Pesta Panen Lom Plai, Bentuk Syukur Suku Dayak Wehea yag Masih Lestari

Pesta Panen Lom Plai, Bentuk Syukur Suku Dayak Wehea yag Masih Lestari

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Senin, 03 Nov 2025 08:01 WIB
Ritual Adat Lom Plai.
Ritual Adat Lom Plai. Foto: Dok. Hutan Lindung Wehea
Jakarta -

Suku Dayak Wehea di Kalimantan Timur memiliki perayaan hasil bumi, dikenal dengan nama Lom Plai. Pesta tahunan ini menjadi ajang berkumpulnya para warga untuk menari, berdoa, dan berterima kasih atas anugerah alam yang melimpah.

Tradisi ini bukan hanya sekadar pesta rakyat, melainkan bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta dan alam yang telah memberi kehidupan. Lom Plai adalah perayaan yang memadukan unsur spiritual, sosial, dan budaya, sekaligus menjadi momen berkumpulnya masyarakat dari berbagai kampung di wilayah Sungai Wehea, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Asal Usul dan Filosofi Lom Plai

Mengutip dari laman Hutan Lindung Wehea, "Lom Plai" dalam bahasa Dayak Wehea memiliki arti agar tetap sehat, selamat, dan panjang umur. Menurut Ledjie Taq, Kepala Adat Desa Nehas Liah Bing, Lom Plai juga bisa dimaknai sebagai bentuk penyembuhan bagi orang yang sakit serta ungkapan syukur setelah panen. Dalam bahasa Kutai, istilah ini sepadan dengan "Erau" yang berarti pesta rakyat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lom Plai melibatkan enam desa adat di wilayah Wehea, yaitu Liaq Leway, Bea Nehas, Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Lay, dan Dea Beq. Masyarakat meyakini bahwa pesta ini adalah cara menjaga harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur. Padi sendiri dianggap memiliki "jiwa" dan harus diperlakukan dengan hormat, karena dari sanalah kehidupan bermula.

Rangkaian Ritual Sakral dalam Lom Plai

Tarian Hedoq yang merupakan bagian dalam Lom Plai.Tarian Hedoq yang merupakan bagian dalam Lom Plai. Foto: Dok. Pusaka Provinsi Kaltim (pusaka.kaltimprov.go.id)

Penyelenggaraan Lom Plai berlangsung selama beberapa hari dengan berbagai upacara adat yang dipimpin langsung oleh para tetua. Setiap ritual memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan proses kehidupan, panen, dan penyucian diri.

Salah satu ritual yang paling dinanti adalah Tarian Hedoq (Hudoq), yaitu tarian sakral yang diyakini menghadirkan roh penjaga padi. Para penari mengenakan kostum dari daun pisang yang melilit tubuh, dengan topeng menyerupai wajah binatang. Gerakan tarian ini dinilai mampu mengusir penyakit, mendatangkan semangat, serta menjamin hasil panen yang lebih baik di musim berikutnya.

Selain itu, ada pula Embob Jengea, puncak dari seluruh rangkaian acara Lom Plai. Pada tahap ini digelar 14 jenis ritual, dua di antaranya paling dikenal adalah Seksiang dan Tarian Hudoq.

Seksiang merupakan permainan tradisional menyerupai perang di atas air menggunakan tombak "weheang". Permainan ini dilakukan sambil menaiki perahu di Sungai Wahau yang meniru kisah-kisah kepahlawanan leluhur masa lalu.

Setelah itu, masyarakat melanjutkan ritual Pengsaq dan Peknai, yakni saling siram air dan mengoleskan arang di wajah. Simbol ini menandakan pembersihan diri dan pelepasan rasa marah, sebab siapa pun yang disiram atau dicoreng tidak boleh menaruh dendam.

Yang tak kalah menarik, setiap rumah warga membuka pintu bagi siapa pun yang datang. Semua tamu akan dijamu dengan makanan khas Dayak Wehea, seperti nasi ketan bambu dan pisang rebus. Tidak ada perbedaan antara penduduk lokal dan pengunjung, semuanya bersatu dalam sukacita.

Tiaq Diaq Jengea dan Ritual Pembersihan Kampung

Dalam rangkaian Lom Plai, terdapat pula prosesi Tiaq Diaq Jengea, yakni ritual pembersihan kampung oleh para perempuan adat. Mereka turun ke pondok darurat di tepi Sungai Wahau untuk melaksanakan Embos Min, ritual membuang segala kesialan dan penyakit dari desa. Saat prosesi ini berlangsung, tidak seorang pun boleh melintas di jalur yang dilewati para perempuan, termasuk hewan.

Sementara warga menunggu di tepi sungai, digelar berbagai pertunjukan dan lomba, seperti Plaq Saey, yaitu balap perahu antardesa yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan dari empat kampung tadi. Suasana menjadi riuh penuh tawa, diiringi nyanyian, gong, dan tarian muda-mudi di atas rakit.

Setelah itu, dilakukan Mengsaq Pang Tung Eleang yang merupakan ritual penanda bahwa masyarakat boleh kembali ke kampung setelah selesai melakukan penyucian diri. Dalam prosesi ini, seorang ketua adat akan disiram air oleh gadis desa sebelum ia memimpin masyarakat naik kembali ke pemukiman.

Para tamu dari luar daerah pun ikut larut dalam suasana. Mereka tidak hanya menyaksikan, tetapi juga belajar tentang filosofi hidup masyarakat Wehea yang menghormati keseimbangan antara manusia dan alam. Pesta ini kemudian menjadi ruang pertemuan antara tradisi dan masa sekarang.

Lom Plai adalah sebuah cermin filosofi hidup masyarakat Dayak Wehea. Dari Sungai Wahau hingga desa-desa kecil di jantung Kalimantan Timur, pesta ini terus menggaungkan pesan penting bahwa tradisi adalah hal yang penting untuk dijaga.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Menikmati Malam yang Hidup di Kawasan Tepian, Kalimantan Timur"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads