Menyambut datangnya 1 Suro dalam penanggalan Jawa, sejumlah daerah di Jawa Timur (Jatim) masih melestarikan tradisi sakral jamasan keris. Ritual pencucian pusaka ini tidak sekadar membersihkan benda peninggalan leluhur, tetapi juga menjadi simbol penyucian diri dan doa perlindungan dari marabahaya.
Setiap daerah memiliki cara unik dalam melangsungkan jamasan, mulai dari prosesi adat yang kental hingga doa-doa yang dipanjatkan secara turun-temurun. Inilah tujuh daerah di Jawa Timur yang masih rutin menggelar ritual jamasan keris setiap malam 1 Suro.
Daerah di Jatim yang Menggelar Ritual Jamasan Keris
Mulai dari Gresik hingga Sumenep, dan masih banyak lagi, tradisi jamasan keris menjadi momen istimewa untuk menyucikan pusaka, sekaligus menyegarkan kembali nilai-nilai kearifan lokal. Berikut beberapa wilayah di Jatim yang masih menyelenggarakan ritual jamasan keris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Gresik
Gresik menjadi salah satu daerah di Jawa Timur yang secara konsisten merayakan ritual Jamasan Pusaka setiap malam 1 Suro. Prosesi ini bukan sekadar mencuci dan membersihkan benda pusaka, melainkan juga dilengkapi dengan air dari tujuh sumur yang dicampur jeruk nipis, sebagai upaya menjaga kemurnian dan keutuhan logam pusaka.
Ritual dimulai dengan pembacaan doa Jawa kuno dan dilakukan penjamas yang mengenakan busana adat lengkap seperti blangkon, jarik, dan beskap, menunjukkan kehormatan kepada leluhur dan upaya menjaga warisan budaya Jawa.
Selain prosesi pencucian, ritual diiringi penyajian sesajen yang sarat makna simbolis. Di antaranya kemenyan, degan hijau, bunga melati, telur ayam kampung, dan pisang, semuanya diletakkan dekat keris atau pusaka sebelum ritual dimulai.
Sesajin ini dipercaya membawa keberkahan, menolak bala, dan memperkuat ikatan spiritual antara masyarakat dengan pusaka dan leluhur mereka, sekaligus menjadi media doa perlindungan menjelang tahun baru Jawa dan Islam.
2. Tulungagung
Tulungagung terus melestarikan tradisi Jamasan Pusaka Kyai Upas, ritual sakral pencucian tombak pusaka bernama Kanjeng Kyai Upas, peninggalan Kerajaan Mataram, yang puncaknya digelar setiap tahun pada tanggal 10 Suro.
Tombak ini memiliki bilah sekitar 35 cm dan tangkai (landhean) sepanjang 4-5 meter, dihiasi lafaz "Allah" dan "Muhammad", serta dipercaya memiliki kekuatan magis yang pernah melindungi Tulungagung dari penjajah dan banjir besar.
Prosesi dimulai dengan kirab kesenian Reog Kendang dan pengambilan "banyu sanga" (air suci dari sembilan sumber), lalu dilakukan pencucian menggunakan air yang dicampur kembang tujuh rupa, jeruk nipis, dan sikat sambil dibacakan doa dan tahlil sebanyak bacaan Yasin, mencerminkan perpaduan spiritual Jawa-Islam.
Air bekas jamasan dipercaya sarat berkah, bahkan sering diperebutkan karena diyakini mampu memberi kesehatan dan awet muda bagi yang menggunakannya. Upacara ini tidak hanya bertujuan menjaga kelestarian pusaka agar tidak berkarat, tapi juga berharap tombak tetap "bertuah" sebagai pelindung warga dari bencana dan marabahaya.
Sejak tahun 2019, ritual Jamasan Pusaka Kyai Upas diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, dan sejak 2023 kembali digelar di Pendopo Kanjengan yang telah direvitalisasi Pemkab Tulungagung.
3. Nganjuk
Kabupaten Nganjuk, khususnya Desa Ngliman di Kecamatan Sawahan, rutin menggelar tradisi Jamasan Pusaka setiap bulan Suro, tepatnya pada hari Jumat Wage atau Senin Wage, sesuai penanggalan Jawa. Ritual ini telah diwariskan secara turun-temurun sejak zaman Ki Ageng Ngaliman.
