Lontong Balap Pak Gendut, Warisan Kuliner Surabaya hingga Tiga Generasi

Jihan Navira - detikJatim
Sabtu, 20 Des 2025 07:00 WIB
Lontong Balap Pak Gendut (Foto: Jihan Navira/detikJatim)
Surabaya -

Lontong balap telah lama menjadi ikon kuliner legendaris Kota Surabaya. Di kawasan Jalan Kranggan Garuda, deretan warung lontong balap masih setia melayani pelanggan dari pagi hingga malam. Salah satunya adalah Lontong Balap Pak Gendut, yang mampu bertahan lintas generasi.

Bagi Rangga Pranata Gupta (36), lontong balap bukan sekadar makanan khas. Hidangan ini warisan keluarga yang telah dijaga sejak 1956, sebagaimana tertulis di banner warungnya. Usaha ini dirintis sang nenek, Suwarni, yang menjadi generasi pertama penjual lontong balap di keluarga, sekaligus pelopor di Surabaya.

"Dulu lontong balap itu asalnya dari Wonokromo, selisihnya nggak lama kok, dari awal nenek jualan lontong balap, ya sekitar tahun 50-an. Saat itu, nenek masih usia 35-an," ujar Rangga, Jumat (19/12/2025).

Ia menceritakan, penamaan lontong balap berawal dari cara para pedagang zaman dulu menjajakan dagangan. Mereka berjalan cepat sambil memikul jualan, sehingga makanan ini dikenal sebagai 'lontong balap'.

"Bisa dibayangkan kan, mereka dulu bagaimana. Mikul dagangan berat, balapan lagi. Kalau sekarang balapan kan disebut resing ya, jadi lontong resing," ujar Rangga sambil sedikit bercanda.

Oleh karena itu, warung Lontong Balap Cak Gendut yang kini dikelola Rangga terlihat seperti modifikasi dari pedagang keliling panggul. "Biar ndak lupa sama sejarah lontong balap," tutur Rangga.

Warung lontong balap ini juga menyimpan cerita masa lalu di kawasan sekitar. Dahulu, di belakang lokasi ini terdapat Bioskop Garuda yang memutar film India, sehingga kawasan ini sangat ramai.

"Dulu orang sebelum nonton, makan lontong balap dulu, atau setelah nonton. Hampir 25 tahun ramai begitu. Lontong balap di belakang bioskop mulai ada tahun 54-an," ujar Rangga.

Lontong balap klasik ini berisi lontong, tauge, tahu, lentho berbahan kacang hijau atau kacang merah, dan biasanya dipadukan dengan kerang laut.

Saat detikJatim mencicip hidangan ini, perpaduan lontong balap dan kerang laut ini menghasilkan rasa yang unik. Segarnya tauge serta gurihnya kuah bertemu dengan rasa pedas manisnya kerang.

Saat pertama kali disajikan, piring hanya berisi tauge, tahu, dan lentho. Pelanggan dapat menambahkan sendiri petis lontong balap sesuai dengan selera masing-masing.

"Tergantung ada yang suka pedas, ada juga yang ndak suka. Kebanyakan orang kalau makan pasti tanya dulu, ini petisnya pedas apa ndak. Jadi, memang dasarnya pedas, tinggal sesuaikan saja ambil seberapa banyak," jelas Rangga.

Warung keluarga ini kini dikelola Rangga sebagai generasi ketiga, setelah sebelumnya diteruskan sang ayah, Supadi atau yang lebih dikenal dengan nama Pak Gendut, sehingga dinamakan 'Lontong Balap Pak Gendut'.

"Turun-temurun, mulai dari Nenek (Suwarni), Bapak (Supadi), lalu saya. Waktu itu saya bantu-bantu Bapak, soalnya Bapak sakit. Bapak meninggal tahun 2022 karena diabetes. Sama kayak nenek dulu, Bapak awalnya juga bantu-bantu," kenang anak ketiga dari empat bersaudara itu.

Tepatnya, Nenek Suwarni memulai berjualan lontong balap ini pada tahun 1956 sampai 1970. Usaha tersebut diteruskan sang ayah Supadi (Pak Gendut) pada tahun 1970 sampai 2020. Saat ini, Lontong Balap Pak Gendut dikelola generasi ketiga, yaitu Rangga setelah pandemi hingga saat ini.

Rangga mengaku popularitas lontong balap ini pernah berada di masa jayanya. Kursi nyaris selalu penuh, bahkan kerap didatangi musisi terkenal. Ia menceritakan, pada 2018, musisi Ahmad Dhani masih sering datang, turun dari mobil, makan, lalu pergi tanpa banyak keramaian.

"Dulu waktu masih zamannya Bapak, duduknya hampir penuh tiap hari. Banyak orang terkenal makan di sini, seperti Ari Lasso, Ahmad Dhani saja seminggu sekali atau seminggu dua kali. Sekarang jarang, mungkin lagi pengen cari makanan baru," kata Rangga.

Meskipun pedagang lontong balap di kawasan ini sudah ada sejak masa kejayaan Bioskop Garuda lama, rupanya para pedagang sebelumnya belum bisa mendirikan warung menetap.

