Indonesia memiliki beragam tradisi kuliner yang unik dan khas, salah satunya adalah makanan fermentasi yang berasal dari kearifan lokal masyarakat Dayak. Dalam budaya Suku Dayak, makanan bukan sekadar pengisi perut, melainkan juga cerminan dari hubungan manusia dengan alam.
Di tengah hutan-hutan lebat Kalimantan, suku Dayak memiliki cara unik untuk mengolah ikan agar bisa disimpan berbulan-bulan. Mereka menyebutnya tamba, makanan fermentasi tradisional yang menggabungkan teknik alami dengan kekayaan rasa khas dari tanah Borneo.
Ikan fermentasi ini makin dikenal orang luar Dayak setelah seorang konten kreator bernama Norlela, kerap mengunggah kesehariannya menyantap ikan fermentasi. Diketahui Norlela merupakan orang asal Dayak Bulusu, Kalimantan Utara. Nyatanya, Norlela telah mengenalkan bahwa sajian kuliner khas Dayak ini punya cara olah dan rasa yang unik.
Mengenal Tamba dan Proses Pembuatannya
Murdijati-Gardjito dkk dalam bukunya yang berjudul Ragam Lauk-Pauk Kalimantan dan Sulawesi menjelaskan bahwa makna kata 'Dayak' ada yang mengartikannya sebagai 'manusia', sementara yang lain menyebutnya berarti 'pedalaman'.
Masyarakat Dayak dikenal memiliki adat istiadat yang khas, yang menjadi bagian penting dari kekayaan budaya Indonesia. Tak hanya budayanya, masyarakat Dayak juga punya ragam kuliner yang menggugah selera, termasuk berbagai jenis lauk-pauk tradisional.
Dirangkum dari buku Murdijati-Gardjito dkk, akun YouTube Norlela dan Jejak Petualang Trans 7, masyarakat suku Dayak atau tepatnya Dayak Bulusu punya makanan tradisional Tamba. Ialah ikan sungai yang segar, dibersihkan dan disayat, lalu dicampur dengan garam dan nasi atau singkong.
Selain tubuh ikan disayat-sayat bagian depan dan belakang, isi perutnya dibuang. Rupanya pengolahan ikan seperti ini merupakan strategi masyarakat Dayak untuk mengatur pola makan. Dulu, tamba dijadikan sebagai cadangan makanan saat masyarakat sibuk berladang dan bertani.
Ikan tersebut kemudian dipindahkan ke wadah tertutup rapat dan disimpan di suhu ruang selama 2 minggu. Wadah yang digunakan bisa beragam, bisa juga menggunakan wadah plastik dan aluminium foil selama hasilnya betul-betul rapat.
Cara fermentasi ini selain untuk cadangan makanan juga digunakan masyarakat setempat untuk menyimpan ikan dalam jangka waktu yang cukup lama, meski tanpa lemari pendingin. Sampai akhirnya karena keunikan cara dan rasanya yang lezat, membuat tamba jadi makanan dan budaya khas setempat yang dilestarikan.
Adapun ikan yang dipilih untuk difermentasi biasanya ikan berkumis seperti patin, salap, jelawat, papuyu, gabus, baung, puyau, atau gurami. Ikan sungai merupakan bahan makanan yang paling mudah ditemukan di pedalaman Kalimantan Utara.
Selain Dayak Bulusu, ada juga masyarakat Dayak Okolod yang masih menyantap hidangan serupa. Mereka juga menyebutnya dengan tamba, hanya saja cara pengolahan dan hasil rasanya agak berbeda.
Pada masyarakat Dayak Okolod, tamba dilakukan dengan fermentasi ikan menggunakan ampas singkong atau onggok. Ampas singkong sudah diperas dan diambil patinya sehingga kadar karbohidratnya sudah tidak ada, sementara kadar protein, asam laktat, dan alkohol tersisa sangat sedikit.
Onggok kemudian disangrai supaya mengurangi kadar airnya. Singkong dengan getas yang paling sedikit menjadi yang paling ideal, agar tidak menghalangi tumbuhnya zat asam laktat.
Ikan harus dilumuri garam dengan cukup banyak, lalu didiamkan selama minimal dua minggu dan maksimal sebulan. Kalau di suku Dayak Okolod, kebanyakan yang memasak tamba adalah laki-laki sebab mereka akan mengolah di tengah hutan tepat setelah berburu.
Tak ada takaran khusus untuk garam, namun kurang lebih dua kilogram ikan butuh dilumuri 250 gram garam dan dicampur dengan nasi atau singkong. Penggunaan garam tidak boleh pelit, sebab fermentasi dengan garam yang sedikit bisa menyebabkan ikan berbau busuk.
Selain itu, proses fermentasi juga butuh teknik yakni ikan yang paling besar harus ditaruh di tumpukan paling bawah. Sebab, semakin besar ikan semakin lama proses pematangannya.
Nasi putih, garam, semuanya harus tercampur merata sampai ke bagian dalam ikan. Pun selama proses pencampuran, ikannya harus diremas-remas terlebih dahulu supaya garamnya meresap. Mungkin teknik ini juga menjadi kunci, supaya duri ikan menjadi lunak dan bisa dikonsumsi.
Kalau di Dayak Okolod, proses fermentasi dilakukan bukan di wadah plastik. Metode aslinya yakni menggunakan bambu yang ditutup daun pisang dan onggok yang belum disangrai. Fungsinya agar tidak berbau dan mencegah datangnya lalat.
Sebelum dua minggu, ikan masih dinilai belum sepenuhnya matang sehingga jika ingin disantap perlu dimasak terlebih dahulu agar lebih lezat. Cara masaknya pun tidak perlu terlalu lama, karena daging dan durinya sudah mulai rapuh sehingga bisa hancur saat dimasak.
Setelah proses fermentasi selesai sempurna, hidangan ini bisa disantap langsung. Kalau proses fermentasinya benar dan wadah tertutup rapat, bisa dipastikan tidak akan muncul belatung pada tamba.
Cita rasa tamba ikan begitu kaya dan kompleks, ada rasa asin dan gurih, serta ada sedikit asam. Jika ingin menyeimbangkan rasa, bisa ditambah gula atau disantap dengan sambal dan nasi hangat.
Tekstur ikan yang telah difermentasi menjadi lebih lunak, dagingnya agak lebih alot dibandingkan saat masih segar, dan aromanya khas menggugah selera. Tapi untuk beberapa orang, memilih untuk membersihkan dulu ikan dari nasi sisa fermentasi dan memasaknya kembali.
(des/des)