Di sebuah sudut SDN Panjunan II, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, terdapat sebuah ruang yang tidak biasa. Ruang kecil itu dipenuhi lemari kaca, rak-rak berisi bongkahan tulang dan gading purba, serta papan informasi sederhana yang menceritakan kehidupan pada ribuan hingga jutaan tahun silam.
Ruang tersebut adalah Museum 13, sebuah institusi mikro yang lahir dari hobi tiga guru pada 1989, dan kini menjadi gudang pengetahuan paleontologi penting di Bojonegoro. Awalnya, penemuan fosil terjadi secara tidak sengaja saat para pendiri mencari batu akik.
Temuan itu memantik rasa penasaran, hingga berkembang menjadi upaya serius melakukan eksplorasi, pencatatan, dan penyelamatan fosil. Sejak saat itu, Museum 13 tumbuh melalui kerja komunitas, kegiatan lapangan yang dikenal sebagai nggladak, serta kolaborasi dengan lembaga-lembaga ilmiah nasional.
Meski hanya menggunakan fasilitas sederhana, mulai dari bekas kamar mandi sekolah hingga ruang kelas, Museum 13 memegang peran besar dalam pelestarian benda bersejarah.
Mereka menyelamatkan fosil dari risiko masuk ke pasar gelap, membina siswa lewat ekstrakurikuler kepurbakalaan, hingga menjadi rujukan kunjungan akademis. Kisahnya membuktikan bahwa inisiatif lokal dapat bertumbuh menjadi sumber daya budaya bernilai nasional.
Berawal dari Hobi
Dilansir dari laman resmi Pemkab Bojonegoro, Museum 13 tidak pernah direncanakan sebagai institusi formal. Tiga pendirinya, Hary Nugroho, Nardi, dan Dimun Suprapto, awalnya hanya memiliki hobi mengoleksi batu akik.
Namun, saat menemukan fosil pertama, mereka memahami bahwa temuan tersebut memiliki nilai ilmiah jauh lebih penting. Filosofi penamaan "13" sendiri berasal dari pemikiran kolektif para pendiri. Angka 1 dimaknai Tuhan Yang Maha Esa, sementara angka 3 melambangkan tiga fase kehidupan manusia, lahir, hidup, dan mati.
Pada masa awal, koleksi museum disimpan di rumah masing-masing pendiri. Baru pada 1994, Hary mendapatkan izin memanfaatkan ruang bekas kamar mandi sekolah sebagai tempat penyimpanan pertama.
Langkah kecil ini menandai perubahan dari koleksi pribadi menjadi institusi publik mikro. Perkembangan berlanjut, hingga pada 2014, museum memperoleh bantuan dan dipindah ke ruang yang lebih layak dan representatif.
Pemkab Bojonegoro mencatat sejak 1989 museum aktif melakukan "misi penyelamatan" fosil, eksplorasi lapangan di sepanjang Sungai Kalitidu dan sekitarnya, serta membuka akses edukasi bagi masyarakat. Lokasinya yang sekitar 15 kilometer dari pusat kota membuat museum ini mudah dijangkau.
Koleksi Fosil yang Menyimpan Cerita Ribuan Tahun
Mengutip jurnal Museum 13 (Satu Tiga) Sebagai Sarana Edukasi dan Pelestarian Warisan Budaya Lokal Kabupaten Bojonegoro Tahun 1989-2020 karya Much Azzam Annajikhin, Museum 13 menyimpan berbagai koleksi paleontologi bernilai tinggi, antara lain sebagai berikut.
1. Stegodon Trigonochepalus
Stegodon Trigonochepalus adalah spesies gajah purba yang dahulu hidup di kawasan Sunda, namun kini telah punah. Fosil spesies ini menjadi bukti bahwa wilayah Asia Tenggara pernah terhubung dengan benua Asia.
Ciri khas Stegodon adalah bentuk tengkoraknya yang trigonal serta sepasang gading melengkung yang dapat mencapai panjang hingga empat meter. Museum 13 menyimpan berbagai fragmen penting, termasuk potongan tulang kepala, kaki, serta bagian gading.
2. Bubalus Palaeokerabau
Selain gajah purba, museum ini juga memiliki fosil kerbau purba (Bubalus Palaeokerabau). Keberadaan fosil ini menunjukkan bahwa keluarga Bovidae pernah mendiami kawasan Bojonegoro pada masa lampau.
Ciri khas hewan ini adalah tanduk permanen berongga yang tumbuh ke samping, dengan rentang lebih dari 1,5 meter. Tinggi tubuhnya diperkirakan 1,5-2 meter dengan berat 400-900 kilogram. Fosil bagian kepala dan tanduk kerbau purba ini tersimpan baik di Museum 13 dan menjadi salah satu koleksi favorit pengunjung.
3. Fragmen Moluska
Museum 13 juga menyimpan berbagai fragmen moluska dari kelas Bivalvia dan Gastropoda. Moluska merupakan kelompok hewan bertubuh lunak yang sudah ada sejak sekitar 540 juta tahun lalu.
Cangkang-cangkang purba ini memberi gambaran mengenai kondisi lingkungan Bojonegoro pada masa prasejarah, termasuk perubahan geologi dan iklim di kawasan tersebut.
Menghidupkan Edukasi Kepurbakalaan dari Sekolah Dasar
Sejak awal berdiri, Museum 13 tak hanya berfokus pada pengumpulan fosil, tetapi juga pada edukasi. Hary Nugroho membentuk ekstrakurikuler kepurbakalaan di SDN Panjunan II yang mengajarkan teori dasar paleontologi, teknik pencarian fosil, cara pembersihan, hingga konservasi awal.
Program ini menanamkan kecintaan terhadap sejarah dan ilmu pengetahuan sejak usia dini. Museum 13 juga aktif mengikuti pameran dan seminar, seperti Pameran Kepurbakalaan 2016, serta mengikuti workshop konservasi fosil oleh BPSMP Sangiran.
Kegiatan ini mendukung peningkatan kapasitas pengelola museum, sekaligus memperkuat jejaring ilmiah antara institusi lokal dan lembaga nasional. Selain itu, praktik nggladak atau eksplorasi lapangan juga menjadi kegiatan rutin.
Siswa dan mahasiswa diajak mengamati lapisan tanah, memetakan lokasi potensial fosil, hingga memahami pentingnya menyelamatkan artefak dari risiko hilang ke pasar gelap. Aktivitas ini memberikan pengalaman langsung yang tidak tergantikan dan mempertegas peran Museum 13 sebagai pusat pembelajaran terbuka.
Museum 13 membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak harus dimulai dari bangunan megah. Dengan komitmen, kecintaan terhadap pengetahuan, serta kemauan berbagi dengan masyarakat dan komunitas ilmiah, sebuah ruang kecil di sekolah desa pun dapat menyelamatkan sejarah.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "RSUD Bojonegoro Diduga Lakukan Malapraktik ke Pasien"
(ihc/irb)