Koleksi 21 Layangan Kuno Kediri di Museum Belanda dan Legenda di Baliknya

Koleksi 21 Layangan Kuno Kediri di Museum Belanda dan Legenda di Baliknya

Mira Rachmalia - detikJatim
Jumat, 19 Sep 2025 14:15 WIB
A red kite with a string flying against a blue sky.
ILUSTRASI LAYANGAN. Foto: iStock
Surabaya -

Baru-baru ini, sebuah akun pegiat sejarah membagikan koleksi layangan kuno asal Kediri yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Unggahan tersebut memicu diskusi hangat mengenai asal-usul, fungsi, dan bahan pembuatan layangan di masa lalu.

Layangan bukan hanya sekadar permainan tradisional, melainkan bagian dari warisan budaya yang sarat makna filosofis. Lebih dari sekadar permainan anak-anak, layangan telah menjadi simbol kebebasan, doa, bahkan sarana spiritual dalam berbagai budaya.

Di Kediri, layangan juga dikaitkan dengan legenda tokoh seniman besar era Majapahit, Sungging Prabangkara, yang kisahnya masih hidup dalam memori kolektif masyarakat hingga kini. Berikut ulasan mengenai sejarah layangan kuno Kediri dan legenda yang melingkupinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koleksi Layangan Kuno Kediri di Museum Belanda

Kediri ternyata memiliki jejak budaya unik yang kini tersimpan jauh di negeri orang. Berdasarkan catatan Facebook Kediri Jadul, sedikitnya ada 21 jenis layangan kuno asal Kediri yang saat ini menjadi koleksi di Museum Leiden Belanda.

Deretan nama seperti Klabangan, Kepetan, Kedali, Sambetan, hingga Bulusan bukan sekadar layangan biasa. Setiap jenis memiliki bentuk, corak, serta fungsi tersendiri yang menggambarkan kekayaan tradisi masyarakat Kediri tempo dulu.

ADVERTISEMENT

Koleksi ini menjadi bukti bahwa permainan rakyat bukan hanya hiburan semata, tetapi juga bagian dari warisan budaya yang bernilai tinggi. Berikut jenis-jenis layangan kuno yang tersimpan di Museum Leiden Belanda.

  • Klabangan
  • Kepetan
  • Kedali
  • Sambetan
  • Tenggokan
  • Manalan
  • Petekan
  • Bodro
  • Bantengan
  • Kodokan
  • Waderan
  • Dodokan
  • Bodangan
  • Banjakan
  • Tanggalan Wadon
  • Kalongan
  • Kupu
  • Bujukan
  • Bulusan

Legenda Sungging Prabangkara dan Layangan Raksasa

Kisah layangan di Kediri erat kaitannya dengan legenda Sungging Prabangkara, seorang pelukis dan pemahat tersohor di era Majapahit. Dilansir dari situs Pesona Sambimulyo, Sungging Prabangkara pernah mendapat tugas dari Raja Brawijaya untuk melukis permaisuri secara diam-diam.

Karyanya begitu mirip hingga membuat raja murka karena melihat noda hitam di bagian tubuh permaisuri pada lukisan tersebut. Noda itu sebenarnya hanya cipratan cat, namun sang raja menuduh Prabangkara telah melihat permaisuri secara langsung.

Sebagai hukuman, Prabangkara diperintahkan membuat patung permaisuri dari kayu cendana, namun harus dilakukan di atas sebuah layangan raksasa. Saat layangan itu diterbangkan tinggi di langit, tali sengaja diputus hingga Prabangkara terempas jauh.

Patung permaisuri jatuh di Pulau Bali, sementara Prabangkara terdampar di wilayah Jepara. Sejak itu, lahirlah kisah sakral yang kemudian melahirkan beberapa nama tempat di Kediri, seperti Desa Ngadiluwih dan Sumber Jiput.

Hingga kini, layangan bukan hanya permainan rakyat, melainkan juga simbol perjalanan sejarah yang panjang. Koleksi layangan kuno dari Kediri yang tersimpan di luar negeri menjadi pengingat akan kekayaan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Sementara legenda Sungging Prabangkara menunjukkan bagaimana layangan telah menginspirasi kisah, seni, hingga lahirnya identitas budaya masyarakat Jawa, khususnya Kediri.

Sejarah dan Filosofi Layangan

Di sisi lain, sejarah layangan secara luar, diyakini berasal dari Tiongkok sekitar 2.500 tahun lalu. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada masa Dinasti Han (206 SM-220 M), layangan digunakan bukan hanya untuk hiburan, melainkan untuk tujuan praktis seperti mengukur jarak, memantau cuaca, hingga alat komunikasi.

Di beberapa kebudayaan, layangan juga memiliki nilai spiritual, seperti untuk menolak roh jahat atau mendatangkan keberuntungan. Di Indonesia, layang-layang berkembang menjadi permainan rakyat sekaligus sarana ekspresi budaya.

Filosofinya mencerminkan nilai-nilai kesabaran, ketahanan, dan kebebasan. Saat terbang tinggi di langit, layangan dianggap simbol cita-cita manusia untuk melampaui batas. Hingga kini, festival layangan di berbagai daerah, termasuk Kediri, masih menjadi daya tarik wisata budaya memadukan hiburan, seni, dan sejarah.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads