Kasus Baby sitter cekoki balita dengan obat keras viral di media sosial. Kasus ini viral setelah curhatan Linggra Kartika yang bercerita anaknya menjadi korban baby sitter.
Linggra telah melaporkan kejadian ini kepada polisi yang segera melakukan penyelidikan hingga menetapkan pelaku sebagai tersangka. Saat ini, baby sitter berinisial NB telah diamankan dan berada dalam tahanan.
Dirreskrimum Polda Jatim Kombes Farman menyatakan LK melaporkan baby sitter tersebut ke SPKT Polda Jatim pada 30 Agustus 2024. Setelah menerima laporan, polisi melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pakar obat Apt. Ika Norcahyanti, M.Sc., Dosen Fakultas Farmasi Universitas Jember sekaligus Ketua Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kabupaten Jember menjelaskan dampak penggunaan obat golongan keras, seperti deksametason dan pronicy, terhadap perkembangan fisik anak-anak.
"Deksametason, yang merupakan obat golongan glukokortikoid, berperan sebagai antiinflamasi dan digunakan untuk mengatasi peradangan serta alergi. Namun, penggunaan obat ini pada balita dan anak-anak harus dengan pengawasan medis yang ketat dan sesuai dengan dosis yang dihitung berdasarkan berat badan," ujar Ika saat dikonfirmasi detikJatim Senin, (14/10/2024).
"Penggunaan deksametason dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak, karena dapat menurunkan daya tahan tubuh dan mempengaruhi perkembangan fisik mereka," tambahnya.
Sementara itu, pronicy yang mengandung cyproheptadine, menurut Ika, digunakan untuk meredakan alergi dan migrain, namun tidak disarankan untuk anak-anak di bawah usia dua tahun.
"Cyproheptadine berisiko menyebabkan efek samping seperti peningkatan nafsu makan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan penggemukan yang tidak wajar, sedangkan dalam kasus ini, saya menduga bahwa penggemukan yang dialami oleh korban disebabkan oleh penggunaan kedua obat tersebut dalam jangka panjang tanpa pengawasan," jelasnya.
Ika juga mengingatkan meskipun obat keras seperti deksametason dan pronicy seharusnya hanya diperoleh dengan resep dokter, kenyataannya, obat-obatan tersebut sering kali tersedia di platform daring tanpa resep.
"Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 mengatur bahwa penjualan obat keras secara daring harus berdasarkan resep elektronik. Namun, masih banyak yang terjadi penyalahgunaan, dengan obat-obatan keras dijual bebas di marketplace," imbuhnya.
Dirinya juga menegaskan obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan resep yang ditulis secara elektronik. Ia juga menambahkan penyerahan golongan obat keras juga dapat dilaksanakan dengan mengunggah resep ke dalam sistem elektronik.
"Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain terus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memilih obat yang sesuai ketentuan, meningkatkan ketercapaian penyampaian informasi terkait peredaran obat kepada pelaku usaha dan pengelola penjualan secara daring, melakukan pembaruan dan perbaikan terkait ketentuan promosi iklan produk agar sesuai dengan peraturan, bersama pihak terkait, meningkatkan pembinaan dan pengawasan untuk memaksimalkan pengelolaan penjualan obat secara daring," ungkapnya.
(abq/iwd)