Sebuah rumah kuno yang diketahui telah berusia lebih dari 1 abad di kawasan Porong, Sidoarjo masih berdiri kokoh hingga kini. Gaya arsitektur bangunan itu khas kolonial dengan jendela-jendela besar dan langit-langit yang tinggi. Tapi atapnya kok berbentuk seperti joglo yang khas jawa ya?
Rumah itu memiliki penanda waktu pada bagian gevel atau fasad bangunan. Tertulis angka '908' yang diyakini merupakan penanda tahun di mana angka 1 pada bagian paling depan sudah pudar. Artinya, bangunan itu dibangun pada tahun 1908.
Di bawah angka itu tertulis nama H. M. Tair. Pemilik nama itu diyakini adalah pemilik atau nama keluarga yang pernah menempati rumah itu di masa ketika Belanda masih menjajah Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terpantau bahwa gaya arsitektur rumah itu berbeda dengan rumah-rumah yang dibangun saat ini. Dinding rumah itu didominasi warna krem dan putih dengan jendela-jendela berukuran besar dan berlapis dilengkapi jalusi atau krepyak, komponen penting untuk mengatur sirkulasi udara dan pencahayaan.
Namun, di antara ciri-ciri arsitektur bergaya Eropa itu, atap rumah itu berbentuk limasan atau perisai, salah satu bentuk atap khas bangunan tropis yang konon mampu melindungi penghuni rumah dari panas dan curah hujan tinggi yang juga dikenal joglo, yang sangat khas Jawa.
Rumah kuno itulah yang disebut Rumah Indis, gaya arsitektur di masa kolonial Belanda yang memadukan arsitektur Eropa dengan Jawa. Yuk kita berkenalan lebih jauh dengan Rumah Indis.
Mengenal Rumah Indis
Berdasarkan 'Buku Informasi Museum Bangunan-bangunan Indis' yang ditulis V Agus Sulistya, Gunawan Haji, dan Suryanto Pamuji pada 2001, secara etimologis istilah "Indis" diambil dari bahasa Belanda yakni "Nederlandsch Indie" atau Hindia Belanda.
Nederlandsch Indie adalah sebutan yang merujuk pada daerah jajahan mereka di kawasan Nederlandsch Oost Indie (Nusantara) untuk membedakan wilayah jajahan mereka di barat Suriname dan Curacascau.
Dalam konteks budaya dan seni bangunan, gaya Indis adalah warisan masa kolonial yang telah berkembang di Nusantara sejak abad ke-18. Sebagai sebuah gaya arsitektur, Indis mencerminkan kondisi sosial dan budaya masyarakat saat itu.
Selain itu, gaya arsitektur indis menjadi bukti visual bagaimana percampuran budaya menghasilkan sesuatu yang khas dan autentik serta tidak ditemukan di tempat lainnya.
Meski lahir dalam bayang-bayang penjajahan, gaya ini menjadi cerminan kreativitas dalam menghadapi situasi sosial yang timpang. Kini, bangunan-bangunan bergaya Indis masih bisa dijumpai di beberapa kota dan menjadi saksi sejarah panjang perjalanan bangsa.
Walau kata 'Indis' pernah diasosiasikan dengan kenangan kelam bangsa jajahan, kini istilah itu lebih tepat dipahami sebagai penanda warisan budaya. Gaya Indis dalam seni bangunan dan pola hidup bukan sekadar hasil percampuran budaya, tetapi cerminan dinamika sosial-politik di masa kolonial Hindia Belanda.
Disebutkan juga bahwa gaya ini lahir dari kebutuhan golongan penguasa kolonial untuk beradaptasi dengan lingkungan tropis, sekaligus menunjukkan status dan kekuasaan melalui arsitektur yang megah dan berbeda dari masyarakat pribumi.
Itulah mengapa, gaya Indis tidak sekadar dimaknai sebagai wujud arsitektur semata, melainkan juga sebagai gaya yang lahir dari proses adaptasi dan negosiasi, menjadikan arsitektur sebagai medium yang merekam dinamika sosial, politik, serta identitas pada masa Hindia Belanda.
(dpe/abq)