
Hubungan diplomatik ini menunjukkan kemampuan sang sultan memainkan politik antara kekuatan lokal dan kolonial, sebuah hal yang jarang dimiliki raja muda di masa itu.
Masa Kejayaan dan Pergantian Sultan
Setelah masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman (1771-1808), Kesultanan Pontianak berkembang menjadi pusat perdagangan dan dakwah Islam yang penting di pesisir barat Kalimantan. Setelah beliau wafat, takhta berpindah secara turun-temurun kepada delapan sultan dari garis Al Kadri, yaitu:
- Sultan Syarif Abdurrahman Al Kadri (1771-1808)
- Sultan Syarif Kasim Al Kadri (1808-1819)
- Sultan Syarif Usman Al Kadri (1819-1855)
- Sultan Hamid I Al Kadri (1855-1873)
- Sultan Syarif Yusuf Al Kadri (1873-1895)
- Sultan Syarif Muhammad Al Kadri (1895-1944)
- Sultan Syarif Taha Al Kadri (1944-1945)
- Sultan Syarif Hamid II Al Kadri (1945-1950)
Di masa Sultan Hamid II, kesultanan menghadapi perubahan besar akibat kemerdekaan Indonesia. Statusnya sebagai kerajaan kemudian dihapus, namun warisannya tetap menjadi bagian penting dalam identitas budaya Kalimantan Barat.
Keraton Kadriah dan Masjid Jami' Sultan Abdurrahman
Dua peninggalan paling penting dari Kesultanan Pontianak adalah Keraton Kadriah dan Masjid Jami' Sultan Abdurrahman.
Keraton Kadriah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Al Kadri pada tahun 1923. Bangunan ini menggantikan istana lama yang diyakini berdiri di lokasi yang sama. Menurut cerita turun-temurun, istana pertama memiliki tiga balai megah:
- Balai Cermin, tempat Sultan menerima tamu resmi seperti Residen Belanda,
- Balai Kisi-Kisi, tempat berkumpulnya keluarga kerajaan, dan
- Balai Rungseri, tempat khusus bagi para putri keraton.
Kini, hanya tersisa satu balai yang menjadi bagian utama dari Keraton Kadriah. Meski telah mengalami banyak perbaikan, arsitektur kayunya yang khas tetap memancarkan keanggunan Melayu-Islam yang kuat.
Masjid Jami' Sultan Abdurrahman juga menjadi saksi sejarah panjang Pontianak. Berdasarkan inskripsi di atas mimbar, masjid ini dibangun kembali oleh Sultan Syarif Usman pada Selasa, bulan Muharram 1237 H (1821 M). Hingga kini, masjid tersebut masih berdiri kokoh di tepi Sungai Kapuas dan menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat.
Keruntuhan Kesultanan Pontianak
Setelah masa kejayaan perdagangan di abad ke-18 dan awal abad ke-19, posisi Kesultanan Pontianak mulai melemah seiring meningkatnya kekuasaan kolonial Belanda di Kalimantan Barat. Belanda memperkuat pengaruhnya melalui perjanjian-perjanjian politik dengan para sultan, yang secara bertahap mengurangi kedaulatan kesultanan. Sejak masa Sultan Syarif Yusuf Al Kadri (1873-1895), intervensi kolonial semakin besar, terutama dalam hal perdagangan dan administrasi pemerintahan.
Memasuki abad ke-20, dinamika politik semakin memanas. Sultan Syarif Muhammad Al Kadri (1895-1944) yang memerintah cukup lama, berusaha mempertahankan otonomi kerajaan di bawah tekanan Belanda. Namun, kekuasaan de facto kesultanan sudah banyak beralih ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Meski demikian, kehidupan budaya dan keagamaan di sekitar Keraton Kadriah tetap aktif, menjadi pusat kegiatan masyarakat Melayu dan ulama di Pontianak.
Keruntuhan besar benar-benar terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pada periode ini, pemerintahan militer Jepang melakukan operasi besar-besaran terhadap kaum bangsawan, ulama, dan tokoh masyarakat Kalimantan Barat, yang dikenal sebagai Peristiwa Mandor. Sultan Pontianak saat itu, Sultan Syarif Muhammad Al Kadri, bersama sebagian besar anggota keluarga kerajaan dan bangsawan Melayu, ditangkap dan dieksekusi oleh Jepang pada tahun 1944 atas tuduhan merencanakan pemberontakan.
Tragedi ini menyebabkan hilangnya struktur pemerintahan kesultanan secara menyeluruh, karena hampir seluruh elite kerajaan terbunuh. Setelah peristiwa itu, tahta kesultanan diteruskan oleh Sultan Syarif Hamid II Al Kadri (1945-1950), putra Sultan Muhammad. Namun, situasi politik sudah berubah drastis di mana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945.
Sultan Hamid II kemudian dikenal karena kiprahnya dalam politik nasional. Ia menjadi anggota Konstituante RIS (Republik Indonesia Serikat) dan bahkan dipercaya menjadi Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Namun masa pemerintahannya di Pontianak tidak berlangsung lama. Setelah terjadinya kasus "APRA" (Angkatan Perang Ratu Adil) pada tahun 1950, di mana Sultan Hamid II dituduh terlibat dalam pemberontakan di Bandung, pemerintah Indonesia membubarkan Kesultanan Pontianak secara resmi.
Sejak saat itu, wilayah Kesultanan Pontianak masuk ke dalam struktur administratif Republik Indonesia, dan status kesultanan dihapuskan secara politik, meskipun secara kultural keberadaan Keraton Kadriah dan garis keturunan Sultan tetap diakui sebagai bagian penting dari sejarah dan identitas masyarakat Melayu Pontianak.
Jejak Warisan dan Peninggalan
Bila disusun secara kronologis, peninggalan Kesultanan Pontianak memiliki urutan sebagai berikut:
- Makam Sultan Syarif Abdurrahman (1224 H / 1808 M): peninggalan tertua yang masih terawat baik.
- Masjid Sultan Abdurrahman (1821 M): didirikan oleh Sultan Syarif Usman.
- Tiang bendera di depan Keraton (19 Januari 1845): juga dibuat oleh Sultan Syarif Usman, dengan inskripsi Arab Melayu.
- Keraton Kadriah (1923 M): dibangun oleh Sultan Muhammad Al Kadri sebagai istana baru.
Setiap peninggalan memuat kisah tentang naik-turunnya keadaan ekonomi, sosial, dan politik Pontianak pada zamannya. Saat ini, meskipun tidak lagi berjaya, Kesultanan Pontianak masih menjadi bagian dari sejarah yang jejaknya masih hidup.
(des/des)
