Tradisi Suronan Jawa, Makna dan Perayaan 10 Muharram

Tradisi Suronan Jawa, Makna dan Perayaan 10 Muharram

Katherine Yovita - detikJatim
Rabu, 02 Jul 2025 04:00 WIB
Tradisi unik di Pandeglang
Tradisi masak bubur Asyuro. Foto: Aris Rivaldo/detikcom
Surabaya -

Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Dalam kalender Hijriah, Muharram menjadi penanda awal tahun baru Islam, sekaligus termasuk dalam deretan empat bulan haram (bulan yang dimuliakan) bersama Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Rajab.

Di bulan ini, amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, sementara perbuatan dosa dan kezaliman juga mendapatkan balasan yang berlipat. Karena itu, muslim sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan memperbaiki diri, terutama pada salah satu hari terpenting di bulan ini, yaitu 10 Muharram atau hari Asyura.

Hari Asyura tak hanya dikenang sebagai momentum sejarah umat Islam, tetapi juga menjadi momen refleksi dan spiritualitas. Di berbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa, peringatan 10 Muharram dikenal luas dengan nama Suronan. Tradisi ini menjadi wujud harmonisasi antara nilai-nilai keislaman dan kearifan budaya lokal yang diwariskan turun-temurun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jejak Sejarah Suronan 10 Muharram

Secara istilah, kata Suro berasal dari bahasa Arab Asyura yang berarti kesepuluh, merujuk pada tanggal 10 bulan Suro (atau Muharram dalam kalender Hijriah). Dalam sistem penanggalan Jawa, Suro menjadi penanda bulan pertama yang kemudian disinkronkan dengan kalender Islam sejak masa kekuasaan Sultan Agung dari Mataram.

Sultan Agung dikenal sebagai tokoh penting dalam proses penyatuan penanggalan Saka Hindu dengan kalender Hijriah. Ia menetapkan 1 Suro sebagai awal tahun Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram. Penyatuan ini terjadi pada Jumat Legi bulan Jumadil 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Sejak saat itu, perayaan-perayaan tradisional Jawa bisa dilaksanakan bersamaan dengan peringatan hari-hari besar Islam.

ADVERTISEMENT

Dilansir dari detikHikmah yang merujuk buku Super Jenius dengan Mukjizat Puasa Senin-Kamis karya Rizem Azid, hari Asyura menandai peristiwa penyelamatan Nabi Musa AS dari kejaran Firaun. Nabi Musa bersyukur kepada Allah SWT atas pertolongan tersebut dengan menunaikan puasa, yang kemudian dianjurkan juga kepada umat Islam.

Tradisi Suronan, Antara Makna Spiritual dan Budaya

Tradisi 10 Muharram di Jawa dikenal sebagai Suronan, yang mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus upaya menjaga warisan budaya. Salah satu bentuk perayaan yang paling menonjol adalah penyajian Bubur Asyura.

Bubur Asyura bukan sekadar makanan, tapi juga simbol solidaritas. Rasanya yang gurih dan manis mencerminkan keberagaman, sedangkan proses memasaknya secara gotong royong menjadi simbol kuat nilai kebersamaan.

Bubur ini disiapkan dalam jumlah besar, lalu dibawa ke masjid atau mushola untuk disantap bersama warga. Di balik setiap suapan bubur itu, tersimpan pesan tentang syukur, tolong-menolong, dan kebersamaan yang sangat dijunjung dalam ajaran Islam maupun budaya Jawa.

Selain bubur Asyura, tradisi lain yang tak kalah penting adalah Idul Yatama atau "lebaran anak yatim". Pada momen ini, umat Islam dianjurkan menyantuni anak-anak yatim sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian. Di pesantren maupun lingkungan perkampungan, tradisi ini diwujudkan dalam bentuk pemberian santunan, pengajian, dan makan bersama anak yatim serta kaum dhuafa.

Harmoni Islam dan Budaya dalam Suronan

Tradisi Suronan bukan hanya tentang ritual, tapi juga perwujudan nilai-nilai Islam dalam bingkai budaya. Ia mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa memaknai ajaran agama dengan pendekatan yang khas, yaitu penuh simbol, sarat filosofi, dan lekat dengan rasa kemanusiaan.

Melalui Suronan, masyarakat Jawa tak hanya memperingati hari Asyura sebagai momen sejarah keislaman, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana untuk mempererat ikatan sosial, menumbuhkan semangat berbagi, serta memperdalam kualitas spiritual masing-masing individu.

Suronan 10 Muharram adalah bukti nyata bahwa ajaran agama dan budaya lokal tak selalu berseberangan. Justru keduanya dapat berpadu menjadi kekuatan yang menghidupkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.




(auh/irb)


Hide Ads