Menelusuri Padukuhan Sorogedug Sleman: Jejak Mbah Dugdheng Si Sakti Mandraguna

Toponimi

Menelusuri Padukuhan Sorogedug Sleman: Jejak Mbah Dugdheng Si Sakti Mandraguna

Serly Putri Jumbadi - detikJogja
Kamis, 23 Okt 2025 18:50 WIB
Suasana Padukuhan Sorogedug, Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman, Kamis (23/10/2025).
Suasana Padukuhan Sorogedug, Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman, Kamis (23/10/2025). Foto: Serly Putri Jumbadi/detikJogja
Sleman -

Di Kabupaten Sleman, terdapat salah satu padukuhan tertua yakni Padukuhan Sorogedug. Padukuhan ini menyimpan sejumlah cerita sejarah. Salah satunya terkait asal-usul nama Padukuhan Sorogedug yang berasal dari nama tokoh Surodigdoyo atau Mbah Dugdheng.

Padukuhan Sorogedug terletak di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman ini terbagi menjadi dua wilayah. Yaitu Sorogedug Lor (utara) yang terdiri dari 5 RT dan 2 RW, kemudian Sorogedug Kidul (selatan) terdiri dari 4 RT dan 2 RW. Jika ditotal, terdapat kurang lebih 800 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Padukuhan Sorogedug.

Pantauan detikJogja di Padukuhan Sorogedug pukul 13.00 WIB, Kamis (23/10/2025), suasana padukuhan cukup asri. Sisi kanan kiri jalan banyak terdapat rumah warga yang diselingi hamparan sawah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Situasi jalanan di Padukuhan Sorogedug juga cukup lengang, hanya ada beberapa warga yang lalu lalang menggunakan kendaraan pribadi. Beberapa warga setempat mayoritas bekerja sebagai petani, penjual toko kelontong, dan warung makan, hingga peternak.

Tokoh masyarakat sekaligus mantan dukuh Sorogedug tahun 1989-2015, H. Hartono menyampaikan sedikit kisah tentang sejarah Padukuhan Sorogedug. Nama Sorogedung sendiri merupakan gabungan dari Surodigdoyo dan Dugdheng.

ADVERTISEMENT

"Surodigdoyo itu artinya orang yang pemberani, Mbah Dugdheng itu artinya orang yang digdaya. Intinya orangnya sakti mandraguna. Misalnya seperti berkelahi, beliau pakai parang pun kebal terhadap itu," ungkap Hartono saat berbincang dengan detikJogja di kediamannya, Kamis (23/10).

"Mbah Dugdheng itu dulu adalah satu-satunya orang yang dipercaya ketika ada musibah beliau yang menjaga desa ini, bisa mengatasi segala sesuatunya dengan kesaktiannya," lanjutnya.

Suasana Padukuhan Sorogedug, Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman, Kamis (23/10/2025).Suasana Padukuhan Sorogedug, Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman, Kamis (23/10/2025). Foto: Serly Putri Jumbadi/detikJogja

Hartono mengatakan, Mbah Dugdheng merupakan sosok yang sangat dikagumi masyarakat setempat pada zaman dahulu. Sebab, Mbah Dugdheng juga menjadi sosok penting penyebar agama Islam di Padukuhan Sorogedug yang diperkirakan sudah dikenal pada masa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipegang oleh Hamengku Buana VIII antara tahun 1921-1939.

"Sosialnya besar, ibadahnya termasuk luar biasa. Dulu kan di sini ibadahnya masih tipis. Tapi lambat laun dengan peran Mbah Dugdheng itu masyarakat mulai mengenal agama Islam. Sampai sekarang mungkin sudah 95 persen masyarakat yang beragama Islam dan taat patuh," jelasnya.

"Sedemikian rupa karena peran beliau masyarakatnya taat beragama, jiwa sosial yang tinggi dan saling menghargai. Mbah Dugdheng iya salah satu sosok yang menyebarkan agama Islam," katanya.

Peran Mbah Dugdheng yang menjadi sosok penyebar agama Islam di Padukuhan Sorogedug masih dikenang oleh warga setempat. Hartono menyebut, mayoritas warga Padukuhan Sorogedug cukup taat dalam menjalankan ibadah.

"Sekarang di sini sudah banyak masjid, kalau dulu cuma ada musala. Setiap kegiatan keagamaan berjalan dengan baik. Di sini juga setiap minggu menggelar pengajian rutin," ucapnya.

Meski begitu, Hartono belum bisa memastikan apakah Mbah Dugdheng yang menjadi pendiri dari Padukuhan Sorogedug. Namun, dia membenarkan jika Mbah Dugdheng merupakan sosok paling berpengaruh dan disegani oleh masyarakat hingga saat ini.

"Waktu itu memang sudah banyak masyarakat ketika Mbah Dugdheng masih ada. Namun, beliau ini seperti membawa ketentraman bagi warga di sini. Seperti kesaktian beliau yang melindungi warga padukuhan sini serta bagaimana beliau menyebarkan agama Islam," tuturnya.

Hartono mengatakan, warga Padukuhan Sorogedug juga kerap melakukan doa bersama setiap tanggal 21 bulan Ruwah (kalender Jawa) di pemakaman. Hal ini sebagai bentuk pelestarian tradisi dan sebagai ajang kirim doa untuk saudara yang sudah meninggal.

"Tradisi ada setiap tanggal 21 bulan Ruwah, masyarakat pedukuhan itu berkumpul di sebelah makam dan bersama-sama berdoa, tahlilan, dan makan bersama. Ya itu untuk melestarikan dan salah satunya untuk mengingat peran Mbah Dugdheng," ungkapnya.

"Sampai sekarang masyarakat masih melakukan itu, di tanggal 21 dan bulan Ruwah itu. Dipimpin ustaz, kita mendoakan arwah almarhum dan almarhumah yang berada di Sorogedug itu semua amal ibadahnya diterima dan diampuni dosanya. Masyarakat yang ditinggalkan bisa mendapatkan rezeki yang banyak, umur yang panjang, ibadah istikamah," tutupnya.




(afn/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads