Pemkot Jogja akan membagikan ember ke warga untuk memilah sampah rumah tangga untuk mengatasi permasalahan sampah. Terkait hal ini, DPRD Kota Jogja menyarankan untuk membuat Instalasi Pengolahan Limbah (IPL) jumbo mengingat permasalahan sampah karena lokasi yang terbatas.
Program emberisasi yang dicanangkan Wali Kota Jogja Hasto Wardoyo digagas agar ember-ember yang dibagikan ke warga diisi dengan sampah rumah tangga dan tidak dibuang ke depo-depo. Sampah sisa makanan, akan bisa langsung dimanfaatkan untuk ternak hingga budidaya maggot
Namun, Ketua Paguyuban Penggrobak Depo Utoroloyo Tompeyan, Tupardi, menilai masalah yang muncul dari program itu justru pada tempat pembuangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau menerapkan itu yang penting ada tempat pembuangannya, yang jadi masalah kan tempat pembuangannya itu kan kita belum bisa pasti, gitu. Sedangkan sistem seperti itu kan belum disosialisasi sampai ke hulu," jelasnya saat dihubungi, Rabu (17/9/2025).
Jika rencananya sampah rumah tangga seperti sisa makanan akan disalurkan untuk makan ternak atau budidaya maggot, kata Tupardi, waktu pengambilan dan penyalurannya juga harus diperhatikan.
"Penempatannya di mana dan berapa hari sekali, katanya untuk makan ternak itu juga bagus, tapi kalau terlalu lama numpuk akan busuk. Harus rutin setiap hari, harus ada yang stand by di depo di dalam jam pembuangan, gitu," paparnya.
Terkait itu, anggota Komisi C DPRD Kota Jogja, Cahyo Wibowo, pun mengusulkan pembentukan Instalasi Pengolahan Limbah (IPL) jumbo untuk mengatasi sampah organik.
Pasalnya, menurut Cahyo, sampah rumah tangga seperti sisa makanan lah yang menyumbang angka produksi sampah terbesar.
"Data Bappeda Kota Jogja itu (produksi sampah) 0,8 kg per orang per hari. Tapi ketika kita tanya data riil-nya, organiknya berapa? Residunya berapa? Nggak bisa jawab," ujar Cahyo saat ditemui di kantor DPRD Jogja, hari ini.
"Makanya, ketika ini nggak bisa jawab, saya praktikkan sendiri bahwa sampah sudah kami pilah, yang akhirnya terwujud bahwa sampah organik itu, per orang per hari ketika sudah dipilah, itu berkisar 0,44 atau 0,5 kg organiknya," sambungnya.
Untuk itu, Cahyo mengusulkan Pemkot Jogja untuk membuat IPL jumbo di setiap RT atau RW sebagai penampung sampah organik. Sedangkan untuk sampah organik bernilai ekonomis bisa dijual dan sampah residu bisa dibakar di insenerator ramah lingkungan.
"Ketika sarana ini sudah disediakan, barulah pemerintah meminta masyarakat untuk memilah. Dengan alur organik, warga Kota Jogja langsung membuang ke titik-titik yang sudah disiapkan oleh pemerintah kota," terang Cahyo.
"Baru di situ pemerintah hadir, meminta pengawas untuk melakukan pengawasan. Ini sampah organik sudah dibuang ke titik-titik sarana yang sudah disiapkan oleh pemerintah kota atau belum," imbuhnya.
Cahyo meyakini, IPL ini tidak membutuhkan lahan yang besar juga tidak menimbulkan bau. Pasalnya, ia telah melakukan itu dalam empat tahun terakhir. Terkait penempatannya di lingkungan masyarakat, kata Cahyo, bisa dilakukan kajian terkait produksi sampah dan kebutuhan tiap warga.
"Dengan melakukan kajian, berapa butuh IPL organik. Ketika sarana disiapkan baru Pemkot Jogja meminta masyarakat untuk memilah. Kalau masalah bau sampah organik bisa diatasi ada teknologinya," kata Cahyo.
"Bentuknya seperti jugangan (galian), kalau tidak ada lahan bisa pakai bis (beton berbentuk lingkaran). Kalau penuh tanahnya ini tanah subur bisa digunakan untuk pertanian," pungkasnya.
(apl/aku)
Komentar Terbanyak
Pakar UII Tak Percaya Ada Beking di Kasus Ijazah Jokowi: Ini Perkara Sepele
Siapa Beking Isu Ijazah yang Dicurigai Jokowi?
Gelagat Anggun Sopir Bank Gondol Rp 10 M Sebelum Ditangkap