- Latar Belakang dan Kehidupan Pribadi Kyai Mojo
- Mengenal Sosok Kyai Mojo sebagai Ulama dan Ahli Strategi Kepercayaan Diponegoro A. Memimpin Pesantren di Pajang B. Mendalami Ilmu Kanuragan C. Dipercaya Menjadi Penasehat Diponegoro
- Ahli Strategi Kepercayaan Diponegoro Itu Bernama Kyai Mojo
- Akhir Hidup Kyai Mojo di Pengasingan
Dalam Perang Jawa yang berlangsung dua abad lalu, tepatnya pada 1925-1930, Pangeran Diponegoro tidak berperang sendiri. Bersamanya ada sosok Kyai Mojo, sang ulama sekaligus ahli strategi perang.
Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan Kyai Mojo ini membuat perjuangannya dalam Perang Jawa mendapat dukungan penuh dari kaum santri. Meski harus berakhir dengan kekalahan, peran Kyai Mojo tidak dapat dikesampingkan.
Mari kita simak penjelasan lengkap berikut ini untuk memahami lebih dalam mengenai sosok Kyai Mojo!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latar Belakang dan Kehidupan Pribadi Kyai Mojo
Dirangkum dari buku Khazanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial tulisan Ahmad Rajafi, Kyai Mojo memiliki nama lengkap Muslim Muhammad Khalifah. Ia merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam dan pergerakan di Nusantara. Kyai Mojo lahir sekitar tahun 1792 di daerah Mojo, Pajang, Jawa Tengah. Ini adalah sebuah kawasan yang kelak menjadi tempat ia mengajar dan berdakwah.
Sejak muda, Kyai Mojo tumbuh dalam lingkungan religius dan penuh pengaruh. Ayahnya, Iman Abdul Arif, dikenal sebagai seorang ulama besar yang memiliki tanah perdikan (swatantra) dari Raja Surakarta di dusun Baderan dan Mojo.
Latar belakang keluarganya tidak sepenuhnya jelas, beberapa sumber menyebutkan bahwa Iman Abdul Arif memiliki garis keturunan dari Kerajaan Pajang. Dari pihak ibunya, RA Mursilah, Kyai Mojo memiliki hubungan darah dengan kalangan keraton Yogyakarta. RA Mursilah adalah saudara perempuan Sri Sultan Hamengkubuwono III yang merupakan ayah Pangeran Diponegoro. Dengan silsilah ini, maka Kyai Mojo merupakan sepupu dari Pangeran Diponegoro.
Dalam kehidupan pribadinya, Kyai Mojo menikahi R. Mangubumi, janda cerai dari Pangeran Mangkubumi yang juga merupakan paman dari Pangeran Diponegoro. Pernikahan ini semakin menguatkan ikatan kekeluargaan antara Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Namun, meskipun memiliki darah ningrat dari pihak ibu dan istri, Kyai Mojo tetap tumbuh dan berjuang bersama masyarakat biasa, jauh dari kemewahan keraton.
Dalam kesehariannya, Kyai Mojo juga dikenal sangat bersahaja. Meskipun memiliki kedekatan dengan lingkungan bangsawan dan bahkan masih memiliki pertalian darah dengan keluarga keraton, ia tetap memilih hidup di luar tembok istana. Hal ini mencerminkan sikap zuhud yang melekat dalam dirinya yang memilih hidup sederhana dan berbaur dengan rakyat, demi dakwah yang lebih menyentuh dan membumi.
Mengenal Sosok Kyai Mojo sebagai Ulama dan Ahli Strategi Kepercayaan Diponegoro
A. Memimpin Pesantren di Pajang
Pendidikan Kyai Mojo dimulai dari lingkungan keluarga, lalu ia menimba ilmu agama lebih dalam kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren, Klaten. Setelah itu, ia melanjutkan pencariannya ke Ponorogo, tempat di mana ia tidak hanya mempelajari agama, tapi juga ilmu kanuragan. Di masa mudanya, ia juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah dan tinggal di sana selama beberapa waktu, yang memperkaya wawasan keislamannya.
Setelah kembali dari tanah suci, Kyai Mojo mulai membangun kembali perannya sebagai ulama dengan memimpin sebuah pesantren di tanah kelahirannya, Mojo, yang berada di wilayah Pajang, Surakarta. Ia memimpin pesantren ini setelah ayahnya wafat.
Sebagai seorang guru agama, Kyai Mojo memberikan pengajaran yang tidak hanya fokus pada ibadah dan akidah, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan moral masyarakat. Ia menyuarakan pentingnya kemurnian ajaran Islam dan keteguhan dalam menjalankan syariat, di tengah gelombang kemerosotan moral yang mulai melanda masyarakat dan bahkan lingkungan keraton. Ketegasannya ini menjadi salah satu alasan mengapa ia sangat dihormati, baik oleh kalangan rakyat biasa maupun bangsawan.
B. Mendalami Ilmu Kanuragan
Dalam perjalanannya sebagai ulama, Kyai Mojo juga dikenal mendalami ilmu kanuragan. Ilmu ini ia pelajari saat menuntut ilmu di Ponorogo, sebuah daerah yang terkenal sebagai pusat pendidikan Islam dan kebatinan. Perpaduan antara kedalaman spiritual dan kekuatan lahiriah ini membuatnya dikenal sebagai sosok ulama yang juga disegani secara fisik, bukan hanya secara intelektual dan spiritual.
C. Dipercaya Menjadi Penasehat Diponegoro
Reputasinya sebagai ulama besar menjadikan Kyai Mojo dipercaya menjadi penasihat spiritual oleh Pangeran Diponegoro. Dalam konteks inilah peran Kyai Mojo sebagai ulama meluas menjadi tokoh sentral dalam pergerakan rakyat.
Ia tidak hanya mengajar di pesantren, tetapi juga turut menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme, dengan landasan nilai-nilai agama yang kuat. Keilmuannya dijadikan rujukan dalam strategi perlawanan, baik secara spiritual maupun taktis, karena baginya jihad melawan penindasan adalah bagian dari pengamalan iman.
Pesantrennya di Mojo pun menjadi tempat yang strategis dalam mendidik para santri dan kader umat, termasuk di antaranya adalah putra-putri dari kalangan bangsawan keraton Solo. Dari sinilah pengaruh Kyai Mojo sebagai ulama semakin luas dan dalam. Ia tidak hanya menjadi guru agama, tetapi juga menjadi pengarah jalan hidup bagi banyak orang, yang kemudian mengikuti jejak perjuangan moral dan sosialnya.
Ahli Strategi Kepercayaan Diponegoro Itu Bernama Kyai Mojo
Dihimpun dari artikel ilmiah Strategi Diponegoro dalam Menggerakkan Semangat Jihad Masyarakat Islam di Jawa serta buku Khazanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial tulisan Ahmad Rajafi, Kyai Mojo memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam Perang Jawa (1825-1830). Ia adalah ulama yang menjadi penasehat spiritual sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro.
Keberadaan Kyai Mojo dalam barisan utama perjuangan Diponegoro memperkuat keterlibatan komunitas Islam, khususnya santri dan para kyai dalam jihad melawan penjajahan Belanda.
Sebagai seorang kiai dengan pengaruh besar, Kyai Mojo mampu menggerakkan jaringan pesantren dan para santri untuk mendukung perjuangan melawan kolonial. Para kiai dan santri saat itu memiliki kekuatan ideologis dan spiritual yang kuat, serta tersebar luas hingga ke daerah-daerah terpencil.
Kehadiran Kyai Mojo memberi dimensi keagamaan yang sangat kental dalam perlawanan, terutama dengan seruan jihad fi sabilillah sebagai landasan perjuangan. Ia juga dikenal memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian yang membuatnya disegani, sekaligus diyakini mampu memberikan perlindungan spiritual bagi para pasukan.
Dalam struktur kekuatan Diponegoro, Kyai Mojo adalah figur kunci yang menyatukan nilai-nilai Islam dan perlawanan bersenjata. Ia dipercaya sepenuhnya oleh Pangeran Diponegoro karena kemampuannya dalam mengatur strategi, memimpin santri, dan menggalang perlawanan berbasis agama dan budaya Jawa. Namun, perjuangan itu harus terhenti saat Kyai Mojo ditangkap oleh Belanda pada 17 November 1828 di dusun Kembang Arum.
Akhir Hidup Kyai Mojo di Pengasingan
Kembali dikutip dari buku Khazanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial tulisan Ahmad Rajafi serta Perang Diponegoro karya F Ruspandi, setelah ditangkap Belanda pada 17 November 1828 di Dusun Kembang Arum, Kyai Mojo dibawa terlebih dahulu ke Semarang. Di sana, ia dinyatakan sebagai tahanan politik dan ditempatkan dalam tahanan rumah, dijaga ketat oleh serdadu-serdadu Ambon.
Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke Batavia (Jakarta) menggunakan kapal perang Belanda Mercury, dikawal dua fregat, de Belona dan Anna Paulona. Di Batavia, Kyai Mojo tidak ditempatkan di penjara umum, melainkan dalam pengawasan khusus, mengingat besarnya pengaruhnya di kalangan rakyat.
Karena Belanda khawatir Kyai Mojo kembali bergabung dengan Pangeran Diponegoro, mereka memutuskan untuk mengasingkannya sejauh mungkin. Maka dipilihlah Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara, daerah yang baru saja dikuasai Belanda. Selain alasan politik, pengasingan ini juga memenuhi permintaan Residen Manado yang membutuhkan tenaga pertanian dari Jawa.
Kyai Mojo bersama sekitar 63 pengikutnya tiba di Tondano pada 1829. Di sana, ia tetap menjalankan perannya sebagai ulama dan guru spiritual. Ia menyebarkan ajaran Islam, melatih bela diri, dan menjadi tokoh penting dalam pembentukan Kampung Jawa Tondano (Jaton). Komunitas ini kelak menjadi basis penyebaran Islam di tengah mayoritas Kristen Minahasa.
Kyai Mojo wafat di Tondano pada 20 Desember 1849 dalam usia sekitar 57 tahun. Ia dimakamkan di perbukitan Desa Wulauan, tak jauh dari Kampung Jaton. Hingga kini, makamnya menjadi situs ziarah yang sarat makna sejarah dan spiritual.
Demikianlah penjelasan lengkap mengenai sosok Kyai Mojo. Semoga bermanfaat!
(par/par)
Komentar Terbanyak
Sultan HB X soal Keracunan MBG di SMA Teladan: Saya Kan Sudah Bilang...
Jokowi Hadiri Acara Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM
Kenapa Harimau Takut sama Kucing? Simak Faktanya