Ritual bersih desa dilakukan untuk memohon keselamatan maupun keamanan masyarakat. Ritual bersih desa biasanya digelar bersamaan tradisi tolak bala. Beberapa daerah di Indonesia masih melestarikan ritual ini, salah satunya masyarakat Osing Banyuwangi.
Bersih desa melekat dengan kesenian dan kebudayaan masing-masing. Ritual ini bersifat individual dan kolektif dalam upaya menjaga kepentingan bersama seluruh warga desa.
Masyarakat Osing yang masih melestarikan tradisi ini, di antaranya Desa Olehsari, Desa Bakungan, Desa Aliyan, dan lain-lain. Ritual bersih desa dan tolak bala di Desa Bakungan dan Desa Olehsari disebut Seblang. Meski sama, masing-masing desa mempunyai perbedaan cara pelaksanaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 10 Tradisi Tolak Bala di Jawa Timur |
Ritual Seblang Masyarakat Osing Banyuwangi:
Berikut informasi mengenai ritual Seblang yang masih dijalankan masyarakat Osing. Lengkap dengan perbedaan pelaksanaan di dua desa Banyuwangi, seperti dikutip detikJatim dari jurnal Ritual Seblang Masyarakat Using di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur karya Almira Puspita Yashi.
1. Sejarah Masyarakat Using
Sebelum mendalami ritual Seblang lebih jauh, ada baiknya mengetahui latar belakang masyarakat Using secara historis. Nama Banyuwangi tidak dapat dilepaskan dari nama Blambangan, karena dulunya daerah ini merupakan tempat berdirinya Kerajaan Blambangan.
Salah satu pendiri Kerajaan Majapahit, Arya Wiraja menguasai daerah Blambangan atas jasanya kepada Raden Wijaya. Sepeninggalannya, daerah itu diwariskan kepada puteranya bernama Arya Nambi.
Di masa kepemimpinan Arya Nambi pada 1316, Blambangan seringkali melakukan pemberontakan kepada Kerajaan Majapahit. Pasca keruntuhan kerajaan Majapahit, wilayah Blambangan kembali menjadi perebutan Kerajaan Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam.
Sejak itu, rakyat Blambangan harus melalui peristiwa panjang mempertahankan wilayah mereka. Puncaknya ketika mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada 18 Desember 1771, yang dikenal dengan perang Puputan Bayu di Kecamatan Songgon.
Usai perang tersebut sebagian besar penduduk masih menetap di Banyuwangi, sebagian lainnya mengungsi ke Bali. Saat itu juga terjadi penurunan populasi masyarakat, sehingga Belanda mendatangkan imigran dari Madura dan daerah lain di Pulau Jawa. Upaya tersebut berhasil.
Namun terdapat sebagian penduduk asli yang tetap berdiam diri. Penduduk ini disebut sebagai 'sing', yang artinya tidak atau tidak ikut mengungsi ketika Perang Puputan Bayu. Mereka inilah yang mewarisi budaya dan tradisi Blambangan.
Beberapa daerah masih menyimpan keaslian budaya masyarakat Osing, salah satunya Desa Kemiren di Kecamatan Glagah. Selain itu, terdapat Desa Alian, Desa Alasmalang, Desa Olehsari, Desa Bakungan, dan lain-lain.
2. Ritual Seblang Masyarakat Osing
Masyarakat Osing sangat menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Hal ini mereka upayakan dalam tradisi ritual sebagai bentuk permohonan menggunakan media perantara secara religius.
Desa dengan penduduk masyarakat Osing masih melestarikan sedekah desa. Mereka telah mengadakan ritual bersih desa setiap tahun yang dipadukan dengan selamatan. Tujuannya menghubungkan antara yang hidup dan yang mati.
Ritual ini hanya dilakukan masyarakat Using yang menempati Desa Bakungan dan Desa Olehsari. Ritual yang menjadi tradisi tolak bala dan keperluan bersih desa supaya terjaga keamanan, ketenteraman, serta terhindar dari mara bahaya.
Seblang dibentuk dari gabungan dua kosakata yang diambil dari bahasa Using kuno. Ialah "sebele" dan "ilang" yang artinya "hilangnya segala permasalahan dan kesusahan".
3. Perbedaan Ritual Seblang di Dua Desa Banyuwangi
Dalam proses pelaksanaannya, ritual Seblang mempunyai syarat dan ketentuan. Mulai dari penari, pakaian yang dikenakan, waktu, hingga sesajen yang disajikan. Persyaratan ini memiliki pedoman tersendiri sebagai ritual budaya masyarakat Osing.
Desa Bakungan
Ritual Sableng masyarakat Using yang menghuni wilayah Desa Bakungan dilaksanakan satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha. Pelaksanaannya dimulai dengan ziarah makam leluhur desa yang dikenal dengan nama Buyut Witri oleh beberapa tokoh masyarakat desa.
Perlengkapan ziarah yang dibawa adalah air dari sumber mata air di lingkungan Watu Ulo, sebuah pantai yang berada di daerah Jember. Air tersebut diberi doa dan dipercikkan di setiap sudut desa dan kepada seluruh masyarakat desa.
Selanjutnya, mereka akan mempersiapkan syarat ritual yang terdiri dari sabrang, ketan wingko, tumpeng, kinangan, bunga 500 biji, tumpeng takir, boneka nini thowok (boneka perempuan yang terbuat dari tempurung kelapa dan kain).
![]() |
Ritual dilanjutkan keesokan harinya setelah matahari terbenam dengan mengadakan upacara selamatan. Seluruh masyarakat duduk di depan rumah masing-masing sambil mempersembahkan tumpeng dengan hidangan khas Banyuwangi, seperti pecel pithik atau daging ayam yang dicampur dengan urapan kelapa.
Kemudian, seorang dukun atau pemimpin adat akan membacakan doa-doa khusus dalam bahasa Osing, yang berisi permintaan kepada penguasa alam agar memberikan kesejahteraan terhadap seluruh masyarakat.
Lalu, dukun akan menaburkan kemenyan ke seluruh area ritual. Suara kentongan yang dipukul dukun sebagai pertanda berakhirnya upacara tumpengan. Masyarakat menyambutnya dengan doa ayat-ayat dari kitab Al-Qur'an.
Kemudian masyarakat dipersilakan menyantap tumpeng masing-masing secara bersamaan. selamatan ini dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rahmat Tuhan.
Setelah Maghrib, ritual kembali digelar dengan warga laki-laki bersama para pemuda berpatroli keliling desa membawa obor atau yang dikenal dengan nama Ider Bumi. Pada proses ini, semua listrik di Desa Bakungan dipadamkan dan penerangan hanya diperoleh dari obor yang dibawa masyarakat.
Mereka akan berhenti di setiap sudut desa untuk melafalkan doa-doa keselamatan dari ayat-ayat suci Al-Qur'an. Tujuannya untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggu desa.
Proses selanjutnya adalah tarian Seblang yang dibawa oleh penari wanita yang sudah lanjut usia dan mengalami menopause. Mereka yang terpilih merupakan sesepuh atau leluhur yang mempunyai kekuatan magis. Menurut tradisi, mereka telah diberikan wangsit oleh leluhur yang telah meninggal melalui mimpi.
Sebelum tarian Seblang dimulai, para penari akan dirias menggunakan rambut pasangan dengan bahan kain mori dan riasan wajah serta tubuh menggunakan atal (sejenis tepung dari batu halus yang berwarna kuning dan dicampur air). Para penari akan berjalan menuju area dengan diiringi beberapa penyanyi perempuan. Mereka juga akan membawa hiasan berupa nyiru.
Sesudahnya, mata mereka akan ditutup oleh seorang perempuan tua dengan kedua tangan sebelum dukun mulai membakar dupa dan membaca mantra-mantra pemanggil roh Buyut Kethut, Buyut Rasio, dan Buyut Jalil, yang dikenal sebagai roh penjaga desa yang akan memberkahi pertunjukan Seblang.
Apabila nyiru yang dipegang penari jatuh, hal ini menandakan sang penari telah kerasukan roh. Pemilihan lagu menggunakan alat musik gendhing pun disesuaikan keinginan sang penari yang telah dirasuki.
Tanda bahwa penari setuju adalah penari akan berdiri dan menari gemulai dengan arah yang berlawanan jarum jam. Sebaliknya, jika tidak setuju, penari tidak akan berdiri dan memberi isyarat.
Saat para penari beristirahat, pertunjukan sabung ayam akan dimulai, yang melambangkan perlawanan masyarakat Blambangan terhadap penjajah. Tundik atau ngibing merupakan proses di mana para penari mengajak para penonton untuk ikut menari.
Pertunjukan ditutup dengan bunyi gendhing brang-brang yang dipercaya dapat mendatangkan roh halus dan membersihkan desa dari marabahaya. Setelah para penari sadar, mereka akan menjelaskan makna dan simbol gerakan tarian. Masyarakat lalu menggantungkan sesajen hasil pertanian ke beberapa area kegiatan.
Desa Olehsari
Ritual Seblang di Desa Olehsari dilakukan ketika ritual di Desa Kemiren dimainkan Embah Sapua. Saat para penari Seblang kerasukan, terdapat dialog dengan Eyang Buyut Tompo, pencipta seni Barong di Desa Kemiren, supaya pertunjukan ritual Seblang dipindahkan ke Desa Olehsari.
Secara garis besar, urutan pelaksanaan ritual Seblang di Desa Olehsari hampir sama dengan Desa Bakungan. Hanya saja ketentuan pelaksanaan dan penarinya sedikit berbeda.
Pementasan seni tari hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu setiap tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan upacara bersih desa atau selamatan desa. Apabila pementasan tari tidak dilakukan, maka akan ada marabahaya.
![]() |
Tarian ini diselenggarakan setiap Hari Raya Idul Fitri, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Kegiatan dimulai pukul 13.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat selama satu minggu.
Penari Seblang di Desa Olehsari dipilih seorang ibu setengah baya yang kerasukan. Para penari merupakan seorang gadis perawan yang baru saja akil balig dan keturunan dari penari Seblang sebelumnya.
Penari ini dirias dengan omprok (daun dan bermacam-macam bunga). Setelah bersiap, dukun akan mulai memanggil roh yang akan merasuki para penari. Penari akan dibawa ke area dengan diiringi lima pawang, tiga di antaranya berjenis kelamin laki-laki, sisanya perempuan.
Pertunjukan dimainkan di atas tanah lapang berukuran 7x7 meter menggunakan ornamen payung agung pada panggung. Di bawah payung, terdapat gamelan yang mengiri musik, dan alat perlengkapan lainnya berupa tarup yang menghadap ke arah timur.
Pada sisi kanan kiri diberi hiasan berupa daun kelapa dan bungkil atau hasil pertanian yang diletakkan di dekat pesinden. Pada hari ketiga dan seterusnya, tarian diikuti dengan kegiatan ngibing. Hingga memasuki waktu sore hari, para penari akan kelelahan dan jatuh pingsan, kemudian tersadar.
Puncaknya pada hari ketujuh ditandai dengan upacara kirab atau keliling desa diikuti rombongan penari. Selama perjalanan gamelan akan terus dibunyikan. Mereka harus melewati balai desa, makam Buyut Ketut, kali antogan, sumber mata air, rumah sang dukun, perempatan masjid desa, dan terakhir panggung pentas.
Ritual ditutup pada hari ke-8 dengan upacara siraman para penari Seblang.Prosesi ini sebagai simbol pembersihan batin, dan diakhiri dengan selamatan oleh masyarakat setempat.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/sun)