Biografi Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Keturunan Prancis-Minahasa

Biografi Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Keturunan Prancis-Minahasa

Nur Umar Akashi - detikJogja
Minggu, 29 Sep 2024 09:03 WIB
Pierre Tendean, Mengenal Sosok Pahlawan Revolusi dan Kisahnya
Potret Pierre Tendean. (Foto: Dok. Ilustrator detikcom)
Jogja -

Jelang akhir September 2024, bayangan kelam pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 30 September-1 Oktober 1965 silam kembali muncul. Dalam peristiwa nahas tersebut, Pierre Tendean menjadi salah satu korbannya.

Dirangkum dari Jurnal Krinok bertajuk 'Perjuangan Karakter Cinta Tanah Air dari Seorang Pahlawan Revolusi Pierre Tendean' oleh Restu Amaliyah Putri dkk, pria kelahiran 21 Februari 1939 ini merupakan anak dari pasangan Aurelius Lammert Tendean asal Manado dan Maria Elizabeth Cornet, seorang wanita keturunan Belanda-Prancis.

Pierre kecil lahir di era kolonialisme Belanda yang mulai rapuh akibat berbagai masalah, baik politik maupun ekonomi. Nama lengkapnya, yakni Pierre Andries Tendean diambil dari gabungan nama kakek dari pihak ibu, kakek dari pihak ayah, dan marga keluarga.

Lebih lanjut, dirujuk dari buku Pierre Tendean karangan Masykuri, di keluarganya, Pierre Tendean adalah satu-satunya anak lelaki. Ia punya seorang kakak perempuan bernama Mitze Farre dan adik perempuan bernama Rooswidiati.

Pendidikan Pierre Tendean

Pada usia kira-kira 6 tahun, Pierre muda memulai pendidikan sekolah dasarnya di Magelang. Kala itu, yakni tahun 1945/1946, berhubung revolusi kemerdekaan sedang memuncak, sekolah-sekolah belum dapat berjalan teratur akibat kurangnya tenaga guru maupun peralatan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1952, Pierre Tendean berhasil masuk di SMP Negeri 1 Semarang. Rampung pada 1955, Pierre melanjutkan pendidikannya ke SMA bagian B Negeri yang sekarang bernama SMA Negeri 1 Semarang.

Selama bersekolah, Pierre sangat disukai rekan-rekan sejawatnya. Ia ramah dan tidak suka membeda-bedakan temannya. Di samping itu, Pierre juga dikenal bisa bergaul dengan semua lapisan masyarakat.

Saat kecil, Pierre terbiasa melihat para pejuang kemerdekaan mengunjungi ayahnya untuk meminta persediaan obat-obatan. Hal ini kemudian lambat laun menumbuhkan sikap kagum dalam diri pemuda tersebut.

Usai lulus SMA, Pierre Tendean mendaftarkan diri ke akademi militer nasional untuk memenuhi cita-citanya. Di samping itu, untuk menyenangkan hati orang tuanya, ia juga mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Pada 1958, Pierre resmi diterima sebagai taruna akademi militer nasional. Atas anjuran jenderal purnawirawan A H Nasution yang kenal baik dengan orang tua Pierre, pemuda Minahasa ini kemudian memasuki akademi militer jurusan teknik.

Selama berproses sebagai taruna, Pierre begitu disenangi oleh junior maupun seniornya. Hal ini tidak terlepas karena sifat-sifatnya yang telah dibahas, di samping juga terkenal akan sifat disiplin. Bakat kepemimpinan Pierre yang menonjol juga menjadikannya ditunjuk sebagai wakil ketua senat korp taruna.

Pierre Tendean lulus dari ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat) pada 1962 dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia dilantik sebagai letnan dua dan para komandannya meramal bahwasanya kelak, Pierre akan menjadi seorang perwira pilihan.

Karier Pierre Tendean

Setelah sebelumnya sempat turut serta dalam operasi militer penumpasan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera, Pierre tendean bertugas sebagai komandan peleton Batalyon Zeni tempur 2 Kodam II Bukit Barisan, Medan.

Karena kecakapannya dalam memimpin mengesankan, ia dipanggil untuk mengikuti Sekolah Intelijen di Bogor pada 1963. Usai tamat, Pierre diberi tugas untuk memimpin kelompok sukarelawan untuk menyusup ke Malaysia yang kala itu sedang bersitegang dengan Indonesia.

Tugas yang diemban Pierre saat itu, yakni menyusup berkali-kali ke Malaysia, membuat sang ibu khawatir. Ibunya kemudian berusaha untuk menarik putranya ke garis belakang. Untuk itu, ibunya meminta Jenderal A H Nasution agar Pierre Tendean ditarik dari tugas garis depan tersebut.

Singkat cerita, pada 15 April 1965, Letnan Dua Pierre Tendean naik pangkat menjadi letnan satu dan bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution. Sebagai ajudan termuda di paviliun Jenderal Nasution, Pierre Tendean mengemban tugasnya dengan penuh dedikasi hingga terjadinya peristiwa G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia).

Sepak Terjang Letnan Satu Pierre Tendean dalam Gejolak Pemberontakan PKI
Pada Kamis malam, 30 September 1965, pukul 22.00, Letnan Satu Dul Arief memerintahkan anggota resimen Cakrabirawa di asrama tanah Abang untuk bersiap-siap. Para anggota pasukan ini kemudian berangkat ke Lubang Buaya.

Tepat pukul 02.30 pagi, 1 Oktober 1965, Lettu Dul Arief membagi pasukan Pasopati yang akan bertindak. Untuk Jenderal Nasution, pasukan penculiknya dipimpin oleh Pelda (Pembantu Letnan 2) Jahuruf dari resimen Cakrabirawa.

Pasukan yang akan menculik Jenderal Nasution berangkat kurang lebih pukul 03.00 pagi dengan mengendarai 3 truk dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan 2 jeep Cakrabirawa. Total, kira-kira 100 pasukan berada dalam konvoi ini.

Singkat kata, pengawal-pengawal kediaman Jenderal Nasution disergap dalam keadaan tidur maupun sadar. Untuk mengancam para pasukan pengawal, satuan penculik dari PKI tersebut menembakkan tembakan peringatan ke arah atas.

Tak lama kemudian, Pasukan Cakrabirawa sudah berada di rumah Jenderal Nasution. Mulanya, Ibu Nasution sudah melapor kepada sang jenderal bahwa ada orang yang ingin membunuhnya. Jenderal Nasution tidak percaya dan membuka pintu. Seketika, tiga orang di depan pintu menembak.

Jenderal Nasution dengan sigap langsung tiarap. Singkat cerita, carut-marut yang terjadi saat itu menyebabkan Ade Irma (anak Jenderal Nasution) terkena tembakan di bagian punggung, sedangkan Mardinah (adik sang jenderal) di tangannya.

Usai berhasil mengunci pintu untuk mencegah para penculik PKI merangsek masuk, Jenderal Nasution diantar sang istri untuk menyelamatkan diri. Sang jenderal berhasil melompati tembok dan bersembunyi di pekarangan tetangganya.

Di sisi lain, Pierre Tendean yang telah terbangun segera mengisi senjatanya. Ketika baru berjalan ke luar dari paviliun, Pierre Tendean disergap para penculik. Orang-orang PKI berbeda pendapat mengenai siapakah sejatinya pria yang mereka tangkap tersebut. Sebagian yakin bahwa Pierre Tendean adalah Jenderal Nasution, sebagian lainnya tak percaya.

Pada pukul 04.00 pagi, gerombolan penculik pergi dengan membawa Pierre Tendean yang dianggap sebagai Jenderal Nasution kembali ke markas mereka. Di Lubang Buaya, Letnan Satu Pierre Tendean disiksa paling akhir.

Kendati tak berdaya, sang letnan terus menunjukkan sikap perlawanan. Ia bahkan ditembak empat kali dari arah belakang oleh anggota Pemuda Rakyat bernama Kodik. Setelah itu, Pierre Tendean diseret dan dimasukkan dalam sumur tua bersama para perwira Angkatan Darat lainnya.

Gugur dengan menunjukkan sikap kepahlawanan dalam kesewenang-wenangan anggota PKI, Letnan Satu Pierre Tendean mendapat kenaikan pangkat anumerta dan gelar pahlawan revolusi. Hal ini tercantum dalam Surat Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Komando Operasi Tertinggi No 110/KOTI/1965 dan No 111/KOTI/1965.

Dengan ketetapan tersebut, Letnan Satu Pierre Tendean dinaikkan pangkatnya sebagai kapten anumerta. Selain itu, gelar pahlawan revolusi juga akan terus melekat pada namanya yang harum di bumi Indonesia.

Bersama dengan 6 orang pahlawan revolusi lainnya, jenazah Kapten Anumerta Pierre Andries Tendean dimakamkan di Taman Makam Kalibata pada 5 Oktober 1965. Sosoknya gugur dalam usia 26 tahun tujuh bulan, meninggalkan keluarga dan kekasihnya.




(sto/cln)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads