Pernikahan adat di Indonesia selalu menyimpan filosofi mendalam, tak terkecuali bagi Suku Dayak Kenyah Bakung di Kalimantan Utara. Di balik kemeriahan pesta, terdapat ritual unik yang bertujuan menguji kesiapan mental mempelai pria sebelum resmi meminang sang pujaan hati.
Ialah atraksi Tiup Obor, yang bagi orang awam, mungkin terlihat seperti pertunjukan ketangkasan semata. Namun bagi masyarakat Desa Sajau Metun, Kabupaten Bulungan, memadamkan api obor adalah simbol sakral tentang penyelesaian konflik rumah tangga.
Amay Jalung (24), warga Desa Sajau Metun, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan rangkaian dari prosesi Alaq Leto atau penjemputan pengantin perempuan. Sebelum bisa membawa pasangannya, mempelai pria diwajibkan melewati serangkaian 'hadangan' atau tantangan.
"Alaq Leto itu jemput pengantin perempuan. Sebelum menjemput, harus lewati tantangan. Yang pertama itu tiup obor," ujar Amay kepada detikKalimantan, Minggu (23/11/2025).
Menurut Amay, obor yang menyala melambangkan permasalahan atau konflik yang pasti akan muncul dalam kehidupan rumah tangga. Baik itu dari sisi istri, mertua, maupun faktor eksternal.
"Maknanya, suami harus bisa memadamkan api masalah tersebut dalam rumah tangga. Caranya tidak harus satu jalan, tapi banyak cara," tutur Amay.
Sembari menunjukkan foto atraksi yang sempat ia bagikan di media sosial, ia mengungkap keunikan tradisi ini. Tantangan tiup obor ternyata tidak mengharuskan api padam semata-mata dengan ditiup.
"Jadi makna dari obor ini, bagaimana suami harus bisa memadamkannya. Tidak harus ditiup, bisa juga dengan cara lain apabila tidak bisa ditiup. Intinya masalah harus selesai," tambahnya.
Ritual Alaq Leto di Desa Sajau Metun ternyata tidak berhenti di obor saja. Berdasarkan penuturan Amay, total ada tiga pos tantangan utama yang menyimbolkan fase kematangan seorang pemimpin keluarga.
"Memadamkan Obor sebagai simbol problem solving. Suami dituntut cerdas dan tenang dalam menyelesaikan masalah apa pun kondisinya," bebernya.
Selain itu ada pula menebak istri di balik kain. Pada tahap ini, mempelai pria diminta memilih pasangannya yang wajahnya ditutupi kain.
"Artinya suami harus bisa mengenal karakter istrinya, baik dalam hal sekecil apa pun," kata Amay.
Tantangan terakhir ialah panco melawan tubuh besar. Tantangan fisik ini memiliki makna yang tak kalah dalam. Mempelai pria harus adu panco melawan orang yang berbadan lebih besar darinya.
"Maknanya, meski sebesar apa pun masalah yang akan datang, suami harus tetap tanggung, mempertahankan, dan melawan masalah tersebut meski harus dengan tenaga sekuat mungkin," tegasnya.
Setelah ketiga tantangan Alaq Leto ini berhasil dilewati, barulah acara dilanjutkan ke pemberkatan nikah di gereja dan resepsi adat.
Meski zaman telah modern, budaya ini masih dijaga oleh masyarakat Desa Sajau Metun. Amay menyebutkan bahwa pelaksanaan adat ini dikembalikan kepada masing-masing individu, namun nilai moralnya tetap dipegang teguh.
"Ini budaya turun temurun dari nenek moyang. Kalau untuk wajib atau tidak wajib, itu tergantung orangnya," tuturnya.
Sebagai perwakilan generasi muda, Amay mengaku bangga dan tertarik melestarikan budaya ini. Menurutnya, pernikahan adat Dayak Kenyah Bakung bukan sekadar seremonial, melainkan pengingat bahwa menikah butuh kedewasaan.
"Yang membuat saya tertarik, kegiatan ini sangat penting mengingat bahwa dalam berumah tangga tidak bisa asal-asalan. Pikiran harus benar-benar matang," pungkas Amay.
Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"
(aau/aau)