Ia merupakan pendiri desa dan tokoh penyebar Islam, sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian budaya lokal. Enam pusaka yang dijamas terdiri dari Kiai Kembar, Ki Bethik, Ki Bondan, Mbah Dukun, Ki Joko Truno, dan Raden Panji, berupa keris, cundrik, serta wayang kayu.
Pusaka-pusaka ini diarak keliling desa sebelum dimandikan dengan air Gunung Wilis/Sedudo. Masyarakat percaya bahwa kelangsungan ritual ini sangat krusial untuk menjaga keselamatan desa. Jika tidak dilaksanakan, bisa mendatangkan bencana atau malapetaka.
Setelah pencucian, warga saling berebut air bekas jamasan, bukan untuk diminum, tetapi untuk disiramkan ke halaman rumah. Air bekas jamasan pusaka ini dipercaya bisa menolak bala, menyuburkan tanaman, dan membawa berkah spiritual.
4. Blitar
Salah satu kearifan lokal yang masih lestari di Kabupaten Blitar adalah tradisi Jamasan Keris Umyang Jimbe, sebuah ritual penyucian pusaka warisan leluhur yang dilaksanakan setiap Bulan Suro, tepatnya pada Kamis Kliwon atau malam Jumat Legi.
Ritual ini digelar di Situs Kekunaan Jimbe, Kecamatan Kademangan, sebuah lokasi bersejarah yang diyakini dulunya merupakan candi kuno yang sempat dirusak dan baru ditemukan kembali lewat penelitian arkeologis tahun 1969, berdasarkan naskah Negarakertagama dan Pararaton.
Jamasan dilakukan terhadap beberapa keris milik warga, termasuk Keris Umyang Jimbe, yang diyakini buatan Mpu Supo dari era Majapahit akhir. Prosesi dimulai dengan kirab pusaka keliling desa, dilanjutkan dengan doa dalam bentuk kidung macapat, hingga puncak acara berupa pencucian keris menggunakan jeruk nipis dan air bunga setaman.
Ritual ini tidak hanya menjadi bentuk pelestarian budaya, tetapi juga sarat nilai spiritual. Warga yang terlibat dibaluri boreh-ramuan tradisional yang dipercaya bisa menolak bala dan menyembuhkan sakit. Tradisi ini juga dimeriahkan dengan kesenian Jaranan dan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
5. Banyuwangi
Setiap 1 Suro, masyarakat Banyuwangi menggelar ritual Jamasan Suro, yakni penyucian pusaka sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya leluhur. Ritual ini berlangsung secara adat dan sakral, yang dilaksanakan selama beberapa hari, tidak hanya dalam satu waktu.
Puluhan pusaka milik Pemkab Banyuwangi, serta koleksi warga dan kolektor pribadi, seperti keris, tombak, dan belati kuno, disucikan dalam prosesi ini. Penjamas memimpin ritual ini menggunakan kembang tujuh rupa, minyak wangi, dan sesaji sebagai perlengkapan utama.
Jamasan Suro tidak hanya menjadi ajang spiritual, tetapi juga edukatif dan budaya, karena turut memperkenalkan berbagai pusaka bersejarah kepada masyarakat. Sebab, banyak kolektor pusaka belum memahami cara merawat pusaka dengan benar.
6. Sumenep
Menyambut bulan Suro, masyarakat Sumenep memeriahkan suasana dengan menggelar ritual Jamasan Pusaka. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap karya para empu pembuat pusaka, serta menjadi sarana spiritual untuk menyambut tahun baru dengan harapan kedamaian dan keberkahan.
Pusaka yang disucikan meliputi keris, tombak, pedang, dan golok. Berbeda dengan wilayah Jawa lainnya, jamasan di Sumenep tidak diawali dengan tirakat atau tapa brata, melainkan langsung dimulai dengan pencucian pusaka menggunakan air kembang setaman yang dicampur jeruk nipis, sembari membaca surah Al-Fatihah sebanyak tujuh kali.
Kembang setaman terdiri dari tujuh jenis bunga, yaitu melati, mawar merah, mawar putih, kantil, kenanga, sedap malam, dan melati gambir. Setelah dibersihkan, pusaka diberi warangan, cairan dari arsenik untuk mencegah karat, dan diolesi minyak kelapa yang dicampur minyak cendana sebagai sentuhan terakhir.
Jamasan bukan sekadar membersihkan pusaka secara fisik, tetapi juga menjadi ajakan untuk introspeksi dan penyucian diri. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai budaya sekaligus spiritualitas masyarakat Madura dalam menyambut tahun baru.
(hil/irb)