Pecinta Sape Yogyakarta (PSY) memperkenalkan dan melestarikan budaya Kalimantan, khususnya alat musik tradisional sape. Mereka memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk menyebarluaskan sape, mengingat kota ini dikenal kental akan budayanya.
Matias Yoq dan Stefan Rada, dua anggota komunitas, berbagi kisah perjalanan PSY serta semangat mereka dalam menjaga warisan budaya Kalimantan. Matias yang merupakan mantan ketua PSY asal Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menjelaskan awal mula terbentuknya komunitas ini.
Pada 2018, Matias mengenal beberapa pelajar Kalimantan di Jogja yang senang bermain sape. Namun, saat itu belum ada wadah. Mereka bergerak sendiri-sendiri mengikuti acara budaya dan lomba-lomba.
"Akhirnya, pada 2019, muncul ide untuk membentuk komunitas dengan fokus pada sape, alat musik khas Kalimantan," tutur pemuda Dayak Wehea itu kepada detikKalimantan, Kamis (3/7/2025).
Komunitas ini awalnya hanya terdiri dari lima hingga enam orang. Kini anggota telah bertambah menjadi 65 orang. Asalnya pun bukan hanya dari Kalimantan. Ada juga yang berasal dari Gorontalo, Bali, dan Jawa Tengah.
"Kami tidak hanya fokus pada sape, tapi juga budaya Kalimantan secara luas. Ada yang membawa tarian, alat musik lain seperti kecapi, rebab, hingga panting dari Kalimantan Selatan. Kami saling belajar dan mengenalkan budaya masing-masing daerah," imbuh Matias.
PSY saat ini diketuai oleh Stefan Rada, pemuda asal Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Stefan menekankan bahwa PSY bukan hanya tentang musik.
"Ada anggota yang tidak main musik, tapi punya keahlian lain seperti videografi atau manajemen organisasi. Ini yang membuat komunitas kami kaya dan beragam," ujar keturunan Dayak Ahe ini.
Menurut Stefan, sape bukan sekadar alat musik, melainkan juga media komunikasi dengan makna mendalam.
"Di daerah saya, sape digunakan dalam ritual pengobatan, upacara adat, hingga kematian. Sape menghubungkan manusia, alam, dan leluhur," jelasnya.
Menjaga Identitas Budaya di Tengah Modernisasi
Salah satu tantangan besar yang dihadapi PSY adalah stigma bahwa budaya tradisional, termasuk sape, dianggap kuno. Namun, Matias dan Stefan justru melihat ini sebagai peluang untuk mengubah persepsi tersebut.
"Saya ingin mengubah pola pikir bahwa alat musik tradisional itu kuno," tugas Matias
Sape bisa dibawa ke ranah modern, dikolaborasikan dengan alat musik lain seperti gamelan atau kecapi Sunda. Ini menunjukkan budaya kita relevan dengan perkembangan zaman.
Stefan bertemu teman-teman dari berbagai daerah di Jogja, saling bertukar pemikiran, dan ini memperkaya pengalaman. Selain itu, ia ingin menjadi contoh bagi adik-adik di kampung asalnya bahwa budaya Kalimantan adalah identitas yang harus dibanggakan.
"Jika kita malu, jati diri budaya kita bisa hilang," tuturnya.
Matias menambahkan, untuk menjaga keaslian budaya, PSY selalu berkonsultasi dengan narasumber dari daerah asal sebelum menampilkan tarian atau musik tertentu.
"Kami pernah dikritik karena dianggap salah membawakan tarian. Tapi kami selalu antisipasi dengan bertanya langsung ke tokoh adat atau narasumber dari daerah tersebut agar apa yang kami tampilkan bisa dipertanggungjawabkan," jelas Matias.
Simak Video "Video: Mengintip Proses Pembuatan Rindik Bambu"
(des/des)