Pedukuhan Suru, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, diteror monyet ekor panjang dan memaksa warga untuk pindah. Kedua kepala keluarga (KK) itu pun harus berjuang untuk bisa bertahan hidup.
Tak hanya teror monyet ekor panjang, akses jalan Bukit Suru juga terbilang sulit. Banyak penghuninya yang berusia lanjut akhirnya memutuskan pindah karena wilayah tempat tinggal mereka sulit dijangkau kendaraan.
"Banyak yang pindah (juga) karena pada sudah sepuh, jalannya tidak bisa dilewati mobil. Terus untuk kegiatan ekonomi kan enak di bawah, dekat rumah kalau panen. Kalau di atas harus memikul sampai atas kan kasihan," ujar Dukuh Suru, Sugiyanto, saat dihubungi wartawan, Senin (28/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugiyanto mengungkap dulu Dusun Suru dihuni 10 KK. Dua KK penghuni terakhir di Dusun Suru itu termasuk di RT 04. Total ada 11 orang yang tinggal di Bukit Suru.
"Jadi dulu itu RT 04 itu ada 10 KK. Karena perkembangan zaman yang pesat dan jalan di RT itu naik dan tidak bisa dilewati kendaraan, yang punya tanah di bawah pindah ke bawah hingga menyisakan dua KK itu, yakni Pak Tupan dan Winarno, Pak Winarno itu Ketua RT 04," kata Sugiyanto saat dihubungi.
Sugiyanto menjelaskan masalah utama di Bukit Suru adalah serangan monyet ekor panjang di lahan pertanian sejak 10 tahun terakhir. Serangan monyet itu membuat warga tidak bisa memanen hasil pertanian secara maksimal.
"Di sana rawan serangan monyet, mau menanam juga sulit karena sering diambil monyet-monyet itu, itu yang jadi masalah sebenarnya," ungkapnya.
Dia menyebut sudah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi serangan monyet ekor panjang di Suru. Namun, upaya itu tak membuahkan hasil karena teror monyet ekor panjang itu terus mengusik warga.
"Banyak upayanya, tapi mau diupayakan bagaimana lagi. Karena jumlah monyetnya 200-500 ekor. Paling minim satu gerombolan 50 ekor monyet," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang penghuni terakhir di Bukit Suru, Winarno mengatakan serangan gerombolan monyet itu membuat warga akhirnya menyerah. Namun, dia bersama ketujuh anggota keluarganya ini pun bertahan meski hidup dengan keterbatasan di Suru.
"Saya punya tanah di bawah (bukit) tapi belum ada uang yang cukup untuk membangunnya. Jadi mau tidak mau tinggal di atas dulu sama keluarga," ujar Winarno yang juga Ketua RT 04 Suru ini.
Tak hanya Winarno, Tupan dan keluarganya juga terpaksa bertahan karena terkendala biaya. Mereka pun akhirnya membiasakan diri dengan segala keterbatasan di Bukit Suru.
Selengkapnya di halaman berikut.
"Harus jalan kaki 30 menit untuk sampai sini. Kalau untuk listrik ada tapi sinyal telepon sangat-sangat sulit," ucap pria yang rumahnya tak terjangkau dengan motor ini.
Dia pun terpaksa bertahan di rumah limasan di Bukit Suru karena belum bisa membangun rumah menyusul tetangganya yang sudah pindah.
"Ya sebenarnya ada (tanah di bawah bukit), tapi karena tidak punya biaya bagaimana bisa membangun rumah dan pindah dari sini," ucap Tupan yang tinggal di Suru bersama istri anak anaknya yang bersekolah di SMK ini.
Terpisah, Lurah Kampung, Suparna mengatakan kedua warganya yang tinggal di bukit Suru telah memiliki tanah di bawah bukit. Kalurahan juga sudah berupaya memberikan bantuan namun belum bisa digunakan kedua KK tersebut untuk membangun rumah di bawah bukit.
"Mereka warga kurang mampu. Kalau ditanya bantuan, kemampuan dana desa memberikan bantuan hanya Rp 10 juta. Di sisi lain itu jelas tidak cukup untuk membangun rumah," ucap Suparna.

Koleksi Pilihan
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikjogja
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang