Cerita Toko Roti Djoen Jogja, Konsisten Pakai Oven Batu Sejak 1935

Cerita Toko Roti Djoen Jogja, Konsisten Pakai Oven Batu Sejak 1935

Mahendra Lavidavayastama, Galardialga Kustant - detikJogja
Jumat, 17 Nov 2023 22:05 WIB
Bangunan dalam di Toko Roti Djoen Lama. Tampak sejumlah etalase dan rak untuk memajang roti dan camilan.
Foto: Bangunan dalam di Toko Roti Djoen Lama. Tampak sejumlah etalase dan rak untuk memajang roti dan camilan. (Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Toko Djoen merupakan salah satu toko roti legendaris di Jogja. Toko roti ini sudah ada sejak tahun 1935 atau sudah 88 tahun berdiri. Salah satu keunikan yang masih dipertahankan hingga kini adalah penggunaan tungku oven batu yang digunakan untuk memanggang roti.

Hadir sejak era kolonial, Toko Djoen terletak di kawasan Malioboro tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 50 atau di kawasan Malioboro Jogja. Sejak dulu hingga sekarang Toko Djoen tidak pernah berpindah tempat dan sudah berkali-kali berganti generasi.

Dari pantauan detikJogja pada Rabu (15/11/2023), tidak banyak pembeli yang ada Toko Djoen hari itu, hanya ada satu dua pembeli yang mampir untuk membeli roti atau sekadar melihat-lihat jajanan jadul yang ditawarkan. Di dalam toko terdapat beberapa etalase dan rak yang berisi beraneka roti yang disajikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bangunan Toko Roti Djoen disebut tidak berubah sama sekali sejak pertama kali berdiri. Toko ini juga memiliki dekorasi bangunan yang cukup sederhana. Selain roti, Toko Djoen juga menjual camilan dan beberapa di antaranya bukan produksi sendiri.

Bangunan dalam di Toko Roti Djoen Lama. Tampak sejumlah etalase dan rak untuk memajang roti dan camilan.Bangunan dalam di Toko Roti Djoen Lama. Tampak sejumlah etalase dan rak untuk memajang roti dan camilan. Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Nama Djoen Diambil dari Pemilik Bangunan Pertama

Pemilik toko roti Djoen, Hardina (87), mengatakan penamaan Djoen diambil dari nama sang pemilik bangunan. Herdina berujar pemilik bangunan tersebut sudah berpindah ke Belanda dan kepemilikannya sekarang beralih ke keluarga keturunannya.

ADVERTISEMENT

"Namane toko sudah Djoen, ngoper (dibeli oleh keluarganya) sudah Djoen. Yang punya rumah namane Tan Poe Djoen, yang ngoper mertua saya, suami, istri, sama anak-anak semua, oper sini sama usahane semua. Orange pindah ke Belanda sak pembantune sak tukang-tukange semua dioper," kata Hardina saat ditemui di tokonya di kawasan Malioboro, Rabu (15/11.

Menu roti Toko Djoen juga mengalami perubahan menyesuaikan perkembangan zaman. Dulu, menu andalan toko ini adalah roti sobek dan kue lapis.

"Zaman dulu cuma banyakan sobek, roti sobek, sobek manis sobek coklat, sama jualan roti lapis. Lapis yang merahnya zaman dulu, sekarang nggak ada, zaman dulu kan bikin sendiri sama lapis terkenal dulu lapis kalau orang beli," jelas Hardina.

Namun, saat ini toko roti Djoen memiliki variasi menu baru, yaitu roti pisang dan roti kacang. "Rotine ya zaman dulu sama sekarang tambah, dulu ndak ada roti pisang sekarang bikin roti pisang, roti kacang," tambahnya.

Toko Djoen ini dulunya menjadi tujuan orang Jogja untuk berburu roti. Pelanggannya mulai dari kalangan dosen, dokter, hingga orang Keraton Jogja.

"Oh ya orang Jogja sini banyak dulu, orang keraton orang mana priyayi-priyayi dokter-dokter, dosen, dulu dikirim ke Kotabaru ada berapa tempat itu," ujar Hardina.

Masih Pertahankan Resep Asli Sejak Tahun 1930-an

Hingga saat ini, Toko Djoen masih menggunakan resep asli sejak tahun 1930-an, dengan tambahan beberapa roti lain. "Ya masih (resep) asli, tapi sekarang kan ada tambahan (roti) lain," katanya.

Salah satu keunikan toko ini adalah proses mengukus roti dan kuenya yang masih menggunakan oven batu. Hal ini menarik mengingat sudah tidak banyak toko roti yang masih menggunakan cara tradisional dalam memproduksi roti.

"(Kalau di sini masih) Pake oven batu," ucap Hardina.

Namun, penggunaan oven batu itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak jarang Hardina terbebani dengan biaya bahan bakar solar yang kian hari kian mahal.

"(Bahan bakar) Solar e boros, pernah beli (bahan bakar) yang murah ora iso (pembakaran tidak maksimal), pake yang (Pertamax) Dex Rp 500 ribu-an sama ongkos orang sekali bakar, bukan mbakar minyak malah mbakar uang," keluhnya.

Dalam sebulan, ia dapat menghabiskan jutaan hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar solar yang digunakan untuk memanggang roti Djoen. "(Dalam) Satu bulan mbakar (uang) Rp 8 sampai 10 juta, eman-eman to," terang Hardina.

Sebelumnya, ia pernah menggunakan bahan bakar kayu. Namun, pembakaran kayu menghasilkan asap sisa yang terkadang menempel di roti sehingga mengotorinya.

"Zaman dulu (bahan bakar) pakai kayu, (tapi asap sisanya) kotor jatuh di roti jadi item kotor trus diganti pake solar," pungkas Hardina.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Galardialga Kustanto Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.




(apu/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads