Jaran Bodhag telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 17 Oktober 2014. Penetapan ini menjadi pengakuan resmi bahwa kesenian rakyat khas Probolinggo tersebut memiliki nilai historis, estetis, dan filosofis yang penting bagi bangsa.
Di setiap peringatan hari jadi Kota Probolinggo, Jaran Bodhag selalu tampil sebagai ikon budaya, menjadi pengingat bahwa tradisi sederhana yang lahir dari masyarakat pedesaan mampu bertahan dan tetap lestari di tengah derasnya arus modernisasi.
Asal-usul Tari Jaran Bodhag
Dilansir Balai Bahasa Jatim Kemendikdasmen, secara etimologis, jaran dalam bahasa Jawa berarti "kuda", sedangkan bodhag dalam dialek Madura atau Jawa Timur mengacu pada "wadah" atau "tudung saji".
Dari perpaduan kedua kata ini lahirlah istilah Jaran Bodhag, sebuah kesenian rakyat yang menggunakan tiruan kepala dan leher kuda, terbuat dari rotan atau kayu, menggantikan kuda sungguhan.
Kesenian ini lahir sebagai respons kreatif masyarakat pinggiran Probolinggo yang tak mampu menyewa kuda untuk pertunjukan Jaran Kencak. Mereka membuat tiruan kuda sederhana, yang diarak diiringi musik tradisional gamelan, seperti kenong telo, gong, kendang, tambur, saron, dan sronen (seruling khas Madura), sehingga menjadi tarian yang unik dan meriah.
Penampilan Jaran Bodhag khas disertai arak-arakan di halaman rumah atau jalan, diiringi para penari-biasanya sepasang pria dan wanita (disebut "janis"), yang seolah menunggangi kuda tiruan tersebut. Kostum para penari biasanya sangat gemerlap dan dirancang semenarik mungkin untuk memikat penonton.
Tidak hanya sekadar pertunjukan, Jaran Bodhag kerap disertai sesajen, dibagi dalam dua jenis untuk tuan rumah dan pemain/gamelan/pengantin. Sesajen ini berupa kelapa, beras, ayam hidup, pisang, jajanan, sirih, pinang, gula, kopi, cengkeh, tembakau, santan, dan kemenyan. Barang-barang tersebut dipajang di depan pentas, bahkan dijadikan inspirasi pantun-pantun lagu selama pertunjukan.
Ada juga versi narasi historis yang menyebut Jaran Bodhagtelah lahir sejak era Kerajaan Majapahit. Sosok legendaris di balik penciptaannya adalah Mbah Namengjoyo, yang kabarnya membabat hutan Lumbang sekitar tahun 1700 dan mencetuskan kesenian ini sebagai media syiar budaya dan Islam.
Namun, sebagian sumber lain menyatakan Jaran Bodhag mulai dikenal luas baru pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sebagai adaptasi atas Jaran Kencak. Apapun versinya, sejak awal 2000-an perhatian terhadap kesenian ini meningkat.
Pemerintah daerah mendukung pelestariannya lewat festival tahunan seperti Festival Pendhalungan, dan sejak 17 Oktober 2014, Jaran Bodhag telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tahun 2024, upaya pelestarian diperluas melalui Pembinaan Penguatan Seni Jaran Bodhag. Disdikbud mengundang pelaku seni, sanggar, dan lembaga pendidikan mulai dari TK hingga SMP untuk menjaga kualitas dan mendorong pengembangan seni ini, bahkan sempat dibicarakan agar dijadikan ikon Kota Probolinggo.
Simak Video "Video: Begini Kesulitan di Balik Atraksi Pembarong Reog Ponorogo"
(hil/irb)