7 Contoh Ceramah Singkat tentang Ikhlas dan Bersyukur Beserta Dalilnya

7 Contoh Ceramah Singkat tentang Ikhlas dan Bersyukur Beserta Dalilnya

Nur Umar Akashi - detikJogja
Senin, 04 Nov 2024 16:19 WIB
Suitable to use as Social Media Content, Greeting Cards, UI, Landing Page, Mobile Apps, Cover Illustration, Poster and Website. Vector Illustration
Ilustrasi ceramah. (Foto: Getty Images/whisnu anggoro)
Jogja -

Sehari-hari, detikers mungkin sudah sering mendengarkan ceramah dengan pelbagai macam temanya. Butuh ceramah dengan tema tentang ikhlas dan bersyukur? Berikut ini 7 contohnya yang perlu detikers simak!

Ceramah tidak serta merta harus panjang. Ada kalanya, ceramah sebaiknya dibuat singkat agar audiens yang mendengarkan tidak mengantuk. Kendati demikian, isinya tetap mesti padat agar pesan yang ingin disampaikan bisa tercapai.

Nah, seperti apa contoh ceramah singkat yang mengangkat tema ikhlas dan bersyukur? Mari, simak 7 contohnya melalui uraian berikut!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kumpulan Contoh Ceramah Singkat tentang Ikhlas dan Syukur

Contoh Ceramah Singkat #1: Ikhlas

(sumber: tulisan Najmuddin Saifullah dalam situs Suara Muhammadiyah)

Ma'asyiral muslimin rahimakumullah
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa menjadi guru haruslah ikhlas. Berapa pun gaji yang ia terima tidak boleh dipermasalahkan karena membagikan ilmu harus dilandasi dengan keikhlasan. Lantas apakah konsep ikhlas memang seperti ini?

ADVERTISEMENT

Menurut M Husnaini dalam buku "80 Pepeling Diri," ikhlas bukan berarti menolak imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Menerima ataupun menolak imbalan tidak ada kaitannya dengan keikhlasan. Justru kalau ada orang yang menolak imbalan karena takut disangka tidak ikhlas, maka sejatinya ia tidak ikhlas dalam hal itu.

Ikhlas juga bukan memberi sedekah ala kadarnya. Jumlah sedekah yang banyak ataupun sedikit tidak ada hubungannya dengan keikhlasan. Justru kalau ada orang yang menambah jumlah sedekah disebabkan takut dikira tidak ikhlas, maka ia sebenarnya tidak ikhlas.

Demikian juga orang yang pasrah menerima nasib yang kurang baik. Bersikap aktif ataupun pasif ketika menerima nasib yang kurang baik tidak ada hubungannya dengan ikhlas. Bahkan, kalau orang yang ditimpa musibah hanya berdiam diri pasrah tanpa melakukan apapun supaya terlihat ikhlas, berarti orang tersebut tidak ikhlas.

Ikhlas pada hakikatnya adalah melakukan sesuatu karena dan untuk Allah SWT semata. Apapun motifnya, apapun tujuannya, semua perbuatan harus bermuara kepada Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Insan ayat 9 tentang orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita berikan kepada orang lain, baik itu berupa materi ataupun jasa, harus dilandasi dengan mengharap ridha Allah SWT. Orang yang sejak awal memiliki tujuan melakukan sesuatu hanya karena Allah, maka ia telah menjadi orang yang ikhlas.

Ketika sampai pada level tersebut ia tidak akan menghiraukan apapun yang terjadi setelahnya. Apakah ia akan mendapatkan balasan dari orang yang ia bantu atau tidak. Kondisi hatinya juga tidak akan berubah-ubah. Hatinya tidak menjadi senang ketika mendapat balasan, tidak juga bersedih ketika tidak mendapatkannya. Bahkan dalam ayat di atas, sebatas ucapan terima kasih pun tidak ia harapkan.

Hal ini menjelaskan bahwa upah/gaji yang didapatkan karena bekerja tidak ada hubungannya dengan keikhlasan. Apabila sejak awal bekerja dan meniatkannya karena Allah, maka ia sudah menjadi orang yang ikhlas. Adapun gaji yang diberikan memang sudah menjadi haknya karena telah mengerahkan waktu dan tenaga untuk bekerja. Sehingga, jumlah gaji yang diterima tidak bisa menjadi patokan untuk menilai keikhlasan seseorang.

Keikhlasan juga menjadi landasan pokok untuk beribadah kepada Allah SWT. Kita tidak mungkin beribadah tanpa dibarengi dengan keikhlasan. Karena beribadah memang harus ditujukan hanya kepada Allah semata.

Kalau kita beribadah tanpa dibarengi dengan rasa ikhlas, maka harus hati-hati karena bisa terjatuh dalam perbuatan syirik. Ibadah yang dilakukan supaya dilihat orang akan menjadi riya' yang merupakan syirik kecil.

