Kawasan Kotabaru Jogja yang pernah menjadi permukiman elite Belanda menyimpan jejak kebudayaan Indis atau akulturasi budaya Belanda dan Indonesia. Pameran budaya Indis ini bisa disaksikan di Omah Kotabaru.
Tema yang diangkat dalam pameran ini yakni 'Kotabaru: Indis Abad XX' dan diselenggarakan mulai 9-13 Oktober 2023 mulai pukul 10.00-18.00 WIB. Pameran ini digelar sebagai upaya Pemkot Jogja melakukan branding Kotabaru sebagai wilayah Indis dan Garden City.
Kurator pameran Fajar Wijanarko menyebut Indis merupakan terminologi yang mengacu pada budaya Indo-Eropa pada abad XX. Budaya Indis hadir karena munculnya sekelompok orang-orang Indo-Eropa yang kemudian membangun kawasan Kotabaru sebagai hunian.
"Mereka (orang-orang Indis) melakukan satu sirkulasi kebudayaan secara terus menerus, seperti pola makan, gaya bicara, busana. Tidak hanya persoalan bagaimana mereka kemudian mereproduksi kebudayaan ala Eropa di Kotabaru, tapi bagaimana mereka juga berinteraksi dengan orang-orang lokal sehingga nanti bisa lihat bentuk akulturasi kebudayaannya," papar Fajar kepada detikJogja saat ditemui di lokasi, Senin (9/10/2023).
Event ini ditujukan sebagai aktivasi bangunan cagar budaya Omah Kotabaru yang berada di Jalan Sajiono. Omah Kotabaru ini dulu dimiliki Raden Ngabehi Projopangarso yang merupakan bendahara di zaman Sultan Pakubuwana X atau raja yang terkenal kaya raya pada saat itu.
"Istrinya (istri Raden Ngabehi Projopangarso) kebetulan juga pedagang. Tidak hanya pedagang kain, tapi dia juga pedagang berlian atau menjadi tanda kutip penadah dari para bangsawan-bangsawan yang menggadaikan keris, menggadaikan aset. Itu yang membuat beliau ketika ada aset di Kotabaru ini dijual, beliau langsung beli tiga rumah. Rumah Kotabaru yang hari ini kita gunakan, Toko Togamas, kemudian rumah di Yos Sudarso sebelah Indomaret," terang Fajar.
Fajar bersama timnya yang beranggotakan Dr. Mike, Nanang, Martha, dan tim desainer mencoba untuk membaca konteks Kotabaru tidak hanya berfokus pada budaya Indis saja, tapi juga kebudayaan lainnya.
"Kita melihat Kotabaru tahun 1900-an sampai 1950 seolah-olah hanya Indis saja yang menjadi topik strategis untuk dibicarakan. Tapi ternyata pada momentum itu terjadi beberapa apropriasi kebudayaan, tidak hanya dari Jogja tapi juga dari budaya Surakarta yang juga hadir," ungkap dia.
Koleksi Pameran Indis
Pameran ini memajang berbagai barang yang berkaitan dengan kebudayaan Indis. Di antaranya tiga setel kebaya yang merepresentasikan adanya percampuran budaya Eropa dengan budaya Jogja dan Solo.
"Untuk mewujudkan tentang gesekan-gesekan budaya ini, kami coba wujudkan dalam bentuk tiga tekstil. Ada tekstil Jogja, tekstil Indis (Indo-Eropa), kemudian Solo-Surakarta," kata Fajar sambil menunjuk tiga manekin yang terpajang.
Tak hanya itu, Fajar juga menunjukkan tata ruang rumah Indis yang pojok-pojok ruangannya selalu difungsikan sebagai ruang kerja atau ruang keluarga.
"Kami sebenarnya ingin mencoba untuk merekonstruksi rumah Indis. Mereka itu punya kecenderungan untuk menata sudut-sudut rumah sebagai suatu ruang kerja, ruang keluarga atau ruang makan yang perabotnya itu kayu, tapi ada identitas khusus kayak banyak buku, kemudian vas-vas bunga," tuturnya.
Lebih lanjut, Fajar pun menunjukkan koleksi peralatan makan zaman dahulu yang diambil dari budaya Indis. Alat-alat makan yang dipajang seperti mangkuk sup atau gelas seloki yang ia dapatkan dari kepunyaan Dr. Yap.
"Salah satu kebiasaan yang biasanya diadopsi di sini juga cara makan. Jadi wine, kemudian tempat cuci tangan, terus tempat-tempat sup itu juga dari Indis. Kalau seloki winenya itu dari koleksi Dr. Yap karena beliau menjadi salah satu sosok yang berada dalam konteks kebudayaan Indis pada saat itu," ucap dia.
Terakhir, pameran ini juga menampilkan potret orang Indo-Eropa serta orang-orang Jawa untuk memperlihatkan budaya Indis pada waktu itu secara lebih kentara. Sebagai perwakilan orang Jawa, Fajar dan tim kurator memilih para bangsawan. Terdapat pula, iklan barang-barang pada abad XX.
"Untuk menunjukkan potret Indis lebih nyata, kami juga memajang wajah-wajah orang Indis dan orang-orang Jawa. Tapi representasi orang Jawa adalah bangsawan, misalnya Pakubuwana IX, kemudian Mangkunegara VII. Ada juga iklan-iklan produk yang dulu beredar semasa 1900-an," tutur Fajar.
Selanjutnya di halaman berikut.
(ams/ahr)