Cukup banyak komunitas seni dan budaya, juga komunitas sejarah di Sidoarjo dan Surabaya. Sebagian dari yang cukup banyak itu menggelar kegiatan mereka di Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo.
Beragam hal dibincangkan di tempat yang lebih akrab dikenal Rumah Budaya Sidoarjo itu. Banyak diskusi digelar membincangkan tentang budaya, sejarah, tentang seni-seni tradisi dan sastra. Tak ketinggalan pameran lukisan dan kriya.
Ada pemutaran film yang digelar komunitas pecinta film, ada diskusi puisi oleh komunitas sastra, juga ada program berupa kelas belajar bareng Aksara Jawa Kuno. Setidaknya 4 hingga 12 kegiatan komunitas setiap bulan digelar di Rumah Budaya Sidoarjo.
Satriagama Rakantaseta Pendiri dan Pengelola Rumah Budaya Sidoarjo memastikan bahwa tempat yang dia kelola sengaja dijadikan wadah kegiatan bagi komunitas apapun dan dari manapun.
"Kami sangat terbuka. Komunitas manapun bisa menggunakan tempat ini. Bisa DM ke akun Instagram Rumah Budaya, atau bisa chat ke WA saya," kata pria asli Jogja yang akrab disapa Seta itu kepada detikJatim, Rabu (9/8/2023).
Seta menyebutkan bahwa Rumah Budaya Sidoarjo sendiri memiliki sejumlah visi dan misi yang telah mengejawantah menjadi sejumlah program. Salah satunya adalah Kelas Sinau Aksara Jawa Kuna yang saat ini segera digelar sesi kedua.
"Ya, tujuannya untuk melestarikan aksara Jawa kuno. Karena aksara itu akan punah kalau nggak ada penggunanya. Pengajarnya jebolan Unair Andri Setyo Nugroho dan Aditya Sukma Caesar, Anggota Komunitas Sidoarjo Masa Kuno," ujarnya.
Seta yang pernah terlibat dalam penyelenggaraan Art Jog sejak 2005-2015 dan sempat menjadi Executive Director itu memiliki visi untuk Rumah Budaya Sidoarjo. Dia berharap masyarakat, khususnya masyarakat Sidoarjo, menjadi lebih paham apa itu budaya dan apa itu tradisi dari tempat yang dia kelola.
"Karena budaya itu sangat luas. Nah, ini pola pikir kita yang menganggap budaya itu sama dengan tradisi. Padahal enggak. Teknologi kereta api itu termasuk budaya. Jadi budaya itu nggak melulu tradisi yang kadang diidentikkan dengan klenik," ujarnya.
Seta mengatakan bahwa upaya mengenal budaya dan tradisi itu sebenarnya dia tujukan agar masyarakat Sidoarjo mampu melakukan banyak inovasi. Bukan dengan meniru budaya asing, tapi dengan mengenali kekuatan masyarakat itu sendiri.
"Masyarakat Sidoarjo ini sebenarnya nggak banyak yang sadar pola pikirnya feodal. Feodal itu cirinya, nggak berani ngomong, merasa rendah diri, jadi warga kelas dua lah. Itu yang akan aku soroti di Hari Kemerdekaan ini. Merdeka sesungguhnya bagi masyarakat Sidoarjo adalah kemerdekaan dari pola pikir 'warga bayangan'," ujarnya.
Menemukan jati diri. Baca di halaman selanjutnya.
(dpe/dte)