Apalagi ibadah karena ditujukan kepada selain Allah, maka orang yang melakukannya telah jatuh kepada syirik dan itu merupakan dosa besar. Perintah beribadah dengan ikhlas terdapat dalam surat al-A'raf ayat 29:

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

"Katakanlah, 'Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Dan hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula."

Syaikh As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mengikhlaskan dalam ayat tersebut adalah beribadah dengan tujuan hanya kepada Allah semata, tidak ada tujuan lain. Juga dalam berdoa dan berharap sasarannya hanyalah kepada Allah SWT.

Pada akhirnya kita harus kembali memperbaiki niat kita dalam segala aspek perbuatan yang dilakukan. Baik kegiatan ibadah maupun kegiatan lainnya. Karena segala perbuatan yang kita lakukan akan bernilai sebagaimana yang kita niatkan. Sebagaimana dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Amal itu tergantung dengan niatnya, dan bagi setiap orang balasannya sesuai dengan apa yang diniatkannya."

Sehingga hanya perbuatan yang ditujukan kepada Allah saja lah yang bisa dikatakan sebagai keikhlasan.

Contoh Ceramah Singkat #2: Syukur dalam Nikmat, Sabar dalam Musibah

(sumber: tulisan Muhammad Faizin dalam situs NU Online)

Maa'syiral Muslimin rahimakumullah, Pada momentum ibadah Jumat ini, marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan dan keimanan sekaligus senantiasa meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah subhanahu wata'ala yang telah menganugerahkan banyak nikmat kepada kita. Saking banyaknya nikmat yang diberikan, terkadang kita lupa tidak merawat dan mensyukurinya. Di antara nikmat itu seperti nikmat sehat, sempat, dan juga yang paling penting adalah nikmat iman dan Islam.

Semua nikmat yang dianugerahkan kepada kita ini pasti tidak bisa kita hitung satu persatu. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata'ala:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS An-Nahl:18).

Dalam mewujudkan rasa syukur kita, marilah kita senantiasa mengucapkan "Alhamdulillah" baik saat mendapat nikmat maupun saat kita ditimpa musibah. Karena perlu disadari, nikmat yang dianugerahkan Allah kepada kita lebih banyak dari masalah dan musibah yang kita hadapi dan rasakan. Dengan syukur dalam berbagai kondisi apa pun, mudah-mudahan Allah akan selalu menyayangi kita dan nikmat dari-Nya akan terus mengalir dalam kehidupan kita. Allah pun telah menjanjikan dalam Al-Qur'an Surat Ibrahim ayat 7:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيدٌ

Terjemah: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Semoga kita bukanlah hamba yang kufur akan nikmatnya sehingga kita bisa terhindar dari azab, musibah dan malapetaka dan kehidupan kita selamat di dunia dan akhirat. Amin.

Maa'syiral Muslimin rahimakumullah, Dalam kehidupan ini, kita tidak akan pernah lepas dari nikmat dan begitu juga tak akan bisa lepas dari musibah dan cobaan. Saat mendapatkan nikmat dan saat menghadapi musibah, Agama Islam telah memberikan panduan dengan senantiasa memegang dua prinsip, yakni: asy-syukru indan niam (bersyukur ketika mendapat nikmat) dan ash-shabru indal musibah (bersabar saat mendapatkan musibah). Kedua hal ini pun bisa menjadi barometer (ukuran) keimanan seseorang yang akan menjadikannya kuat dan sabar dalam menjalani kehidupan yang terus mengalami perubahan ini.

Allah sendiri sudah menegaskan bahwa manusia akan selalu diberi cobaan musibah yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."

Dalam ayat ini, sabar menjadi perisai dan senjata orang-orang beriman dalam menghadapi beban dan tantangan hidup. Perasaan takut, kelaparan, kekurangan bekal, harta, jiwa dan buah-buahan adalah ujian yang bakal kita hadapi dalam kehidupan ini. Tidak ada yang melindungi kita dari ujian-ujian berat itu selain jiwa kesabaran yang telah dikaruniakan Allah kepada kita. Lalu siapakah orang yang bersabar itu? Diterangkan dalam ayat selanjutnya, dalam Surat Al-Baqarah Ayat 156:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Artinya: (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (Sesungguhnya semua dari Allah dan semua akan kembali kepadaNya).

Maa'syiral Muslimin rahimakumullah, musibah adalah ujian dari Allah sekaligus wujud cinta-Nya pada hamba-Nya. Cinta dan kasih sayang Allah akan diberikan kepada hamba-Nya yang kuat dalam menghadapi musibah. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah:

عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

Artinya: "Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Oleh karena itu, barangsiapa ridha (menerima cobaan tersebut) maka baginya keridhaan, dan barangsiapa murka maka baginya kemurkaan."

Hadits ini memberikan motivasi kepada kita untuk senantiasa optimis dan terus sabar dalam menghadapi musibah. Memang terkadang, pesimisme terus menghantui kita dan semakin menambah berat beban dalam menghadapi musibah dan cobaan. Namun sebenarnya bukan besarnya ombak lautan yang kita hadapi, melainkan perahu kitalah yang terlalu kecil untuk mengarunginya. Bukan besarnya masalah yang kita hadapi, melainkan kesabaran kitalah yang terlalu kecil untuk menghadapinya.

Perlu disadari bahwa sikap sabar ini bukan berarti menyerah terhadap kondisi yang ada. Sabar harus diiringi dengan ikhtiar untuk menghadapi ujian yang ada. Bukan lari dari ujian itu sendiri. Ujian dalam hidup akan menjadikan kita lebih kuat dan berpengalaman dalam menghadapi ujian yang nantinya pasti akan kita temui lagi. Lari dari ujian hidup, bukanlah solusi untuk menyelesaikannya karena jika kita lari dari ujian dan masalah hidup, maka bersiaplah untuk menghadapi masalah yang lebih besar.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. QS Al Baqarah: 286).

Sabar itu seperti payung yang tidak akan bisa menghentikan hujan namun akan melindungi kita dari air yang membasahi sehingga kita masih akan tetap bisa berjalan di tengah derasnya hujan. Kesabaran tidak akan bisa menghilangkan musibah namun kita akan tetap tegar dalam melewatinya.

Maa'syiral Muslimin rahimakumullah, Dari penjelasan ini kita bisa menyimpulkan bahwa orang yang sabar adalah dia yang tidak lemah, tidak mudah patah semangat atau menyerah. Sifat sabar ini dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika umat Islam menjadi minoritas dan ditindas di Makkah. Tak ada yang berpaling, menyerah, atau kompromi soal aqidah Islam. Semua tetap tegas dan kuat meskipun dalam siksaan kaum Quraisy.

Demikian pula ketika di masa pasca Hijrah di Madinah, mereka tetap sabar dan tahan banting dengan pasukan yang jumlahnya lebih sedikit. Ketika menahan diri mereka bersabar, ketika perang terbuka pun mereka sabar. Dengan modal kesabaran ini, maka umat Islam awal tersebut meraih kemenangan gemilang.

Orang-orang yang sabar dan kuatlah yang akan disertai oleh Allah dengan kemenangan sebagaimana firman Allah dalam QS Ali 'Imran: 146:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قَاتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

"Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar"

Maa'syiral Muslimin rahimakumullah,
Demikianlah khutbah tentang pentingnya bersyukur atas nikmat Allah dan bersabar dalam menghadapi berbagai masalah dan musibah yang sudah menjadi sunnatullah harus dihadapi oleh manusia. Semoga kita termasuk orang yang kuat dan sabar dalam menghadapi segala bentuk permasalahan dalam hidup dan semoga kita termasuk orang-orang yang dilindungi dan dicintai Allah SWT.

Contoh Ceramah Singkat #3: Dengan Syukur, Bahagia Bertabur

(sumber: tulisan Noorkamilah dalam buku Kumpulan Naskah Ceramah dan Khutbah)

Bersyukur adalah perintah Allah SWT. Perintah ini tercantum dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah (2): 152: "Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku". Ayat tersebut merupakan perintah Allah agar kita bersyukur atas segala nikmat karunia yang telah Allah berikan, dan melarang kita untuk mengkufuri nikmat. Demikian juga dalam QS. Ibrahim (14) ayat 7: "Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih".

Dua ayat tersebut menunjukkan dua keadaan manusia, bersyukur atau kufur. Keadaan yang memaksa setiap orang dipastikan ada pada salah satunya. Artinya, bila seseorang bersyukur, maka tentu dia tidak kufur, sebaliknya bila seseorang kufur, maka pasti ia tidak bersyukur. Tentu kita berharap menjadi bagian dari hamba-hamba Allah yang bersyukur. Meskipun Allah telah berfirman bahwa hanya sedikit orang yang bersyukur "Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur" (QS Al-Baqarah [2]): 243), semoga kita termasuk golongan yang sedikit itu, Aamiin. Dengan demikian hanya orang terpilih saja yang dapat bersyukur. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk secara mendalam memahami apa itu bersyukur, dan berusaha sekuat tenaga agar dapat termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mensyukuri nikmat.

Syukur adalah kata yang berasal dari bahasa Arab; syakara, yaskuru, syukran, dan tasyakkara, yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syukur diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah SWT. Syukur juga berarti mengingat akan segala nikmat-Nya.

Syukur adalah pengakuan spiritual atas segala karunia dari Tuhan. Sehingga orang yang bersyukur, akan secara totalitas mengakui segala hal kenikmatan yang dirasakan adalah semata-mata sebagai bentuk ke-Maha Kasih dan Sayang-Nya Allah SWT pada hamba-Nya. Dengan demikian syukur adalah pengakuan penuh bahwa segala yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita, sepenuhnya merupakan kebaikan untuk kita. Maka segala apa yang Allah SWT berikan, akan diterima dengan rela hati, tanpa kecuali. Meyakini dengan sepenuh hati, apa pun bentuk pemberian Tuhan itu adalah kebaikan. Menerima keseluruhannya, tanpa seleksi. Maka, bagi orang yang bersyukur, sehat atau sakit adalah kebaikan, kaya atau miskin adalah kebaikan. Bahkan kesuksesan atau kegagalan adalah kebaikan. Akan selalu ditemukan hikmah kebaikan dari segala kejadian.

Satu contoh ilustrasi sederhana, seorang yang tertinggal pesawat, pasti akan sedih dan kecewa. la merasa waktu terbuang percuma, pun tiket hilang tak bisa digunakan, dan kesempatan di depan mata terbang melayang. Akan tetapi begitu mengetahui pesawat tersebut jatuh, bersyukurlah ia. Tetiba ia merasa menjadi orang yang terpilih, diselamatkan Allah SWT dari peristiwa tersebut. Nah, mestinya kebersyukuran itu telah terungkap sejak awal. Telah yakin sepenuhnya bahwa apa pun kejadiannya, Allah SWT hadirkan kebaikan di sana.

Jadi, pengakuan yang sangat dalam ini akan akan menjadi sebuah kekuatan yang memiliki daya dorong dan pengaruh yang besar bagi yang mengakuinya. Rasa syukur yang teramat dalam, akan memancar dalam sikap yang selalu optimis, pikiran yang selalu positif, perbuatan yang senantiasa terjaga dari segala tindak yang salah. Bonusnya adalah, semakin orang bersyukur, bahagia akan semakin bertabur. Orang bersyukur akan bertutur dengan santun, akan bersikap dengan bijak. Orang yang bersyukur akan mampu berpikir dengan jernih, dan bertindak dengan cermat.

Bersyukur adalah sebuah pilihan sikap dan tindak, yang tidak dapat hadir begitu saja. Diperlukan upaya yang terus menerus dan menyeluruh sehingga dapat menjadi seorang hamba yang senantiasa bersyukur.

Oleh karena bersyukur itu merupakan ekspresi totalitas seorang hamba kepada Khaliqnya, maka bersyukur ini hendaknya dilakukan secara menyeluruh meliputi berbagai dimensi kemanusiaan. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga dimensi. Pertama, syukur dengan hati, yakni adanya kepuasaan batin atas segala anugerah yang diberikan Allah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya dengan menggunakan lisan. Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh tersebut sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

Bersyukur dengan hati, yakni dengan mengakui sepenuh hati bahwa segala kenikmatan yang diterima semata-mata berasal dari Allah SWT. Segala kenikmatan yang kita rasakan adalah pada hakikatnya bersumber dari Allah SWT. Hati kita harus mengakui bahwa penghasilan yang diperoleh, kesehatan yang dirasakan, kehadiran pasangan, adanya anak cucu dan keturunan, rezki yang tidak terduga, pekerjaan, makanan, minuman, udara segar, dsb, semua itu berasal dari Allah SWT.

Bersyukur dengan lisan, yakni dengan mengucapkan/mengungkapkan terima kasih atas kenikmatan itu. Mengucap hamdallah 'alhamdulillaahirabbil'aalamiin' merupakan cara lisan dalam mensyukuri nikmat Allah. Bila nikmat itu melewati perantaraan manusia, maka sampaikan juga ucapan terima kasih kepadanya. "Adapun terhadap I nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut" (QS Adh-Dhuha [93]: II). Dengan demikian, berkeluh kesah atas segala kehendak Allah, termasuk kufur nikmat. Semoga kita terhindar dari hal demikian.

Bersyukur dengan perbuatan, yakni dengan melakukan segala amal salih yang Allah perintahkan, dan menjauhkan diri dari segala amal salah yang dilarang dilakukan. Sehingga Al Asfahani menyimpulkan bahwa syukur adalah takwa. Dengan demikian, syukur dalam perbuatan adalah "menggunakan segala nikmat karunia yang Allah berikan untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT".

Marilah kita latih diri kita, bangun kebiasaan baik kita, belajar menghisab diri, agar dapat menilai apakah segala nikmat dan karunia yang Allah anugerahkan kepada kita itu telah kita syukuri dengan sebenar-benarnya. Ingatlah, apakah nikmat penglihatan yang Allah berikan, telah kita gunakan untuk membaca ayat-ayat Allah. Apakah pendengaran kita telah digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Apakah mulut kita telah digunakan untuk membacakan ayat-ayat Allah. Apakah kaki kita telah kita langkahkan di jalan Allah. Apakah tangan kita telah kita gunakan untuk menolong agama Allah.

Kita dapat menggunakan hati untuk meyakini bahwa semua karunia yang Allah berikan adalah semata-mata untuk kebaikan kita. Yakinilah sepenuhnya bahwa Allah-lah Dzat yang paling menghendaki kebaikan atas diri kita. Yakini sepenuh hati, tanpa kecuali. Kita dapat menggunakan akal untuk memikirkan bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan tanpa pemberian dari Allah SWT. Tidak ada penglihatan tanpa Allah anugerahkan mata. Tak ada pendengaran tanpa Allah anugerahkan telinga.

Tak ada langkah dan perbuatan apa pun tanpa kaki dan tangan yang Allah gerakkan untuk kita. Kita dapat menggunakan akal untuk memikirkan semua itu sebagai karunia dari Allah yang Maha Baik untuk kita. Mari pikirkan, bagaimana kita bisa memamah bila tak ada gigi? Bagaimana bisa mengecap bila tak ada rasa? Bagaimana bisa menulis bila tak ada jari jemari yang bekerja sama? Siapa yang memberikan itu semua? Pikirkan bagaimana kita bisa mandi bila Allah tidak menyediakan air untuk kita? Bagaimana bisa memasak bila tidak ada api yang panas menyala? Bagaimana bisa bernafas bila tak ada oksigen di sekitar kita?

Maka pilihan terbaik bagi kita adalah dengan menggunakan segala kenikmatan itu untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Menggunakan kesehatan untuk beribadah dengan nyaman. Menggunakan harta untuk beribadah dengan tenang. Menggunakan waktu untuk beribadah dengan khusyu. Menggunakan ilmu untuk memperbanyak amal salih. Meningkatkan dzikir, memperbanyak sedekah, menebarkan manfaat, menggiatkan ikhtiar, menjauhkan maksiyat, menghadiri majelis taklim, menyantuni fakir miskin, memelihara anak yatim, melindungi dhu'afa, menjaga lansia. Semua itu dapat menjadi pilihan tindakan terbaik kita.

Bahagia adalah ekspresi kebersyukuran. Orang yang senantiasa bersyukur akan bahagia. Apapun kejadian yang menimpa, selalu disyukuri, bahkan situasi sulit sekalipun tetap disyukuri. Hal ini dapat terjadi karena keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT akan selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Maka tidak ada sedikitpun keraguan yang menyertai segala takdir yang menimpanya. Selalu ada alasan positif yang mendorongnya untuk senantiasa mensyukuri segala peristiwa.

Tentu tidak mudah mensyukuri situasi sulit. Tetapi ketika dilihat secara positif, maka situasi sesulit apa pun akan menjadi baik. Sebuah kebaikan akan membawa pada bahagia. Itu janji Allah, yang akan menambah kenikmatan bila kita bersyukur. Saat kepala sakit, disyukuri karena bagian lain dari tubuh masih sehat. Saat kesulitan datang, tetap disyukuri karena masih banyak orang lain yang lebih sulit. Segala hal disyukuri sebagai suatu kenikmatan yang Allah hadirkan untuk menguji kita, apakah bersyukur atau tidak.

Bersyukur pada hakikatnya ditujukan hanya kepada Allah saja. Akan tetapi, berdasarkan hadis Nabi SAW, "Siapa yang tidak mensyukuri manusia maka dia tidak mensyukuri Allah". (HR. Abu Daud dan At-Turmuzi). Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa kita pun diperintahkan untuk mengekspresikan syukur kita kepada manusia. Karena bila kita tidak bersyukur kepada manusia, maka sama saja dengan tidak bersyukur kepada Allah.

Bersyukur kepada manusia dapat dilakukan dengan mengucap terima kasih, dan diiringi dengan perbuatan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukan orang lain kepada kita. Bersyukur kepada manusia sama dengan mudah memberi. Maka kufur kepada manusia dapat dimaknai sebagai kikir. Bersyukur kepada manusia berarti menjaga lisan dari menyakiti hati orang lain. Bersyukur kepada manusia, berarti membantu orang lain menghadirkan bahagia. Mari kita tentukan, termasuk ke dalam kategori manakah kita?

Bersyukur pada hakikatnya memanfaatkan segala kenikmatan yang Allah berikan kepada kita untuk melakukan ketaatan kepada-Nya. Menampilkan senyum tulus kepada tetangga yang berbagi makanan yang nilainya tak seberapa, adalah ekspresi ketaatan kepada Allah SWT. Mengucap terima kasih atas sekecil apapun nafkah yang diberikan suami kepada istri, adalah ekspresi ketaatan kepada Allah SWT. Menegakkan sholat dalam kondisi sakit, adalah ekspresi ketaatan kepada Allah SWT. Merasa bersyukur dengan sakit itu dapat menggugurkan dosa-dosa.

Menahan marah pada saat ada kesempatan terbuka untuk marah, adalah ekspresi ketaatan kepada Allah SWT. Memaafkan orang yang telah berbuat aniaya kepada kita, adalah ekspresi ketaatan kepada Allah SWT. Karenanya, orang yang senantiasa bersyukur akan menemukan rasa bahagia. Rasa bahagia itu akan menyeruak lembut memenuhi selaksa jiwa. Hatinya akan senantiasa teriang, tenteram, damai, karena selalu berada dalam bingkai ketaatan kepada Allah SWT. Maka yakinlah, dengan bersyukur bahagia akan bertabur.

Marilah kita senantiasa berusaha sepenuh jiwa untuk mensyukuri segala nikmat karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Bersyukur atas segala nikmat yang ada, dengan hati, lisan dan perbuatan kita. Mari kita luruskan niat baik kita, agar syukur kita bukan karena ingin bahagia, melainkan mengharap kedekatan dengan Allah SWT.

Ceramah Singkat #4: Bersyukur

(sumber: buku Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun Jilid 1 oleh Dr Hasan el-Qudsy)

Allah berkalam,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَبِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدُ

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Ayat tersebut merupakan jaminan yang Allah berikan kepada orang yang mampu bersyukur, dengan penambahan nikmat yang telah diperolehnya. Tentu siapa pun ingin nikmatnya ditambah, bukan dikurangi apalagi dihilangkan. Namun apakah kita sekarang telah mampu bersyukur terhadap nikmat yang kita peroleh? Ataukah kita masih selalu berkeluh kesah terhadap yang kita miliki? Kalau masih, berhentilah. Lupakan mengeluh, mulailah memperbanyak syukur.

Secara bahasa, kata syukur hampir sepadan dengan kata hamdu (memuji). Perbedaannya, kata syukur lebih cenderung pada ungkapan terima kasih dengan ucapan, sedangkan hamdu lebih umum. Para ulama mendefinisikan syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penciptaan anugerah itu. Oleh karena itu, seorang hamba belum bisa dikatakan bersyukur kecuali setelah melakukan tiga hal. Pertama, mengakui nikmat- nikmat Allah, dan ini wilayah hati. Kedua, mengungkapkan nikmat dengan ucapan lisan. Ketiga, menggunakan nikmat untuk beribadah, dan ini dengan seluruh jiwa dan raga.

Kebanyakan dari kita seringkali hanya mensyukuri kenikmatan yang sifatnya materi saja. Padahal ada banyak kenikmatan yang jauh lebih berharga dari kenikmatan materi. Kenikmatan tertinggi yang harus kita syukuri dan kita jaga adalah nikmat iman dan Islam. Karena kalau kenikmatan materi, Allah berikan kepada seluruh umat manusia. Sedang kenikmatan iman dan Islam, tidak demikian halnya. Seberat apa pun kehidupan di dunia, bagi kita umat Islam tidak sebanding dengan kesusahan kelak di akhirat. Begitu pula kenikmatan hidup apa pun di dunia ini, tentu tidak akan sebanding dengan kenikmatan di surga nanti. Dengan konsep semacam ini, kita akan selalu bisa hidup dengan tersenyum, menatap hari esok dengan penuh semangat dan penuh arti.

Jamaah yang berbahagia,
Minimal ada tiga manfaat besar dari bersyukur. Ketiga manfaat ini akan mengubah hidup kita jika kita mendapatkannya. Pertama, mendapatkan pahala dan ridha dari Allah. Karena selain merupakan perintah, syukur juga bentuk peribadahan kepada Allah (al-Baqarah: 172). Tentu dengan syarat jika dilakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati.

Kedua, syukur akan menciptakan perasaan positif. Artinya hidup akan lebih bahagia, tenang, tidak kemrungsung dan pikiran akan lebih jernih. Karena ia akan lebih fokus kepada berbagai kenikmatan yang ada. Dengan banyak bersyukur, semakin banyak pula perasaan positif pada diri kita. Semakin banyak perasaan positif pada diri kita, akan semakin banyak pula muncul ide-ide kreatif. Dengan ide-ide kreatif, kita semakin berkesempatan untuk menjadi orang yang sukses. Bisa saja dengan cara demikian Allah menambahkan berbagai kenikmatan bagi orang yang mau bersyukur. Sungguh bagi Allah tidak ada sedikit pun kesulitan bagi-Nya. "Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia." (al-Baqarah: 117).

Ketiga, dengan bersyukur, berbagai musibah dan malapetaka akan dihindarkan oleh Allah dari hamba-Nya. Allah berkalam, "Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui." (an-Nisa': 147). Maka dari itu, kita harus lebih jeli dan peka terhadap berbagai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kurangnya kepekaan terhadap nikmat Allah akan mengurangi rasa syukur kita, sebab kita merasa tidak ada yang perlu disyukuri lagi. Sadar selama kita masih hidup, kita pasti mendapatkan berbagai kenikmatan yang tidak mungkin dapat kita hitung.

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (an-Nahl: 18). Yakinlah bahwa di balik suatu kejadian, pasti ada hikmah yang tersembunyi. Hikmah tersendiri merupakan suatu nikmat. Maka pandailah kita mengambil hikmah dari suatu kejadian yang telah kita alami, pasti kita akan selalu bisa bersyukur. Dengan syukur, pastilah berbagai kenikmatan akan bertambah.

Contoh Ceramah Singkat #5: Ikhlas dalam Beribadah

(sumber: detikHikmah)

Assalamu`alaikum Wr. Wb.

Puji dan Syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta berkah-Nya kepada kita, umat islam. Shalawat dan salam kita curah limpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan semua pengikutnya.

Hadirin rahimakumullah..
Syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۚ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ - 65

Artinya: "Sungguh, benar-benar telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang (para nabi) sebelummu, "Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi." (QS Az-Zumar: 65)

Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhai Allah SWT, tidak akan menjadi orang yang riya atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya setan. Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.

Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Tetapi banyak dari kita yang beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan dengan sikap riya atau sombong supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit." Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda," Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya."

Imam Syafi'i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya,"Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah SWT."

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, "Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat."

Dalam kesempatan lain ia juga berkata," Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah SWT mencela orang-orang munafik."

Dari beberapa contoh hadits di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa ikhlas dan hanya mengharap ridha dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima oleh-Nya.

Lalu, bagaimana cara agar bisa beribadah dengan ikhlas? Cara agar kita dapat mencapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran di saat kita sedang beribadah kepada Allah SWT.

Kita hanya perlu memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan rasa riya atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita.

Insyaallah, dengan cara di atas anda dapat mencapai ikhlas. Dan jangan lupa untuk berdoa memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas untuk-Nya,

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Mohon maaf atas segala kekurangan, billahi taufiq wal hidayah.. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Contoh Ceramah Singkat #6: Ke Mana-mana Membawa Ikhlas

(sumber: buku Materi Tausiyah Ustadz Gaul oleh Ibnu Mas'ad Masjhur)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan kita beribu-ribu kenikmatan, baik nikmat iman dan Islam atau pun nikmat sehat walafiat, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul tanpa satu halangan apa pun dan tidak kurang satu pun untuk hadir di acara yang insyaallah dimuliakan oleh Allah SWT.

Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, yang telah yang telah banyak mengajarkan kepada kita tentang keikhlasan. Ikhlas merupakan salah satu sunnahnya. Oleh sebab itu, kita diharuskan untuk senantiasa mengikutinya.

Ikhlas adalah amaliah hati yang tingkatannya sangat tinggi. Ikhlas berbeda dengan sabar, yang merupakan penerimaan atas suatu ketetapan, ketentuan dan sesuatu yang mengenai diri seseorang.

Ikhlas justru sebaliknya, di mana baru akan terlihat setelah terjadinya suatu amal. Orang yang ikhlas dalam beramal adalah mereka yang merasa seakan-akan tidak melakukan amal itu. Kita biasa menganalogikan ikhlas seperti halnya bekerja tanpa minta upah.

Saking tingginya amalan ini, ibadah yang mengharapkan surga belum terhitung ikhlas sebab masih mengharapkan upah dari Allah SWT. Akan tetapi, tingkatan ini sudah sangat tinggi, tidak untuk orang awam seperti saya dan Anda. Kita ini tingkatannya masih rendah.

Tapi, bukan berarti beramal karena mengharap surga dan takut neraka itu tidak baik. Menurut Imam Al-Ghazali, beramal karena mengharap surga itu hukumnya sah dan bagus serta berfaedah untuk diterimanya suatu amal.

Menurut Imam Al-Ghazali, hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran-kotoran yang mencampurinya. Mau sholat, ya sholat aja. Makan ya makan aja. Pergi ya pergi aja. Tanpa memikirkan hal-hal lain.

Allah SWT berfirman melalui Al-Qur'an pada Surat Al-Bayyinah ayat 5:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Artinya: "Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istiqomah), melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar)." (QS Al-Bayyinah: 5)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa betapa tingginya derajat sifat ikhlas. Dengan ikhlas, semua orang dengan profesinya masing-masing telah menjadi seorang sufi (orang yang bersih hatinya). Dengan didasari rasa ikhlas ini, seorang pedagang akan menjadi pedagang yang baik dan jujur, seorang petani menjadi petani yang baik, seorang pejabat menjadi pejabat yang baik, dan seterusnya.

Menurut Imam Al-Ghazali, "Semua manusia akan rusak, kecuali manusia yang berilmu. Semua manusia berilmu akan rusak, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Semua manusia berilmu yang mengamalkan ilmunya akan rusak, kecuali yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas pun masih dalam keadaan kekhawatiran yang besar."

Dari ungkapan Imam Al-Ghazali tersebut, semua ilmu dan amal akan sia-sia jika di dalamnya tidak ada sifat ikhlas. Ilmu dan amal itu tidak dapat dibanggakan. Bagaimana mau dibanggakan, sedangkan yang ikhlas saja masih dalam keadaan khawatir yang besar.

Maka, bapak ibu dan sahabatku sekalian. Mari, mulai saat ini kita tanamkan rasa ikhlas. Ke mana pun kita pergi, jangan lupa kita kantongi tuh ikhlas. Seperti saat ini, kalau kita sedang membawa uang, mari sisihkan ke kotak amal. Syukur-syukur yang jumlahnya besar.

"Kan yang penting ikhlas, to?" kata ibu yang di sana.

Bukan begitu, Bu. Ikhlas itu tanpa melihat besar kecilnya jumlah yang diberikan. Kita praktikkan ya, nanti. Ambil uang di dompet, tanpa melihat. Lalu masukkan ke dalam kotak amal. Jangan raba-raba besaran uangnya, jangan juga diingat-ingat tadi uang lebih kecil di taruh di atas atau bawah, ya.

Sebab menurut Imam Al-Ghazali, sifat ikhlas mempunyai prinsip dan hakikat. Kalau kita sudah mencari-cari alasan, prinsip dan hakikat itu akan hilang. Demikian yang bisa saya sampaikan semoga ada manfaat yang bisa kita ambil untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Contoh Ceramah Singkat #7: Syukur dan Takwa Menghadapi Hidup Modern

(sumber: laman resmi Pondok Pesantren Lirboyo)

Saudara-saudaraku sekalian, marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kita meninggal kecuali dalam keadaan Muslim, sebagaimana yang Allah perintahkan dalam Al-Qur'an, (QS. Ibrahim: 7)

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧

"Dan Tuhanmu telah menyatakan, 'Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambahkan nikmat kepadamu; dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'"

Maasyiral Muslimin yang dirahmati Allah
Sungguh penting bagi kita untuk terus meningkatkan ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah SWT. Atas segala nikmat-nikmat-Nya. Nikmat Allah tidak hanya berupa materi, tetapi juga kesehatan, iman, dan Islam, yang nilainya jauh lebih berharga relatif terhadap kekayaan duniawi. Bayangkan jika seseorang memiliki harta melimpah namun tidak sehat atau tidak memiliki ketenangan hati, tentu ia tidak bisa menikmati kekayaannya. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah SWT, Sang Pemilik alam semesta.

Maasyiral Muslimin yang dirahmati Allah
Pada zaman modern ini, banyak orang terjebak dalam pandangan hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi atau hedonisme. Mereka menganggap kebahagiaan dapat Terwujud dengan mengumpulkan sebanyak mungkin harta dan menghindari kesulitan. Pandangan ini membuat mereka tidak peduli dengan cara memperoleh harta, baik atau buruk, yang penting adalah jumlah kekayaan. Padahal, kebahagiaan sejati tidak terletak pada materi semata, melainkan pada berkah dan ridha Allah SWT.

Banyak yang beranggapan bahwa hidup adalah seperti matematika, yang beranggapan bahwa satu ditambah satu harus sama dengan dua. Namun dalam urusan rezeki, seringkali kita mendapati bahwa 1+1 bisa saja menjadi lebih dari itu, atau bahkan kurang. Ada yang usahanya kecil tapi rezekinya melimpah, dan ada pula yang bekerja keras namun tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Semua ini adalah rahasia Allah SWT.

Maasyiral Muslimin yang dirahmati Allah
Rezeki yang Allah berikan kepada kita seharusnya bisa mensyukurinya. Dengan bersyukur, kita tidak akan lagi terlalu menghitung-hitung harta yang kita miliki. Sebab tujuan hidup kita di dunia ini bukanlah untuk sekadar mencari harta, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku."

Banyak di zaman sekarang ini orang yang hanya memikirkan jumlah gaji pekerjaan yang ia lakukan. Jika kita renungkan sebenarnya, gaji atau pendapatan tidak ada bandingnya dengan gaji yang telah Allah berikan kepada kita semua. Logika matematis dalam menyikapi harta ini lambat laun akan melupakan esensi dari status harta itu sendiri. Perlu kita sadari bahwa harta hanyalah titipan dari Allah yang suatu waktu akan hilang dari kita, dan diambil oleh yang paling berhak memilikinya.

Kesadaran bahwa harta hanya sebuah titipan ini akan memunculkan sikap senang berbagi, bersedekah dan berzakat. Kita tak perlu khawatir jika kita memberikan harta kita kepada orang lain, harta kita akan jadi berkurang. Sekali lagi hidup bukanlah matematika. Sesuatu yang kita berikan kepada sesama, pada suatu hari pasti akan kita dapatkan kembali karena hakikat memberi adalah menerima.

Maasyiral Muslimin yang Dirahmati Allah,
Di akhir khutbah ini mari kita renungkan Al-Qur'an Surat Ath-Tholaq ayat 2-3:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (3)

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (3)"

Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa jika kita ingin hidup dalam ketenangan maka hiduplah dalam ketakwaan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Selain akan diberikan ketenangan hidup dan jalan keluar dari segala permasalahan di dunia, jika kita bertakwa, kita juga akan diberi rezeki dari arah yang tidak kita duga-duga.

Jika kita betul-betul percaya (tawakal) kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kita rezeki seperti burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore harinya dalam keadaan kenyang. Yakinlah, Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.

Nah, itulah 7 contoh ceramah singkat yang mengangkat tema tentang ikhlas dan syukur. Semoga contoh-contohnya bermanfaat, ya, detikers!




(sto/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads