- Belanda Sempat Menganggap Remeh Serangan Diponegoro
- Strategi Perlawanan Belanda Saat Perang Jawa 1. Menghadapi Gerilya 2. Menerapkan Sistem Benteng Stelsel 3. Terus Menekan hingga Lawan Letih 4. Merancang Diplomasi Lewat Jalur Perundingan 5. Menjebak dan Menangkap Diponegoro Secara Licik
- Kerugian yang Ditanggung Belanda Selama Perang Jawa
Jika kita menggali kembali strategi perlawanan Belanda saat Perang Jawa, terdapat sejumlah catatan menarik. Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu konflik terbesar yang pernah dihadapi Belanda selama masa kolonial di Indonesia. Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, perlawanan ini tumbuh menjadi gerakan rakyat yang luas, melibatkan para ulama, bangsawan, hingga rakyat kecil.
Pihak Belanda pun mencoba segala taktik untuk memecah kekuatan yang dimiliki pasukan Pangeran Diponegoro. Seperti yang kita ketahui, Perang Jawa ini pada akhirnya memang dimenangkan oleh Belanda. Strategi apakah yang digunakannya sehingga mampu menekuk perjuangan rakyat Jawa?
Dirangkum dari buku Perang Diponegoro oleh F Ruspandi serta Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa 1825-1830 oleh Wardiman Djojonegoro, berikut ini adalah ulasan mengenai strategi perlawanan Belanda menghadapi Perang Jawa selengkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belanda Sempat Menganggap Remeh Serangan Diponegoro
Pada awal pecahnya konflik, Belanda tidak segera menyadari skala dan kekuatan dari perlawanan yang dipimpin Diponegoro. Ketegangan bermula ketika pembangunan jalan raya dari Yogyakarta ke Magelang melintasi tanah dan makam leluhur di Tegalrejo. Rakyat yang melihat pelanggaran ini memprotes, lalu mengadukan langsung kepada Pangeran Diponegoro.
Akan tetapi, para juru ukur dan pemborong proyek terus bekerja tanpa mengindahkan larangan. Saat Pangeran Diponegoro mulai menggalang kekuatan, Belanda hanya merespons dengan mengepung kediamannya di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Tindakan itu justru memperluas eskalasi dan menandai dimulainya perang terbuka.
Strategi Perlawanan Belanda Saat Perang Jawa
Menghadapi gelombang perlawanan yang begitu besar dan tersebar, Belanda tidak tinggal diam. Mereka menyusun strategi secara bertahap dan sistematis demi meredam kekuatan Diponegoro. Berikut adalah tahapan strategi perlawanan Belanda dalam Perang Jawa yang dirancang untuk menaklukkan kekuatan rakyat Nusantara.
1. Menghadapi Gerilya
Pasukan Diponegoro tidak menggunakan pola perang terbuka seperti yang lazim di Eropa. Sebaliknya, mereka menjalankan strategi gerilya yang fleksibel dan sulit ditebak. Basis pertahanan dipindah ke Goa Selarong yang berada di wilayah perbukitan Bantul. Dari tempat ini, perlawanan dilakukan secara berpindah-pindah dan menyerang secara tiba-tiba. Medan yang dikuasai, dukungan rakyat, dan semangat juang yang tinggi membuat strategi ini cukup berhasil di awal-awal perang.
Bagi Belanda, pola perlawanan ini jelas menyulitkan. Mereka terbiasa menghadapi formasi tempur yang kaku dan berhadapan langsung. Ketika harus mengejar pasukan yang selalu bergerak dan mengenal medan lebih baik, strategi militer konvensional mereka tidak cukup efektif. Akibatnya, selama dua tahun pertama, Belanda kesulitan mengendalikan situasi dan kerap gagal dalam operasi pengejaran maupun penangkapan.
2. Menerapkan Sistem Benteng Stelsel
Setelah melihat efektivitas gerilya Diponegoro, Belanda mulai mengubah pendekatannya. Di bawah komando Jenderal De Kock, mereka membangun strategi pertahanan baru yang dikenal sebagai sistem benteng atau benteng stelsel.
Dalam strategi ini, Belanda mendirikan pos-pos militer kecil yang tersebar dan saling terhubung di wilayah-wilayah penting. Tujuannya adalah mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro sekaligus menjaga jalur logistik mereka sendiri.
Dengan adanya benteng-benteng tersebut, wilayah gerilya yang sebelumnya luas mulai tersegmentasi. Pasukan Diponegoro semakin sulit bergerak tanpa terdeteksi. Selain itu, akses ke dukungan logistik dan komunikasi dari desa-desa pendukung juga mulai terputus. Perlahan-lahan, strategi ini mulai melemahkan kekuatan utama Diponegoro, baik secara fisik maupun moral.
3. Terus Menekan hingga Lawan Letih
Perang yang berkepanjangan membuat pasukan Diponegoro kelelahan, baik secara fisik maupun emosional. Hidup berpindah-pindah di hutan dan gunung, serta tekanan konstan dari serangan Belanda, membuat kondisi tubuh Diponegoro sendiri ikut melemah.
Saat Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh pada awal 1830, disebutkan bahwa tubuhnya sangat lelah dan dalam keadaan sakit. Momen ini dimanfaatkan Belanda untuk menawarkan bantuan berupa tempat istirahat dan perawatan medis.
Meskipun Diponegoro lebih percaya pada pengobatan tradisional Jawa, ia tidak menolak tawaran itu. Belanda melihat celah ini sebagai titik untuk membangun pendekatan baru yang tampak lebih lunak.
Dalam konteks ini, mereka mencoba meredam semangat tempur dengan cara halus, bukan lagi hanya dengan kekuatan senjata. Situasi ini memperlihatkan bahwa Belanda mulai mengandalkan tekanan psikologis dan ketahanan stamina sebagai bagian dari strategi mereka.
4. Merancang Diplomasi Lewat Jalur Perundingan
Belanda kemudian mencoba pendekatan politik dengan membuka jalur komunikasi melalui Kolonel Cleerens. Mereka mengadakan pertemuan awal yang dikemas dengan sopan dan seolah-olah netral.
Salah satu pertemuan penting berlangsung di Pegunungan Sampan dan dilanjutkan ke Menoreh. Di sana, Diponegoro menyampaikan bahwa ia belum bisa mengambil keputusan karena sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan.
Tawaran Belanda tidak berhenti sampai di situ. Mereka bahkan menyiapkan tempat khusus di Metesih agar Diponegoro dan rombongan bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Strategi ini memperlihatkan bahwa Belanda sengaja membangun suasana yang akrab dan menenangkan.
Tindakan tersebut bukan murni karena niat damai, tetapi bagian dari langkah jangka panjang. Tujuan utamanya adalah mengikis kewaspadaan Diponegoro dan melemahkan semangat juangnya lewat diplomasi palsu.
5. Menjebak dan Menangkap Diponegoro Secara Licik
Puncak dari strategi Belanda adalah ketika mereka berhasil membujuk Diponegoro untuk datang ke Magelang pada 8 Maret 1830. Pangeran datang dengan iringan resmi yang sebelumnya sudah disepakati.
Walau jumlah pengikutnya bertambah hingga ratusan orang, Diponegoro tetap mengikuti aturan dan tidak menunjukkan niat untuk berperang. Sambutan pun berlangsung secara resmi, dipimpin langsung oleh Jenderal De Kock dan pejabat tinggi lainnya.
Di luar dugaan, pertemuan yang awalnya tampak ramah berakhir dengan penangkapan. Setelah bermalam di penginapan yang telah disiapkan, Pangeran Diponegoro ditangkap tanpa perlawanan.
Peristiwa ini menandai akhir dari Perang Jawa. Belanda tidak menang karena keunggulan militer semata, melainkan melalui strategi manipulatif yang mengeksploitasi kepercayaan dan kelelahan lawan.
Kerugian yang Ditanggung Belanda Selama Perang Jawa
Meski kemenangan jatuh ke pihak Belanda, ternyata kerugian yang ditanggung juga cukup besar. Pada dua tahun pertama perang, Belanda sudah mengerahkan 6.000 infanteri dan 1.200 pasukan tambahan, namun belum juga berhasil meredam perlawanan.
Upaya mereka kerap gagal karena tidak siap menghadapi strategi gerilya yang digunakan pasukan Diponegoro. Perang ini menyita waktu dan tenaga yang besar tanpa hasil signifikan di awal. Selama peperangan, Belanda kehilangan 8.000 tentaranya, ditambah 7.000 serdadu pribumi.
Seiring waktu, tekanan logistik semakin terasa. Ekonomi Belanda sendiri sedang berada dalam kondisi buruk akibat dampak perang Eropa sebelumnya. Kesejahteraan serdadu menurun, gaji dan perlengkapan memburuk, serta perekrutan pasukan menjadi lebih sulit, terutama di luar Jawa. Belanda juga terpaksa mengirim permintaan pasukan ekspedisi dari luar negeri karena cadangan pasukan lokal tidak memadai.
Itulah tadi ulasan lengkap mengenai strategi perlawanan Belanda saat Perang Jawa hingga kerugian yang harus ditanggungnya. Semoga bermanfaat!
(sto/dil)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan