Founder Sedekah Sampah: Perlu Ubah Mindset Atasi Problem Sampah di Jogja

Founder Sedekah Sampah: Perlu Ubah Mindset Atasi Problem Sampah di Jogja

Pradito Rida Pertana - detikJogja
Sabtu, 22 Feb 2025 21:51 WIB
Tumpukan sampah menggunung di depan depo Kotabaru, jogja, Selasa (5/11/2024).
Ilustrasi tumpukan sampah. (Foto: Adji G Rinepta/detikJogja)
Bantul -

Permasalahan sampah khususnya di Kota Jogja masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Founder gerakan sedekah sampah menilai hal pertama yang dirubah adalah mindset atau pola pikir masyarakat, bahkan jika perlu pengelolaan sampah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Founder gerakan sedekah sampah, Ananto Isworo (47) berteori bahwa 80% permasalahan sampah muncul akibat persoalan mindset. Karena itu, Ananto menilai harus mengubah mindset masyarakat melalui edukasi.

"Melalui apa? Penyuluhan, pengajian hingga rapat RT dan edukasinya itu bahwa barang-barang sekali pakai dari rumah tangga masih punya nilai jual dan bisa bermanfaat bagi masyarakat," katanya kepada detikJogja saat di kediamannya, Brajan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Sabtu (22/2/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, jika mindset masyarakat sudah salah dalam memandang persoalan sampah berdampak pada perilaku. Di mana perilaku itu adalah dalam memperlakukan sampah.

"Misal sampah sudah tidak berguna ya mindsetnya buang dan sampah jadi urusan pemerintah. Jadi saya tinggal buang biar pemerintah yang mengurusi. Maka 80% persoalan mindset harus diubah dan 20% persoalan teknis," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Maksudnya, kata Ananto, 20% itu berbicara teknologi. Pasalnya dengan teknologi bisa menyelesaikan berbagai jenis sampah karena sampah bisa diolah ulang dengan teknologi.

"Tetapi teknologi tidak akan berguna kalau mindsetnya salah," ujarnya.

Pria yang juga Ketua Takmir Masjid Al-Muharram ini mencontohkan, bahwa di Indonesia terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Namun saat ini banyak dari PLTSa itu banyak yang kurang maksimal.

"Padahal sampah Indonesia salah satu yang terbesar di dunia dan itu bisa jadi bahan dari PLTSa. Nah, terus kenapa PLTSA banyak yang mati karena banyak sampah yang tercampur," katanya.

Padahal, proses sampah untuk menjadi energi dalam hal ini listrik harus terpilah lebih dulu. Di sisi lain, untum memilah tentu harus menambah lagi sumber daya manusia (SDM) dan itu akan menambah anggaran operasional PLTSa.

"Sehingga kalau mindset tidak diubah ya percuma dengan adanya teknologi, ini jadi PR bersama," ucapnya.

Selain itu, Ananto menyebut selama ini banyak kalangan menyelesaikan permasalahan sampah hanya di hilirnya saja. Padahal yang terpenting di hulunya, yaitu mengubah mindset perilaku dan kesadaran masyarakat akan memilah sampah.

"Contoh kampung dapat bantuan pasti pikiran pertama beli tong sampah bukan bagaimana mengedukasi warganya terkait pengelolaan sampah," katanya.

Seperti halnya pengadaan tong sampah tiga warna yang sama sekali tidak berdampak signifikan. Semua itu karena masyarakat masih membuang sampah tidak sesuai dengan jenisnya.

"Karena itu yang punya kebijakan seharusnya mengubah kebijakannya, membuat pelatihan-pelatihan dan sebagainya. Sehingga jika mindset masyarakat berubah maka teknologi apapun mau didatangkan insyaallah akan berguna," ujarnya.

"Jadi bukan tidak sepakat pengadaan alat tapi harus diimbangi dengan proses sebelumnya, yaitu mengubah mindset cara pandang masyarakat kalau sampahmu tanggungjawabmu. Mana yang dibuang, dicampur, kelola, hasilkan dan ini memang berat karena butuh banyak pihak untuk terlibat di dalamnya," imbuh Ananto.

Ananto juga mengungkapkan, bahwa pelibatan tempat ibadah khusus Masjid sebagai pengelolaan sampah juga bisa mengatasi permasalahan sampah.

"Sampah itu seharusnya selesai di lingkungan masing-masing, bisa rumah, sekolah, RT, RW, sekolah hingga tempat ibadah. Kalau di Indonesia ada 800 ribu Masjid dan masing-masing bisa mengelola, masalah sampah bisa selesai," katanya.

Sedangkan untuk mengurangi sampah residu bisa dengan menghentikan penggunaan kantong plastik. Menurutnya, semua itu bisa saja dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran.

"Merubah mindset itu bisa dengan memasukkan (pengelolaan sampah) lewat kurikulum pendidikan, seperti saya dan istri mendirikan PAUD Aisyah Surya Melati sejak 2010 dengan konsep berwawasan lingkungan," ucapnya.




(aku/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads