Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mendorong agar kearifan lokal tetap menjadi jati diri kepemimpinan wilayah. Pernyataan ini guna menjawab mulai menipisnya tatanan yang berada di daerah yang tergerus oleh doktrin pemikiran global, bahkan dalam konteks nasional.
Menurutnya, tidak semua kearifan lokal bisa ditinggalkan demi menjawab tantangan zaman. Justru menjadi bekal penting bagi setiap pemimpin daerah dalam memimpin wilayahnya. Memetakan potensi untuk kemudian dikembangkan dengan landasan kearifan lokal.
"Dalam pembangunan di Jogja dasarnya kekuatan lokal yang sudah ada sejak 1755, Hamemayu Hayuning Bawana. Dari dasar itu bagaimana kita bisa menyelesaikan tantangan zaman tapi tidak meninggalkan identitas dan jati diri," jelasnya saat ditemui dalam acara Seminar Nasional Komunikasi Sosial Dirgantara 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo Jogja, Minggu (29/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ini menyoroti hilangnya jati diri daerah berawal dari pemimpinnya. Dengan harapan menjawab tantangan zaman lalu meninggalkan kearifan lokal. Alhasil jati diri daerah yang awalnya kuat perlahan memudar dan hilang.
"Menjawab tantangan jaman itu sendiri yang penting bagaimana tradisi, moralitas tetap ada. Kemajuan itu sendiri yang penting bagaimana tradisi, moralitas, perilaku yang ada di kita sebagai orang timur tidak kehilangan jati diri," katanya.
Pesan ini disematkan Sri Sultan HB X kepada para pemimpin lainnya di Indonesia. Guna menjadikan kearifan lokal sebagai garda terkuat Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga bukan diseragamkan, namun muncul dengan jati diri masing-masing yang kuat untuk mengisi nasionalisme.
Sri Sultan HB X juga mengingatkan, bahwa sebelum muncul Indonesia, setiap daerah telah memiliki jati diri yang kuat. Hingga akhirnya menjadi akar bagi Bhinneka Tunggal Ika dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Jangan sampai kita mencari identitas baru tapi akhirnya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Perlu diingat, sebelum republik ini ada, masyarakat punya tradisi sendiri dari masing-masing suku yang ada, apa itu akan kita hancurkan sebagai identitas, kan tidak," ujarnya.
Seminar yang diselenggarakan TNI Angkatan Udara ini mengangkat tema Ketahanan Sosial Budaya Sebagai Modal Dasar Menuju Indonesia Emas 2024. Fokusnya adalah peran sosial budaya sebagai salah satu benteng ketahanan di Indonesia.
Komandan Kodiklatau, Marsdya TNI Arif Mustofa menuturkan peran sosial budaya tercermin dalam ketugasan sehari-hari. Wujud implementasi Trigatra dan Pancagatra dalam wawasan nusantara. Trigatra merupakan aspek alamiah, sedangkan Pancagatra merupakan aspek sosial.
"Trigatra merupakan faktor penentu kekuatan pembangunan nasional, sedangkan Pancagatra merupakan kondisi yang dihasilkan dari pembangunan nasional. Salah satu aspek adalah ketahanan sosial budaya," katanya.
Keresahan inilah yang mulai ditangkap oleh jajarannya. Berupa tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal di era globalisasi. Tingginya arus tren membuat seakan ada jarak dalam peradaban. Sehingga muncul istilah ketinggalan zaman jika tak ikut arus global dan modernisasi.
"Penggerusan nilai budaya Indonesia sangat besar, sehingga kita semua harus bahu membahu agar sosial budaya menjadi bekal yang baik, tangguh dan menciptakan kondisi masyarakat yang berbudaya Indonesia," ujarnya.
(cln/cln)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan