Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dan Tim Gabungan Aremania (TGA) mendatangi Kejati Jatim. Kedatangan mereka hendak menanyakan restitusi senilai Rp 8,8 miliar yang tak disebutkan Tim JPU saat sidang Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Koordinator TGA, Anjar Nawar mengatakan ia dan perwakilan keluarga korban telah bertemu dengan Aspidum Kejati Jatim, Agustian Sunaryo dan perwakilan JPU yang menyidangkan perkara Kanjuruhan di PN Surabaya.
Dalam pertemuan itu, Anjar mengaku tengah mendiskusikan beberapa hal, di antaranya terkait dengan restitusi atau keputusan restitusi dari LPSK. Menurutnya, telah ia layangkan pada Kejati Jatim yang harapannya bisa dimasukkan pada tuntutan pidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi ternyata pada tuntutan pidana kemarin tuntutan restitusinya hilang, hanya ada tuntutan pidana penjara, tapi tidak ada tuntutan pembayaran restitusi," kata Anjar saat ditemui di Kejati Jatim, Selasa (9/5/2023).
Anjar mengungkapkan pihaknya telah mengklarifikasi pada JPU. Namun, ia memperoleh jawaban bahwa restitusi itu tidak dicantumkan pada surat tuntutan dengan alasan teknis administratif.
"Tempo atau tenggang waktu mengirimkan ini ternyata sudah lewat saat 2 terdakwa (Suko Sutrisno dan Abdul Haris) dituntut di awal bulan Februari. Nah, surat masuk pada 22 Februari," jelasnya.
Menurutnya, tuntutan restitusi itu adalah tanggung renteng. Sehingga harus dibayarkan atau dituntutkan pada para terdakwa. "Sehingga nanti para terdakwa dihukum sama, atas alasan itu kami diskusikan dan Kejati Jatim mengatakan tidak bisa memasukkan restitusi itu dalam tuntutan," ujarnya.
Namun, setelah pendiskusian dan mempelajari lebih detail mekanisme restitusi dalam aturan hukumnya tetap ada jalan keluarnya. Artinya, apa yg menjadi hak para keluarga korban tidak hangus dan tetap diajukan ke PN Surabaya setelah putusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Mekanisme restitusi juga diatur dalam peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2022. Dalam penerapannya, restitusi bisa diajukan pasca-diputusnya perkara.
"Meski terlewat dan jaksa tidak mengakomodir itu. Jadi, akhirnya kami sepakat jaksa tetap terlibat karena sebagai turut termohon dan tetap sebagai eksekutor, apabila nanti para terdakwa atau pihak ketiga tidak memenuhi nilai restitusi itu maka jaksa yang mengeksekusi," papar dia.
"Karena jaksa memiliki kewenangan untuk menyita bahkan melelang aset yang dihukum untuk membayar restitusi. Jadi, kami pastikan ini tidak hangus," sambung dia.
Anjar berharap saat diajukan melalui PN Surabaya, maka hakim akan membuka lagi pemeriksaan. Dalam mekanisme sidang, para terpidana sebagai termohon pembayar restitusi dan jaksa sebagai turut termohon.
"Itu nanti diverifikasi lagi oleh hakim dan akan diputuskan dalam bentuk penetapan, dan penetapan itu lah yang dijalankan. Namun, mengacu pada surat dari LPSK ini kan harusnya restitusi dibebankan pada PT LIB melalui para terdakwa, nilainya sekitar Rp 8,8 miliar, tetap kami upayakan ini dan ini bukan berarti sia-sia," tuturnya.
Sementara itu, perwakilan keluarga korban, Daniel Kumanireng Hernandes (54) mengakui memang restitusi itu terlambat masuk dari LPSK. Padahal, jauh-jauh hari sebelum tuntutan sudah membuatkan permohonan restitusi itu.
"Kami maafkan (keterlambatan pengiriman restitusi) sebesar apapun restitusi yang diberikan nanti, tidak bisa mengembalikan nyawa anak kami," katanya.
Saat bertemu dengan Aspidum Kejati Jatim, Daniel sempat mencurahkan isi hatinya saat bertemu Aspidum Kejati Jatim. Ia meminta agar menggunakan hati nurani saat menangani perkara Tragedi Kanjuruhan.
"Saya bilang, 'Tolong pak punya hati lah dalam menangani kasus ini dalam menegakkan keadilan, karena kami belum merasakan keadilan yang sebenarnya'. Jadi, ke depannya nanti kasus ini bisa berjalan dengan baik," ujat Daniel.
"Kami punya komitmen agar para terdakwa dilakukan seberat-beratnya, karena ini pelanggaran HAM berat, 130 sekian nyawa itu luar biasa. Harapan kami sebenarnya tidak itu dan dihukum seberat-beratnya," tandas Daniel.
(abq/iwd)