Batik Parang Rusak: Sejarah, Simbolisasi, dan Aturan Penggunaan di Keraton

Nur Umar Akashi - detikJogja
Kamis, 13 Nov 2025 11:37 WIB
Contoh motif batik parang rusak. (Foto: dok. Shutterstock)
Jogja -

Berbicara tentang batik gagrak Jogja, motif parang rusak tentu tak akan terlewatkan. Batik satu ini sudah muncul sejak masa Mataram Islam. Artinya, batik parang rusak eksis selama ratusan tahun.

Menurut keterangan dari dokumen unggahan Repository UNJ, motif parang rusak diciptakan oleh pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati. Penciptaannya terinspirasi dari tempat sang raja bertapa di pesisir laut selatan.

Panembahan Senopati melihat jajaran pegunungan seribu yang terlihat seperti tebing berbaris atau pereng. Salah satu bagian tebing itu rusak karena ulah ombak laut selatan. Dari sanalah, muncul ilham untuk menciptakan motif parang rusak.

Dalam perkembangannya parang rusak dimodifikasi menjadi beberapa motif turunan. Salah satu yang terkenal adalah parang rusak barong. Penciptanya adalah raja yang mengantarkan Mataram Islam ke masa keemasan, Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Ada juga motif parang rusak gendreh dan parang rusak klithik. Masing-masing mengandung filosofi mendalam yang menarik diselami. Jadi, apa maknanya? Simak makna simbol batik parang rusak dan aturan penggunaannya di bawah ini!

Poin Utamanya:

  • Parang rusak diciptakan oleh Panembahan Senopati karena terinspirasi tempatnya bertapa di pinggir laut selatan. Motif turunannya menyusul diciptakan.
  • Motif parang rusak melambangkan kehidupan manusia yang terus berkesinambungan untuk memperbaiki diri. Motif ini juga menyimbolkan kekuatan karena hanya bisa dikenakan kalangan keraton.
  • Larangan penggunaan parang rusak masih berlaku di keraton, tetapi sudah dibebaskan untuk masyarakat luas.

Makna Filosofi Batik Parang Rusak

Diringkas dari dokumen unggahan Digilib ISI, secara umum, motif parang membawa pesan kepada setiap manusia untuk tidak menyerah dalam mengarungi kehidupan. Layaknya ombak yang tak berhenti bergerak sebagai inspirasinya.

Motifnya yang sambung-menyambung adalah jalinan hidup tanpa putus, selalu konsisten dalam memperbaiki diri, menjaga hubungan manusia dengan unsur lain, maupun memperjuangkan kesejahteraan.

Lalu, bagaimana dengan motif-motif turunannya?

Dikutip dari buku Ari Wulandari bertajuk Batik Nusantara: Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan Industri Batik, parang rusak barong adalah motif terbesar sekaligus teragung. Motif parang rusak barong mengandung makna bahwasanya seorang raja harus selalu berhati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif ini dibuat Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya semasa menjadi raja besar, tetapi kecil di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sakralnya parang rusak barong membuat hanya raja yang boleh memakai.

Turunan parang rusak lainnya adalah parang rusak gendreh. Adi Kusrianto dalam bukunya, Motif Batik Klasik Legendaris dan Turunannya, menyebut parang gendreh punya bentuk yang dimodifikasi agar tampak lebih maskulin. Pasalnya, motif ini digunakan oleh para pangeran di lingkungan keraton.

Motif parang rusak gendreh membawakan simbol semangat pantang menyerah yang harus dimiliki setiap pemimpin atau raja. Motif ini juga menyimpan makna kebijaksanaan, kekuatan moral, dan keteguhan.

Jenis lainnya, seperti dijelaskan dalam dokumen unggahan Digilib ITB, adalah parang rusak klithik. Motif ini punya desain yang paling kecil, tetapi mengandung nilai filosofi tinggi, yakni petuah dari orang tua untuk melanjutkan perjuangan.

Aturan Penggunaan Batik Parang Rusak di Keraton

Dulu, batik parang rusak tidak bisa sembarangan dikenakan orang. Rina Patriana Chairiyani dalam tulisannya, Semiotika Batik Larangan di Yogyakarta, menyebut Sultan Hamengku Buwono I sebagai raja yang menetapkan parang rusak sebagai pola larangan.

Yang boleh memakainya, terkhusus parang rusak barong, adalah putra sultan dengan sebutan kanjeng panembahan. Putra sulung sultan dengan gelar kanjeng gusti pangeran adipati anom juga diperkenankan. Pun, motif parang rusak gendreh dan klithik diperbolehkan.

Permaisuri sultan juga mendapat kelonggaran untuk mengenakan parang rusak barong. Adapun selir, yang diperkenankan adalah motif parang rusak gendreh. Menantu sultan (istri putra sultan) boleh memakai kain yang sama dengan suaminya.

Masing-masing motif batik mencerminkan status penggunanya. Urutan teratasnya adalah parang rusak barong, disusul parang rusak gendreh, parang rusak klithik, dan motif-motif lain. Tentunya, semakin tinggi kedudukan suatu motif, makin sedikit pula yang menggunakan.

Aturan-aturan itu sampai sekarang masih berlaku di lingkungan keraton, terutama saat acara adat resmi. Di tengah masyarakat, larangan-larangan itu sudah tidak lagi berlaku. Meski begitu, masih ada yang memberlakukannya dengan ketat karena takut tertimpa bala.

Demikian pembahasan ringkas mengenai batik parang rusak, dari sejarah hingga aturan penggunaannya. Semoga bermanfaat!



Simak Video "Video: 5 Peserta yang Mundur dari Miss Universe 2025"

(sto/alg)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork