Perburuan 'Burung Bidadari' dalam Upacara Adat Pernikahan Dayak Ma'anyan

Perburuan 'Burung Bidadari' dalam Upacara Adat Pernikahan Dayak Ma'anyan

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Rabu, 12 Nov 2025 14:30 WIB
Ilustrasi Tarian dalam Upacara Adat Dayak Maanyan
Ilustrasi tarian dalam upacara adat Dayak Maanyan/Foto: Istimewa (dok Galeri Indonesia Kaya)
Balikpapan -

Ada tradisi unik dalam pernikahan adat Dayak Ma'anyan, namanya Nyama Wurung Jue. Tradisi ini penuh dengan simbol, keindahan, dan pesan moral tentang cinta sejati.

Suku Dayak dikenal sebagai penduduk asli Pulau Borneo yang kaya akan adat istiadat. Setiap peristiwa dalam kehidupan mereka, mulai dari kelahiran, panen, hingga kematian, dilingkupi ritual tradisional. Namun dari sekian banyaknya upacara adat, Nyama Wurung Jue menempati posisi yang unik.

Acara ini bukan hanya puncak dari pesta pernikahan, tetapi juga pertunjukan budaya yang menggambarkan pencarian cinta sejati melalui tari, musik, dan humor khas Dayak. Yuk, simak bagaimana upacara adat ini berlangsung!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Makna Wurung Jue: Burung Setia dari Hutan Kalimantan

Secara harfiah, wurung jue berarti burung kuau yang dikenal pula dengan sebutan burung heruei dalam bahasa lokal. Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, wurung jue menjadi perlambang mempelai wanita, sosok yang dicari mempelai pria dalam perjalanan simbolik menuju pelaminan.

Burung kuau atau Argusianus argus merupakan unggas langka penghuni hutan tropis Kalimantan, yang terkenal karena keindahan bulu dan tarian khasnya. Suku Dayak menjadikannya simbol dalam upacara perkawinan karena burung ini dianggap mencerminkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam rumah tangga, yaitu kesetiaan, kesucian, kewaspadaan, keagungan, dan kebersihan diri.

Seekor kuau dikenal setia hanya pada satu pasangan seumur hidupnya. Karena itulah, masyarakat Dayak Ma'anyan melihatnya sebagai lambang dari cinta yang murni dan abadi. Dalam pandangan mereka, mempelai wanita ibarat 'burung jue' yang menebar keanggunan dan menjaga kehormatan dirinya.

Ritual Puncak dari Upacara Pernikahan

Dari laporan Noortyani (2016) dalam karya berjudul Keberadaan Nyanyian Balian pada Upacara Adat Wurung Jue Etnik Dayak Maanyan', Nyama Wurung Jue merupakan acara puncak dalam rangkaian pernikahan adat Dayak Ma'anyan, yang biasanya diakhiri dengan prosesi sakral bernama turus tajak, yakni pengesahan dan pemenuhan janji adat antara kedua keluarga.

Upacara ini disaksikan oleh mantir adat, pangulu adat, para wadian (pemimpin ritual), keluarga besar kedua mempelai, dan warga yang datang menyaksikan. Dalam suasana meriah tapi tetap sakral, para wadian memimpin jalannya ritual dengan menyanyikan nyanyian balian, yaitu sebuah lantunan mantra dan doa kuno yang dimaksudkan untuk memohon restu leluhur, melindungi pasangan dari mara bahaya, serta menjaga keseimbangan spiritual selama upacara berlangsung.

Nyanyian balian ini memiliki ritme lembut dan repetitif, kadang disertai tabuhan alat musik tradisional seperti gong, gendang, dan suling bambu. Setiap liriknya mengandung makna doa dan pujian kepada roh nenek moyang, agar rumah tangga yang dibangun kedua mempelai dilimpahi kedamaian, kesuburan, dan panjang umur.

Adegan 'Perburuan' Wurung Jue

Dalam karya Widen (2023) berjudul Turus Tajak: Memperkokoh Solidaritas dan Identitas Dayak Maanyan, disebutkan bahwa bagian paling menarik dari ritual ini adalah adegan perburuan Wurung Jue, yang dilakukan para wadian dan penari. Di sinilah unsur seni, humor, dan makna filosofis berpadu menjadi satu.

Dalam kisahnya, mempelai pria digambarkan tengah mencari sang mempelai wanita, si burung jue yang sejati. Pria itu tampak gelisah, sementara para penari yang dipimpin oleh seorang pemimpin ritual berkeliling di lokasi acara dengan diiringi musik tradisional. Mereka membawa selendang atau kain panjang yang digunakan sebagai simbol perangkap untuk menangkap sang 'burung bidadari'.

Para penari kemudian menangkap beberapa perempuan dari penonton, baik anak-anak, remaja, ibu-ibu, bahkan nenek-nenek untuk dijadikan 'Wurung Jue palsu'. Adegan ini dilakukan dengan penuh tawa. Setiap kali seorang 'burung' tertangkap, ia dibawa menghadap mempelai pria yang tampak harap-harap cemas. Namun setelah diperiksa, ternyata bukanlah wanita yang ia cari. Maka para penari pun melanjutkan 'perburuan' kembali.

Ritual ini berlangsung berulang kali hingga akhirnya para penari berhasil menemukan sosok Wurung Jue yang sejati yaitu mempelai wanita yang asli, berdandan anggun laksana bidadari. Begitu si wanita tertangkap, musik dan nyanyian balian berubah menjadi lebih riang, menandai bahwa sang burung suci telah ditemukan.

Suasana menjadi haru ketika mempelai pria dan wanita akhirnya bertemu dan duduk bersanding di pelaminan adat, disaksikan oleh seluruh warga. Di hadapan para tetua adat, mereka mengucap janji kesetiaan dan memasuki babak baru kehidupan rumah tangga.

Upacara biasanya ditutup dengan 'Wadian Bulat', yakni tarian ritual berbentuk lingkaran yang melambangkan kesatuan dan keharmonisan. Semua peserta, termasuk warga yang hadir, boleh ikut menari dalam lingkaran ini sebagai tanda kebersamaan dan sukacita.

Setiap adegan dalam ritual ini memiliki pesan moral. Dari penangkapan Wurung Jue palsu hingga munculnya yang sejati, masyarakat diajarkan bahwa cinta sejati memerlukan kesabaran dan kejujuran hati. Pasangan hidup yang setia hanya akan ditemukan setelah melewati pencarian yang panjang dan ujian yang tulus.

Melalui tarian, musik, dan simbol burung kuau yang setia, tradisi ini mengajarkan bahwa cinta sejati tidak datang begitu saja. Cinta harus dicari, diperjuangkan, dan dijaga, sebagaimana mempelai pria mencari Wurung Jue-nya di tengah riuh tawa dan nyanyian suci balian.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Mengenal Teripang Sebagai Hewan Manfaat di Pulau Segajah, Kalimantan Timur "
[Gambas:Video 20detik]
(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads