Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah lambang bunyi arbitrer yang digunakan anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki kekayaan bahasa daerah yang sangat beragam dan hingga kini masih dilestarikan. Salah satu bahasa daerah yang tetap hidup dan digunakan dalam keseharian adalah bahasa suku Osing.
Bahasa Osing merupakan bahasa ibu yang digunakan suku Osing, komunitas adat yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi. Bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi menjadi penanda identitas budaya masyarakat Osing, yang membedakannya dari kelompok etnis lain di Pulau Jawa.
Sejumlah sumber sejarah menyebutkan bahasa Osing telah berkembang sejak sekitar tahun 1114 Masehi, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Fakta ini menunjukkan bahasa suku Osing memiliki akar sejarah panjang dan menjadi bagian penting dari peradaban Blambangan, kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah ujung timur Pulau Jawa.
Bahasa Osing dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam praktiknya, bahasa Osing masih aktif digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di desa-desa adat di Banyuwangi. Bahasa ini memiliki kosakata dan pengucapan yang khas, berbeda dari bahasa Jawa standar, meskipun masih memiliki keterkaitan dengan dialek Jawa Kuno.
Keberadaan Bahasa Osing bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sarana pewarisan nilai, norma, dan kearifan lokal. Melalui bahasa, masyarakat Osing menyampaikan pesan moral, ungkapan perasaan, hingga tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Contoh Kosakata dan Ungkapan Bahasa Osing
Kosakata bahasa Osing mencerminkan kekayaan ekspresi yang lugas, emosional, sekaligus sarat konteks sosial. Dikutip dari Kamus Bahasa Osing, berikut beberapa istilah dan ungkapan yang umum digunakan dalam Bahasa Osing beserta artinya.
Raino bengi anane sun mung ngangen
Memiliki makna "setiap malam saya hanya bisa berharap."
Siro
Memiliki makna "Anda."
Juwut atau Ampet
Memiliki makna "ambil."
Antem
Memiliki makna "hajar."
Byapak
Memiliki makna "bapak" (sapaan untuk ayah).
Belog
Memiliki makna "bodoh sekali," digunakan untuk mengungkapkan kebodohan seseorang.
Byaen
Memiliki arti "saja," sering digunakan untuk menunjukkan sikap acuh atau biasa saja terhadap sesuatu.
Byek
Memiliki arti "wah!", digunakan untuk mengekspresikan rasa heran atau kagum.
Delengan tah
Memiliki makna "lihatlah," digunakan untuk menyuruh orang lain memperhatikan sesuatu.
Digu beloko moring ya
Memiliki makna "begitu saja marah," biasanya digunakan untuk menggoda seseorang.
Sejarah dan Asal-usul Suku Osing
Mengutip dari Indonesia.go.id, suku Osing merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Banyuwangi. Suku ini dikenal sebagai penjaga warisan budaya yang bernilai tinggi, dan hingga kini masih konsisten merawat tradisi leluhur, termasuk bahasa, seni, dan adat istiadat.
Sejumlah sumber menyatakan suku Osing merupakan keturunan langsung masyarakat Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berpusat di Banyuwangi. Setelah runtuhnya Blambangan, masyarakat Osing tetap bertahan dan mempertahankan identitas budaya mereka di tengah berbagai pengaruh luar.
Bagi masyarakat awam, suku Osing mungkin sulit dikenali secara kasat mata. Namun, identitas mereka tercermin kuat melalui aktivitas budaya dan seni tradisional. Masyarakat suku Osing dikenal menekuni seni batik dan tenun.
Motif batik Osing umumnya menggambarkan kekayaan alam, keseharian, serta legenda dan cerita rakyat yang hidup di tengah masyarakat. Keahlian menenun dan membatik bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian seni rupa tradisional yang diwariskan lintas generasi, simbol ketekunan dan kearifan lokal.
Tradisi dan Budaya yang Terus Dirawat
Suku Osing memiliki komitmen kuat dalam melestarikan warisan budaya. Hal ini tercermin dari upaya mereka merawat tradisi melalui pendidikan, pertunjukan seni, hingga festival budaya yang rutin digelar. Beberapa tradisi utama yang masih dijaga antara lain sebagai berikut.
- Bahasa, di mana masyarakat Osing tetap menggunakan kosakata dan dialek Jawa Kuno dalam interaksi sehari-hari.
- Labuhan, ritual adat sebagai bentuk penghormatan kepada roh nenek moyang dan kekuatan alam.
- Upacara Ruwatan, ritual penyucian untuk membersihkan diri dari pengaruh negatif atau kesialan.
- Pesta Gandrung, tarian tradisional khas Banyuwangi yang menjadi simbol ekspresi budaya Suku Osing dan identitas daerah.
Sekolah Adat Osing Pesinauan
Komitmen pelestarian budaya juga diwujudkan melalui pendirian Sekolah Adat Osing Pesinauan. Sekolah adat ini digagas Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Osing, dan resmi berdiri sejak 21 Januari 2021.
Pesinauan menjadi ruang belajar budaya bagi generasi muda Osing. Di sekolah adat ini, peserta didik mempelajari berbagai keterampilan tradisional, seperti musik dan tari daerah, seni menganyam, pencak silat, hingga pemahaman nilai-nilai budaya Osing.
Sekolah Adat Pesinauan mendapat dukungan dari Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Program ini berfokus pada perawatan dan transmisi pengetahuan tradisional masyarakat adat Osing, sekaligus memperkuat jati diri dan kemandirian komunitas adat.
Melalui berbagai upaya tersebut, suku Osing terus berperan sebagai penjaga dan pewaris kekayaan warisan budaya Indonesia. Bahasa Osing, tradisi adat, serta kesenian yang terus dirawat menjadi sumber inspirasi pelestarian budaya di tengah arus modernisasi.
Keberlanjutan bahasa Osing tidak hanya penting bagi masyarakat Banyuwangi, tetapi juga Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman bahasa dan budaya. Dengan menjaga bahasa daerah, masyarakat Osing turut menjaga identitas dan nilai luhur yang tak ternilai harganya.
Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "Mencoba Tari Gandrung untuk Menghargai Tradisi di Banyuwangi"
(ihc/irb)