Mahasiswa Doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM), Mukhamad Ngainul Malawani (31), menorehkan prestasi dengan menjadi lulusan tercepat serta mencatatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4,00 sekaligus berpredikat Pujian. Pencapaian Ngainul, begitu ia disapa, makin mentereng karena dia bisa menuntaskan doktoral di dua kampus berbeda.
Ngainul menjadi lulusan tercepat karena bisa menyelesaikan S3 dalam waktu 2 tahun 8 bulan dan 17 hari. Adapun masa studi rata-rata jenjang program S3 adalah 4 tahun 9 bulan.
Dikutip dari laman resmi UGM, Senin (29/1/2024), Ngainul mengaku senang karena berhasil lulus dengan predikat IPK tertinggi dan lulusan tercepat. Apalagi, dia bisa mengakhiri pendidikan doktoralnya di kampus berbeda, Prodi S3 Ilmu Geografi UGM dan pendidikan doktor di University of Paris 1 PanthΓ©on-Sorbonne.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya saya ambil kuliah di dua tempat. Di UGM terdaftar Januari 2021. Di Perancis compulsory course telah selesai pada tahun pertama, jadi tinggal melanjutkan riset. Karena tahun 2021 juga masih suasana pandemi, kuliah di UGM pun semua dijalankan online tanpa harus saya pulang ke Indonesia," ucapnya pada Kamis (25/1).
Ngainul yang merupakan tenaga pengajar di Fakultas Geografi UGM sejak 2018 ini bercerita, dia lulus S1 Geografi Lingkungan UGM pada 2014. Dia kemudian lanjut S2 Magister Geografi UGM dan lulus pada 2017.
Setelah diterima menjadi tenaga pengajar, dia melanjutkan studinya di Perancis November 2019. "Di sana saya mengambil program join supervision, agar dapat dibimbing oleh supervisor dari Prancis dan Indonesia," kenangnya.
Beruntung bagi Ngainul, UGM bekerja sama dengan Universitas Paris 1 PanthΓ©on-Sorbonne. Kemudian kampus menjalin kerja sama dengan Ecole Doctorale Geographie de Paris, yang salah satunya terkait pembukaan double degree jenjang doktor.
"Kebetulan saya jadi mahasiswa di sana dan terjalinnya hubungan baik yang sudah sangat lama antar kedua institusi, maka MoU dan Agreement dicoba untuk dijalankan," jelasnya.
Sempat Kesulitan di Awal Perkuliahan
Pengajar berusia 31 tahun itu mengungkapkan, dirinya sempat mengalami kesulitan di awal perkuliahan di dua kampus berbeda dalam waktu yang bersamaan.
Namun berkat bimbingan dari dua mentornya, baik dari Perancis maupun Indonesia, dia berhasil menuntaskan pendidikan S3 tepat waktu.
"Berkat supervisi Prof. Franck Lavigne dan Dr. Danang Sri Hadmoko, riset saya cepat selesai. Selain dukungan akademis, para supervisor juga memberikan dukungan finansial riset karena penelitian dilakukan di Lombok," tuturnya.
Didikan dari Orang Tua yang Guru Mengaji
Ngainul lahir di Palbapang, Bantul, DIY. Ayah dan ibunya guru mengaji di kampung yang juga beternak dan bertani.
"Kedua orang tua saya guru ngaji di kampung. Ada surau kecil di samping rumah. Banyak anak-anak yang belajar di tempat kami ketika sore dan malam hari," kenang dia.
Didikan orang tua Ngainul yang begitu kuat baik dalam agama dan terbiasa hidup sederhana selalu memotivasi dirinya untuk menempuh ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Dia bersyukur, berkat bimbingan dan doa kedua orang tuanya, dia bisa menembus doktoral.
Ngainul juga menceritakan bagaimana keluarga kecilnya selalu memberi dukungan kepadanya, meski istri dan anaknya tidak bisa mendampingi selama dia belajar di Perancis.
"Saya berkeluarga sejak 2017. Anak pertama lahir 2019, sebulan sebelum saya berangkat ke Prancis. Keluarga saya tidak ikut saya selama studi, kecuali saat ujian pendadaran saja mereka hadir ke Perancis," kata dia.
(apu/dil)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Catut Nama Bupati Gunungkidul untuk Tipu-tipu, Intel Gadungan Jadi Tersangka