Jadi Tersangka Korupsi, Mantan Direktur Polinema Ajukan Praperadilan

Jadi Tersangka Korupsi, Mantan Direktur Polinema Ajukan Praperadilan

Muhammad Aminudin - detikJatim
Jumat, 11 Jul 2025 21:30 WIB
Kuasa hukum Awan Setiawan beberkan berkas administrasi
Kuasa hukum Awan Setiawan beberkan berkas administrasi. (Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim)
Malang -

Penetapan tersangka dan penahanan mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) Awan Setiawan dibawa ke ranah praperadilan. Penetapan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim itu dinilai tak memiliki alasan kuat.

Hal ini diungkap kuasa hukum Awan Setiawan, Sumardhan. Awan sendiri ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus pengadaan tanah untuk pengembangan kampus pada 2019 lalu.

Menurut advokat dari Edan Law itu penetapan tersangka Awan Setiawan tidak memiliki dasar hukum. Karena pada saat itu kliennya bertindak sebagai pelindung dan ditegaskan sudah membentuk panitia pengadaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Polinema kala itu menerbitkan SK Nomor 689 Tahun 2019 tentang pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Polinema tertanggal 11 Juni 2019.

Kemudian SK Nomor 2888 Tahun 2020 pembaruan atas SK sebelumnya yang diterbitkan 3 April 2020.

ADVERTISEMENT

"Sudah ada pelimpahan kewenangan di panitia pengadaan yang disebut panitia 9. Pembentukan sampai dua kali yakni 2019 dan 2020," ungkap Sumardhan kepada wartawan, Jumat (11/7/2025).

Sumardhan mengungkapkan, jika tugas panitia pengadaan sudah jelas. Mulai negoisasi harga tanah sampai tahap pembayaran.

Pengadaan tanah sendiri dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2015.

Khususnya di Pasal 53 yang mengatur bahwa pengadaan tanah di bawah 1 hektare bisa dilakukan langsung antara instansi pemerintah dan pemilik tanah, tanpa proses panjang.

Dalam struktur pengadaan, Direktur Polinema saat itu memang berperan sebagai Pengguna Anggaran (PA). Namun, secara teknis pelaksanaan kegiatan telah didelegasikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Pengadaan Tanah.

"Pembayaran sudah dilakukan sampai tiga kali hingga kurang Rp20 miliar atau separuh harga tanah dengan total Rp 42 miliar," ungkapnya.

Sementara terkait harga tanah, lanjut Sumardhan, sudah ada rekomendasi dari Dinas Pertanahan. Awalnya harga tanah dijual Rp 6,5 juta per meter, namun ditawar Rp 6,3 juta hingga disepakati menjadi Rp 6 juta.

"Sandaran penjualan tanah itu berdasarkan surat keputusan kantor pertanahan. Dari beberapa kali mereka rapat artinya panitia beetemu penjual sudah beberapa kali menjadi kesepakatan. Itu dibuat notulen oleh notaris," kata Sumardhan.

Dengan harga itu Sumardhan menyebut seharusnya pemerintah bisa untung karena harga tanah lebih murah daripada harga awal.

"Jadi tidak ada unsur korupsinya menurut saya. Juga tidak benar statement kejaksaan tinggi tidak dibentuk panitia pengadaan tanah itu tidak benar," tegasnya.

Karena itu Awan Setiawan mengajukan praperadilan dengan termohon dari Kejati Jatim. Melalui Permohonan Pra Peradilan Nomor 20/Pid.Pra/2025/PN.SBY sidang awal dilakukan pada 8 Juli 2025.

Namun pihak termohon tidak hadir tanpa alasan jelas sehingga sidang ditunda pekan depan.

Selain itu, selama masih proses pra peradilan, Edan Law sudah mengirim permohonan kepada Kejati Jatim agar tidak dilakukan pemeriksaan tersangka sebelum ada keputusan tetap.

Namun permohonan itu tidak digubris dan ada rencana pemanggilan pemeriksaan tersangka pada 11 Juli 2025.

"Itu sebagai bentuk penghormatan hak asasi tersangka dan apabila masih dilakukan pemanggilan itu kami sangat menyesalkan," pungkasnya.




(auh/abq)


Hide Ads