TGIPF Sebut Keluarga Korban Kanjuruhan Akan Musyawarah Ulang Terkait Autopsi

TGIPF Sebut Keluarga Korban Kanjuruhan Akan Musyawarah Ulang Terkait Autopsi

Muhammad Aminudin - detikJatim
Kamis, 20 Okt 2022 12:35 WIB
Devi Athok, orang tua yang kehilangan 2 anaknya di Tragedi Kanjuruhan
Devi Athok, ayah dua korban Kanjuruhan yang sempat mengajukan proses autopsi. (Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim)
Malang -

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) telah menemui keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang sempat meminta dilakukan proses autopsi. Hasilnya, TGIPF menyebut keluarga korban masih akan melakukan musyarawah kembali apakah benar-benar membatalkan autopsi atau tidak.

Autopsi itu awalnya diajukan oleh Devi Athok (43), warga Bululawang, Kabupaten Malang. Dua putrinya, Natasya Deby Ramadhani (16) dan Nayla Deby Anggraeni (13) meninggal saat Tragedi Kanjuruhan pecah.

Namun, rencana autopsi yang sedianya digelar hari ini mendadak batal. Athok mencabut pengajuan autopsi dua jenazah putrinya. Athok merasa sendiri tanpa dukungan dari pihak manapun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perwakilan TGIPF dari Kemenko Polhukam Irjen Armed Wijaya akhirnya menemui Athok. Usai dilakukan diskusi, saat ini, TGIPF masih menunggu kepastian dari pihak keluarga apa memang benar-benar membatalkan proses autopsi atau tidak.

"Jadi kita sementara ini menunggu dari pihak keluarga, minta kepastiannya itu satu dua hari ini, akan dimusyawarahkan dengan keluarga," kata Wijaya, Kamis (20/10/2022).

ADVERTISEMENT

Batalnya autopsi hari ini sempat disebut lantaran keluarga merasa diintimidasi polisi. Ada sejumlah polisi yang kerap mendatangi kediaman keluarga ini dan meminta rencana autopsi dipikirkan kembali.

Wijaya menjelaskan, penyidik Polda Jatim memang sempat mendatangi rumah Athok. Namun, kata Wijaya, polisi hanya ingin mengonfirmasi apakah benar Athok membatalkan autopsi kedua jenazah putrinya. Kemudian, penyidik membantu untuk membuat konsep surat pembatalan.

"Keterlibatan anggota pada saat penyidik Polda akan mengkonfirmasi kebenaran pembatalan, diminta oleh keluarga korban membantu konsep surat pembatalan," jelasnya.

Ia pun memastikan bahwa tidak ada upaya intimidasi dari polisi.

"Saya sudah menggali informasi. Alhamdulilah, ternyata informasi itu (intimidasi) tidak benar," ujar Wijaya.

Nenek korban sempat menolak autopsi. Baca di halaman selanjutnya!

Dalam laporan atau klarifikasi yang diterima Wijaya, pembatalan autopsi ternyata bukan karena adanya intimidasi, Akan tetapi, karena tak mendapat restu dari nenek korban.

"Dipastikan tidak ada intimidasi dari aparat. Namun lebih kepada tidak direstui oleh nenek korban yang keberatan bila dilakukan gali kubur," ungkapnya.

Oleh sebab itu, dipastikan oleh Wijaya sebagai perwakilan TGIPF, bahwa pembatalan autopsi murni datang dari pihak keluarga korban sendiri.

"Dari keluarga ini tidak paham (konsep pembatalan), sehingga ada anggota yang menuntunnya cara membuat. Pada dasarnya, setuju atau tidak adalah hak keluarga," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mengungkapkan, batalnya autopsi tersebut bukan keputusan sepihak dari polisi. Toni mengeklaim, keluarga kedua jenazah tersebut tidak berkenan dilakukan autopsi.

"Bagaimanapun untuk pelaksanaan autopsi kita salah satunya meminta persetujuan keluarga dan hasil informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk dilakukan autopsi," ujar Toni kepada wartawan di RS dr Syaiful Anwar (RSSA) Malang, Rabu pagi.

Dengan tidak adanya persetujuan keluarga, kata Toni, maka proses autopsi yang sudah direncanakan terpaksa batal.

Sementara, KontraS menyebut ada upaya intimidasi polisi kepada keluarga korban Tragedi Kanjuruhan agar mencabut pengajuan autopsi. Bahkan, polisi mendatangi keluarga korban Kanjuruhan dengan membawa senjata.

"Kami mendapatkan laporan keluarga korban yang setuju menjalani autopsi didatangi personel kepolisian berseragam lengkap, membawa senjata. Mereka meminta keluarga korban membatalkan pernyataan ketersediaan melakukan autopsi. Meski tidak ada ancaman verbal, ini tetap merupakan bentuk intimidasi secara persuasif," kata Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan.

Halaman 2 dari 2
(hil/dte)


Hide Ads