"Dulu ndak boleh, kan PKL. Terop saja tidak boleh. Pakai payung jualan biasa, jadi harus diberesin dan diangkut tiap harinya. Jadi, warung-warung menetap ini baru jalan empat tahun," tutur Rangga.

Pada masa ayahnya dulu, tauge yang disiapkan bisa mencapai 20 kilogram per hari. Satu kilogram tauge bisa untuk 10-11 porsi. Sedangkan, saat ini, Rangga menyiapkan 7-8 kilogram tauge setiap hari. Tauge itu tidak semuanya langsung dimasukkan panci, karena api tidak boleh terlalu panas apalagi mendidih agar tauge tidak lembek.

"Masaknya harus stabil, ndak terlalu matang, ndak terlalu alum (lembek), jadi masih ada kriuknya," ujarnya.

Namun, Rangga mengaku kini banyak pelanggan meminta tambahan tauge tanpa lontong, sehingga per porsinya tidak bisa dipastikan.

"Rata-rata sekarang request, 'Mas, nggak pakai lontong, tambahin aja togenya'. Tergantung selera masing-masing," ujarnya.

Bahan-bahan pun memiliki cerita tersendiri. Dulu, ayahnya menggunakan kecap cap kodok, namun kini harganya tembus hampir Rp 50.000. Proses pembuatan lentho juga tidak sederhana.

"Rendamnya harus tujuh jam dulu, baru bisa diproses. Saya bawa 50 biji lentho setiap hari. Bikinnya 2-3 jam," jelasnya.

Dari sisi harga, Rangga mengingat neneknya dulu menjual sekitar Rp 3.000 per porsi, sementara pada tahun 70-an sang ayah menjual sekitar Rp 7.000. Saat ini Rangga menjual seporsi lontong balap yang dibanderol seharga Rp 16.000, sedangkan kerang laut 10 tusuk dibanderol Rp 16.000. Jika ingin kerang setengah porsi, lima tusuk pun boleh dengan harga Rp 8000.

Warung Lontong Balap Pak Gendut buka pukul 09.00 WIB hingga 22.00 WIB. Rangga mengaku warungnya paling ramai biasanya saat makan siang, dan hari Minggu setelah orang-orang jogging pagi.

"Saya saja ndak pernah libur, hari raya saja buka, itu ramai-ramainya. Banyak orang luar kota, misal Jakarta, pasti jujuk ke sini," katanya.

Pelanggan lontong balapnya kini beragam, mulai dari anak muda hingga lansia. Pelanggan setia terus berdatangan meskipun tangan yang meracik sudah jatuh ke generasi ketiga, termasuk mereka yang kini berusia 70-an masih tetap kembali.

"Pelanggan dari zaman dulu sampai saya ini saja masih ada yang usia 70, orang asli Surabaya itu. Kalau anak muda ya rata-rata umur 30-an, itu 50 persen," kata Rangga.

Rangga mengatakan 80 persen orang Jakarta datang untuk mencari lontong balap dulu, baru kuliner lain. Banyak pula perantau yang kembali ke Surabaya hanya untuk melepas rindu rasa khas ini. Namun, ia mengakui, minat anak muda kini tak sebesar dahulu.

"Anak zaman sekarang beda, padahal ini makanan legendaris Surabaya. Zamannya sudah beda," ujarnya.

Terlebih lagi jumlah pedagang lontong balap di kawasan tersebut tersisa sekitar empat orang. Meski begitu, Rangga tetap optimistis. Ia berharap lontong balap sebagai makanan khas Surabaya tetap bertahan.

"Dulu ada lima atau enam PKL lontong balap. Selang-seling gitu, lontong, es degan, lontong, es degan. Sekarang tinggal empat," kata Rangga.

Dulu, warung ini sempat membuka cabang di sejumlah mal sebelum pandemi COVID-19, seperti PTC, Delta, Tunjungan Plaza, hingga Citraland, dan semua terhenti saat pandemi. Saat ini Rangga juga baru membuka cabang di daerah Perak, tepatnya di depan Samsat Colombo Surabaya, dan sudah berjalan hampir satu bulan.

"Kalau bisa jangan sampai punah atau hilang. Takutnya generasi selanjutnya nggak ada yang nerusin," harapnya.

Untuk penerus, ia menyebut mungkin adiknya akan melanjutkan, atau jika tidak, ia tak menutup kemungkinan mempercayakan pada orang lain dengan harapan lontong balap tak hilang ditelan zaman.

"Makanan khas Surabaya kalau bisa jangan sampai punah atau hilang, takutnya generasi seterusnya ndak ada yang nerusin," ujar Rangga.

Ia juga mencontohkan bagaimana di Jalan Semarang Surabaya, terdapat paguyuban lontong balap menggunakan rombong untuk berjualan keliling.

"Pokoknya, kalau ke Surabaya, lontong balap ini pasti dicari," pungkas Rangga.



Simak Video "Video: Heboh dan Serunya Festival Rujak Uleg di Surabaya!"

(auh/irb)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork