Cerita Amarilis Dulu Dianggap Gulma Kini Jadi Magnet Wisata di Gunungkidul

Cerita Amarilis Dulu Dianggap Gulma Kini Jadi Magnet Wisata di Gunungkidul

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJogja
Jumat, 01 Des 2023 15:35 WIB
Kebun bunga amarilis di Ngasemayu, Patuk, Gunungkidul. Foto diambil Kamis (30/11/2023).
Taman Bunga Amarilis di Ngasemayu Gunungkidul (Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja)
Gunungkidul -

Keindahan amarilis yang sedang bermekaran di Kebun Budidaya Pelestarian Populasi Amarilis (KBPPA) Padukuhan Ngasemayu, Kalurahan Salam, Kapanewon Patuk, Gunungkidul menuai perhatian. Bunga cantik yang jadi daya tarik wisata ini ternyata sempat dianggap gulma dan dibuang.

Awalnya pada tahun 1980-an bunga amarilis dianggap gulma di kampung ini. Para petani pun memilih untuk memusnahkan amarilis yang dinilai sebagai gulma ini.

"Amaris ini dikenal sama para petani sejak tahun 80-an itu sebagai gulma yang bagi para petani itu merusak dan mengganggu tanaman inang seperti singkong, jagung, kacang kedelai, dan masih banyak lagi. Kemudian, para petani mengumpulkan lalu memusnahkannya, ada yang dibakar, ada yang diinjek-injek, ada yang dirajang, dicacah dilenyapkan ke sungai, dibakar," kisah putra pemilik KBPPA Sukadi, Mustakim Joni Mustofa (22) kepada detikJogja saat ditemui di lokasi, Kamis (30/11/2023).

Joni menyebut hal itu memantik keprihatinan ayahnya, Sukadi. Dari situlah ayahnya khawatir jika bunga cantik berwarna oranye ini bakal hilang dari kampungnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemudian Pak Sukadi merasa iba karena bunganya ini kan cantik. Kalau terus-menerus dibasmi bukan tidak mungkin dalam waktu beberapa tahun ke depan akan hilang dan punah dari wilayah sini," jelas dia.

Oleh karena itu, pada 2002 Sukadi mulai mengumpulkan bunga tersebut dari pekarangan dan ladang milik tetanganya. Sukadi pun merogoh kocek dari kantongnya sendiri untuk uang lelah para tetangganya demi amarilis tersebut.

ADVERTISEMENT

"Itu dulu kita ngambilnya dari ladang-ladang itu ada yang dari daerah Nglanggeran itu kita ambil dari sana, tapi kita tidak membeli cuma memberi uang lelah sama petaninya sebagai ganti untuk bensin untuk lain," tuturnya.

Proses pengambilan amarilis itu berlangsung 13 tahun atau hingga 2015. Tak terasa pekarangan Sukadi seluas 3.800 meter persegi penuh dengan amarilis dan mulai banyak orang datang berkunjung.

"Bunga amarilis dikumpulkan ke sini selama kurang lebih 13 tahun, terhitung dari tahun 2002 kemudian 2015 itu kan penuh di sini. Lalu banyak yang datang ke sini terus disebarin di media sosial. Secara tidak langsung menyebar dan banyak yang datang ke sini," ujar anak pertama Sukadi ini.

Tak Berniat Jadikan Objek Wisata

Joni menyebut meski banyak kunjungan wisatawan, pihaknya belum berminat menyulap kebun itu menjadi objek wisata. Pihaknya pun senang jika banyak orang menyukai amarilis meski kebun bunganya sempat rusak akibat membeludaknya kunjungan wisatawan.

"Di sini kan tidak didesain untuk wisata. Jadi, kita tidak tahu kalau di luar sana ternyata banyak orang yang suka, banyak yang datang ke sini," terangnya.

"Terus bunganya rusak keinjek-injek tapi yang punya tidak marah. Dia (Sukadi) melihatnya dari satu sisi, artinya bunga amarilis di sini dianggap hama, dianggap gulma, tapi di luar sana bunga disukai banyak orang. Jadi, itu bukan (dianggap) merusak tapi sebetulnya antusias saja. Cuma kami kurang persiapan karena kami tidak tahu mau bikin tempat wisata. Kita nggak marah," sambung Joni.

Upaya Konservasi Amarilis

Joni mengatakan kebunnya itu didesain sebagai sarana konservasi. Joni menerangkan pihaknya tidak ingin mengarah ke wilayah wisata sebab akan ada investor yang masuk nantinya.

"Di sini sendiri kan kebun konservasi. Konservasi itu arahnya bukan ke wisata karena kalau ada wisata kan otomatis saham masuk, investor masuk, bank masuk. Itu kan nanti mengubah arah tujuan kita yang dari semulanya tuh hanya sebagai pelestarian konservasi," bebernya.

Joni mengungkap ada lebih dari ratusan ribu kuntum bunga amarilis di kebunnya. Pihaknya tidak membatasi jadwal kunjungan wisatawan di kebunnya.

"Nggak ada jam batasan kunjungnya. Kunjungannya dari matahari terbit sampai matahari terbenam itu," katanya.

Joni bercerita pihaknya juga menjual bibit amarilis dengan harga Rp 3 ribu. Penjualan bibit bunga ini bertujuan untuk melestarikan upaya konservasi amarilis.

Kebun Amarilis di Ngasemayu, Patuk, GunungkidulKebun Amarilis di Ngasemayu, Patuk, Gunungkidul Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja

Joni mengatakan, selain di Gunungkidul, pihaknya juga telah menjual amarilis ke berbagai daerah di Indonesia sejak 2017 silam.

"Kalau per umbi Rp 3 ribu aja tapi bisa kurang. Paling mahal Rp 3 ribu, yang lebih dari Rp 3 ribu nggak ada. Paling besar (penjualan secara) online. Kita kirim ke Aceh, Meulaboh, 15 ribu umbi kita kirim dari Gunungkidul," jelasnya

"Selain itu di Banyumanik itu 46 ribu umbi. Satu karung itu itu kurang lebih seribu umbi. Terus kita udah kirim ke Labuan Bajo, Nabire dan banyak lagi yang sudah (mulai sejak) 2017, sudah (mengirim amarilis ke) berbagai (daerah) di Indonesia," imbuhnya.

Selain penjualan secara online, Joni mengungkapkan, pihaknya juga melayani pembelian langsung di tempat.

"Untuk penjualannya online sama offline. Itu masih banyak (yang membeli secara) offline, tapi yang paling banyak dari online, dari nomor yang tercantum di ulasan-ulasan di Google," katanya.

Hingga saat ini, kata Joni, pihaknya tetap mengambil amarilis dari para petani dengan memberikan uang bensin atau lelah.

"Buat memperbanyak ini, kita masih beli juga, kita ngumpulin dari para petani. Kita kasih uang lelah, kita kasih uang bensin gitu," ujarnya.




(ams/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads